BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Penyertaan Dalam Tindak Pidana

Penyertaan Dalam Tindak Pidana
Penyertaan atau yang dikenal dengan istilah Deelneming atau Complicity berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56. Adapun pada ketentuan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi 2 (dua) pembagian besar, yaitu:
  1. Pembuat atau yang dikenal dengan istilah dader sebagaimana dimuat dan diatur pada ketentuan Pasal 55 KUHP yang terdiri dari:
    • Pelaku atau pleger;
    • Orang yang menyuruh lakukan atau doenpleger;
    • Orang yang turut serta atau medepleger; dan
    • Penganjur atau uitlokker.
  2. Pembantu atau medeplichtige sebagaimana dimuat dan diatur pada ketentuan Pasal 56 KUHP yang terdiri dari:
    • Pembantu pada saat kejahatan dilakukan;
    • Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
Adapun menurut beberapa pakar dan ahli memberikan pengertian pembuat (dader) yakni sebagai berikut: 
  1. Pompe, Hazewinkel Suringa, van Hattum dan Mulyatno memberikan pengertian pembuat atau dader sebagai setiap orang yang melakukan atau menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan delik yang termuat dalam Memorie van Toelichting (MvT);
  2. Sedangkan HR, Simons, van Hamel, Jonkers memberikan pengertian pembuat atau dader sebagai orang yang melakukan sesuai dengan rumusan delik (pembuat materiil). Adapun yang tersebut dalam ketentuan Pasal 55 KUHP hanya disamakan saja dengan pembuat. 
Pelaku (Pleger)
Pelaku atau yang dikenal dengan istilah pleger merupakan orang secara sendiri melakukan suatu kejahatan (tindak pidana) atau perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dianggap paling bertanggung jawab terhadap kejahatan tersebut. Adapun kategori yang termasuk pelaku atau pleger, yaitu sebagai berikut:
  1. Orang yang bertanggung jawab (peradilan Indonesia);
  2. Orang yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang, akan tetapi membiarkan keadaan yang dilarang berlangsung (peradilan belanda); dan
  3. Orang yang memiliki kewajiban untuk mengakhiri keadaan terlarang (pompe).
Kedudukan pelaku atau pleger sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 55 KUHP terasa janggal, hal ini dikarenakan pelaku atau pleger bertanggung jawab atas perbuatannya (pelaku tunggal). Adapun yang dapat dipahami dari kejanggalan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Bahwa pada ketentuan Pasal 55 KUHP menyebut siapa-siapa saja yang disebut sebagai pembuat, sehingga pelaku atau pleger masuk di dalamnya sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Hazewinkel Suringa; dan
  2. Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan sebagai pembuat sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Pompe.

Orang yang menyuruh lakukan (Doenpleger)
Orang yang menyuruh lakukan atau yang dikenal dengan istilah doenpleger merupakan orang yang melakukan perbuatan tindak pidana (kejahatan) dengan menggunakan perantara orang atau pihak lain, sedangkan orang yang dijadikan perantara tersebut hanya digunakan sebagai alat oleh doenpleger (orang yang menyuruh lakukan). Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita identifikasi pada doenpleger (orang yang menyuruh lakukan) terdapat 2 (dua) pihak, yaitu:
  1. Pembuat langsung atau manus ministra  atau auctor physicus; dan 
  2. Pembuat tidak langsung atau manus domina atau auctor intellectualis.
Adapun unsur-unsur pada orang yang menyuruh lakukan atau doenpleger) adalah sebagai berikut :
  1. Alat yang dipakai adalah manusia;
  2. Alat yang dipakai berbuat; dan
  3. Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggungjawabkan, adalah sebagai berikut:
  1. Apabila orang tersebut tidak sempurna pertumbuhan jiwanya sebagaimana yang dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 44 KUHP;
  2. Apabila orang tersebut berbuat karena daya paksa sebagaimana yang dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 48 KUHP;
  3. Apabila orang tersebut berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah sebagaimana yang dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP;
  4. Apabila orang tersebut keliru terhadap salah satu unsur delik yang termuat dalam KUHP;
  5. Apabila KUHP tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan yang bersangkutan.
Adapun jika yang disuruh melakukan adalah seorang anak kecil yang belum cukup umur maka tetap mengacu pada ketentuan Pasal 45 dan ketentuan Pasal 47 KUHP Jo. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Orang yang turut serta (Medepleger)
Orang yang turut serta atau yang dikenal dengan istilah "medepleger", menurut Memorie van Toelichting (MvT) adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu yang dalam hal terjadinya kejahatan maka memiliki kualitas yang sama terhadap masing-masing pelaku tindak pidana. Adapun maksud "turut mengerjakan sesuatu" sebagaimana disebutkan, yaitu:
  1. Mereka memenuhi semua rumusan delik;
  2. Salah satu memenuhi semua rumusan delik; dan
  3. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.
Adapun syarat adanya orang yang turut serta atau medepleger, antara lain sebagai berikut:
  1. Adanya "kerjasama secara sadar" dari masing-masing pelaku tindak pidana, hal mana kerja sama yang dilakukan secara sengaja untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Adapun maksud "kerjasama secara sadar" sebagaimana yang dimaksud, yaitu:
    • Adanya pengertian antara peserta terhadap perbuatan yang dilakukan;
    • Untuk bekerja sama; dan
    • Ditujukan kepada hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
  2. Adanya pelaksanaan kejahatan atau tindak pidana dilakukan bersama secara fisik yang menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan. Adapun maksud kerja sama atau pelaksanaan bersama secara fisik berupa kerja sama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.

Penganjur (Uitlokker)
Penganjur atau yang dikenal dengan istilah uitlokker adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan secara limitatif sebagaimana dimuat dan diatur pada ketentuan Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP, yaitu:
  1. Memberi atau menjanjikan sesuatu;
  2. Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, 
  3. Kekerasan;
  4. Ancaman; atau
  5. Penyesatan dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
Penganjuran atau uitloken memiliki kemiripan dengan menyuruh lakukan atau doenplegen, yaitu keduanya menggunakan perantara (melalui perbuatan orang lain), akan tetapi dalam hal ini penganjuran atau uitloken memiliki perbedaan, yakni:
  1. Kalau dalam penganjuran atau uitloken menggerakkannya dengan sarana sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam ketentuan yang diatur pada KUHP sedangkan pada menyuruh lakukan atau doenplegen menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan;
  2. Kalau dalam penganjuran atau uitloken, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan sedangkan dalam menyuruh lakukan atau doenplegen, pembuat materiil tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Adapun pergerakan menurut doktrin, antara lain sebagai berikut:
  1. Penggerakan yang sampai taraf percobaan atau uitlokking bij poging;
  2. Penggerakan dimana perbuatan pelaku tindak pidana atau kejahatan hanya sampai pada tahap percobaan saja;
  3. Penggerakan yang gagal atau mislucke uitlokking;
  4. Pelaku tadinya tergerak untuk melakukan delik namun kemudian mengurungkan niat tersebut;
  5. Penggerakan tanpa akibat atau zonder gevold gebleiben uitlokking;
  6. Pelaku sama sekali tidak tergerak untuk melakukan delik.
Sedangkan syarat penganjuran atau uitloken yang dapat dipidana, antara lain sebagai berikut :
  1. Ada kesengajaan menggerakkan orang lain;
  2. Menggerakkan dengan sarana atau upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP;
  3. Putusan kehendak pembuat materiil ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut;
  4. Pembuat materiil melakukan atau mencoba melakukan tindak pidana yang dianjurkan;
  5. Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan penganjuran atau uitloken yang gagal tetap dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 163 KUHP.
Pembantuan (Medeplichtige)
Pembantuan atau yang dikenal dengan istilah medeplichtige sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 56 KUHP menentukan bahwa pembantuan atau medeplichtige memiliki 2 (dua) jenis, yaitu sebagai berikut:
  1. Pembantuan atau medeplichtige pada saat kejahatan dilakukan
    Hal mana cara bagaimana pembantuannya pada saat kejahatan dilakukan tidak disebutkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun pembantuan atau medeplichtige memiliki kemiripan dengan turut serta atau medeplegen, akan tetapi juga memiliki perbedaan yang terletak pada:
    • Kalau pada pembantuan atau medeplichtige, perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedangkan pada turut serta atau medeplegen merupakan perbuatan pelaksanaan;
    • Kalau pada pembantuan atau medeplichtige, orang yang membantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan oleh pembuat yang mengharuskan kerja sama dan orang yang membantu tersebut tidak memiliki tujuan atau kepentingan diri sendiri sedangkan dalam turut serta atau medeplegen, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana dengan cara bekerja sama dan memiliki tujuan dan kepentingan diri sendiri;
    • Kalau pada pembantuan atau medeplichtige, dalam pelanggaran tidak dipidana sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 60 KUHP sedangkan turut serta atau medeplegen dalam pelanggaran tetap dipidana;
    • Maksimum pidana pembantuan atau medeplichtige adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta atau medeplegen dipidana sama.
  2. Pembantuan atau medeplichtige sebelum kejahatan dilakukan
    Hal mana pembantuan yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Adapun pembantuan sebelum kejahatan dilakukan ini memiliki kemiripan dengan penganjuran atau uitlokking. Akan tetapi ke dua hal tersebut memiliki perbedaan yang terletak pada niat atau kehendak, hal mana pada pembantuan atau medeplichtige kehendak jahat pembuat materiil sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu sedangkan dalam penganjuran atau uitlokking, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materil ditimbulkan oleh si penganjur.

Pertanggungjawaban Pembantu
Pertanggungjawaban dari pembantu atau medeplichtige berbeda dengan pertanggungjawaban dari pembuat, hal mana pada pertanggungjawaban dari pembuat semuanya diberikan sanksi pidana yang sama dengan pelaku sedangkan pada pertanggungjawaban dari pembantu atau medeplichtige diberikan sanksi pidana yang lebih ringan dari pada pembuatnya, yakni dikurangi 1/3 (sepertiga) dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan.

Adapun pertanggungjawaban dari pembantu atau medeplichtige telah ditentukan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 57 ayat (1) KUHP dan jika kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pembantu atau medeplichtige diancam pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun dengan beberapa catatan pengecualian, yaitu:
  1. Pertanggungjawaban dari pembantu atau medeplichtige diberikan sanksi pidana yang sama beratnya dengan pembuat tindak pidana atau dader, seperti pada kasus kejahatan atau tindak pidana di bawah ini :
    • Membantu merampas kemerdekaan dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 333 ayat (4) KUHP;
    • Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 415 KUHP; dan
    • Meniadakan surat-surat penting sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 417 KUHP).
  2. Pertanggungjawaban pembantu atau medeplichtige diberikan sanksi pidana lebih berat dari pada pembuat tindak pidana atau dader seperti pada kasus atau tindak pidana di bawah ini :
    • Membantu menyembunyikan barang titipan Hakim sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 231 ayat (3) KUHP; dan
    • Dokter yang membantu menggugurkan kandungan sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 349 KUHP.
  3. Sedangkan pidana tambahan bagi pembantu atau medeplichtige adalah sama dengan pembuat tindak pidana atau dader sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 57 ayat (3) KUHP dan pertanggungjawaban dari pembantu adalah berdiri sendiri, hal mana tidak digantungkan pada pertanggungjawaban dari pembuat tindak pidana atau  dader.
Penyertaan yang tak dapat dihindarkan 
Penyertaan yang tak dapat dihindarkan atau yang dikenal dengan istilah Noodzakelijke Deelneming atau Necessary Complicity, terjadi apabila tindak pidana yang dilakukan tidak dapat terjadi tanpa adanya penyertaan (medepleger) dengan orang lain sehingga dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tindak pidana itu dapat terjadi jikalau ada orang lain sebagai penyerta dalam tindak pidana tersebut. Adapun delik-delik yang termasuk dalam kategori penyertaan yang tak dapat dihindarkan adalah :
  1. Menyuap atau membujuk orang lain untuk tidak menjalankan hak pilih sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 149 KUHP;
  2. Membujuk orang lain untuk masuk dinas militer negara asing sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 238 KUHP;
  3. Poligami sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 279 KUHP;
  4. Perzinahan sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 284 KUHP;
  5. Melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah 15 (lima belas) tahun sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 287 KUHP; dan
  6. Menolong orang lain untuk bunuh diri sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 345 KUHP.
Demikian penjelasan singkat mengenai penyertaan dalam tindak pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: