BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana
Perlu diketahui bahwa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikenal 3 (tiga) bentuk pendekatan, yaitu terdiri dari:
  1. Pendekatan Normatif;
  2. Pendekatan Administratif; dan
  3. Pendekatan Sosial.
Pendekatan Normatif
Bahwa perlu diketahui juga di dalam sistem peradilan di Indonesia memiliki 4 (empat) aparatur penegak hukum, yakni terdiri dari: 
  1. Kepolisian Republik Indonesia (Polri);
  2. Kejaksaan Republik Indonesia (Kejari);
  3. Pengadilan; dan
  4. Lembaga Pemasyarakatan (LP). 
Hal mana dalam pendekatan normatif, ke empat aparatur penegak hukum tersebut dipandang sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan ke empat aparatur penegak hukum tersebut merupakan satu kesatuan atau bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. 

Pendekatan Administratif
Pada pendekatan administratif memandang ke empat aparatur penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam masing-masing instansi tersebut. Adapun sistem yang dipergunakan oleh ke empat aparatur penegak hukum tersebut adalah sistem administrasi.



Pendekatan Sosial
Memandang ke empat aparatur penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau tidak aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tanggung jawab dan tugasnya. Adapun sistem yang dipergunakan oleh ke empat aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) tersebut adalah sistem sosial.

Lebih lanjut dijelaskan oleh satu pakar atau ahli hukum di Indonesia yaitu Prof. Romli Atmasasmita, hal mana menurut Prof. Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa ciri-ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana, adalah sebagai berikut:
  1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana, yaitu:
    • Kepolisian;
    • Kejaksaan;
    • Pengadilan; dan
    • Lembaga Pemasyarakatan (LP);
  2. Pengawasan dan pengendalian dalam penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana, yaitu:
    • Kepolisian;
    • Kejaksaan;
    • Pengadilan; dan
    • Lembaga Pemasyarakatan (LP).
  3. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara; dan
  4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice”
Adapun komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, yaitu terdiri dari:
  1. Kepolisian;
  2. Kejaksaan;
  3. Pengadilan; dan
  4. Lembaga Pemasyarakatan (LP). 
Komponen dalam lingkup praktik penegakan hukum ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu “integrated criminal justice system”. Adapun pendapat Muladi yang menegaskan makna intergrated criminal justice system adalah sinkronisasi dan keselarasan yang dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:
  1. Sinkronisasi Struktural
    Adapun maksud dari sinkronisasi struktural yakni keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum yakni antara Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP).
  2. Sinkronisasi Substansial
    Adapun maksud dari sinkronisasi substansial yakni keserempakan dan keselarasan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
  3. Sinkronisasi Kultural
    Adapun maksud dari sinkronisasi kultural yakni keserempakan dan keselarasan pada Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 
Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap masalah dalam salah satu subsistem akan menimbulkan dampak pada subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada subsistem lainnya. 

Keterpaduan antara subsistem itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistem (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu, komponen-komponen sistem peradilan pidana tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.



Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal termasuk pembuat undang-undang, hal mana disebabkan peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal atau dikenal istilah dalam bahasa inggris sebagai criminal policy, yakni menetapkan maksud kebijakan hukum pidana dan ketentuan hukum tentang pelaksanaan pidana yang hendak dilakukan dan juga sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum. 

Dalam ruang lingkup sebagaimana disebutkan di atas, maka sistem peradilan pidana atau istilah yang dikenal dalam bahasa inggris sebagai criminal policy system harus dipandang sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal with criminal law and it’s enforcement”

Adapun dalam hal ini, pemahaman pengertian sistem harus dilihat dalam 2 (dua) konteks, yaitu sebagai berikut:
  1. Konteks sebagai physical system, hal mana dalam konteks ini mengartikan seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan; dan
  2. Konteks sebagai abstract system, hal mana dalam konteks ini mengartikan gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.
Adapun Mardjono Reksodiputro menyatakan pendapatnya bahwa dengan gambaran bekerjanya sistem peradilan pidana di Indonesia, maka kerja sama erat dalam 1 (satu) sistem oleh instansi yang terlibat (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) adalah suatu keharusan. 

Sehingga jelas dalam hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, akan tetapi kerugian yang timbul apabila hal tersebut tidak dilakukan sangatlah besar. Adapun kerugian yang timbul jika tidak dilakukan sebagaimana yang dimaksud, yakni meliputi:
  1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab aparatur penegak hukum tersebut;
  2. Kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) sebagai sub sistem; dan
  3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. 
Adapun Menteri Kehakiman Republik Indonesia sendiri pernah mengingatkan bahwa dengan menggunakan kata "sistem", maka sebenarnya kita telah setuju dan sepakat pendekatan sistemik dalam melakukan pengaturan administrasi sistem peradilan pidana di Indonesia. 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman tersebut, maka diharapkan perlu adanya keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing subsistem (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) ke arah tercapainya tujuan bersama.

Sekian penjelasan singkat mengenai sistem peradilan pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga yang disampaikan bermanfaat bagi para pembaca. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan komentar di akhir postingan ini. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.

Pengunjung juga membaca: 
  1. Sejarah Lembaga Peradilan di Indonesia
  2. Sejarah Hukum Acara di Indonesia
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: