BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Bentuk-Bentuk Surat Tanah

Bentuk-Bentuk Surat Tanah
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disingkat UUPA, Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan salah satu bentuk surat kepemilikan tanah yang sah dan memiliki kekuatan hukum, selain daripada itu ada beberapa bentuk surat lainnya yang diakui oleh pemerintah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, adapun bentuk surat-surat lainnya tersebut adalah sebagai berikut:
  • Girik;
  • Petok D;
  • Letter C;
  • Surat Ijo;
  • Rincik;
  • Wigendom atau Eigendom Verponding;
  • Hak Ulayat;
  • Opstaal;
  • Gogolan;
  • Gebruik;
  • Erfpacht; dan
  • Bruikleen.


Girik
Ungkapan dan istilah girik adalah istilah yang sudah populer. Girik merupakan hal yang berbeda sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah, hal mana Girik hanya merujuk pada sebuah surat pertanahan yang menunjukkan penguasaan lahan untuk keperluan perpajakan. 

Di dalam surat  Girik ini dapat kita temui nomor, luas tanah, serta pemilik hak atas tanah karena proses jual beli atau juga dikarenakan warisan. Kepemilikan tanah dengan surat girik ini sendiri harus ditunjang dengan bukti lain yaitu kepemilikan Akta Jual beli atau Surat Waris.

Petok D
Sebelum tahun 1960 atau sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) terbit, surat Petok D memiliki kekuatan yang setara dengan sertipikat kepemilikan tanah, namun setelah Undang Undang Pokok Agraria berlaku pada tanggal 24 Desember 1960 kekuatan pembuktian tersebut sudah dinyatakan tidak lagi berlaku. 

Adapun sekarang, surat Petok D hanya dapat dijadikan sebagai alat bukti pembayaran pajak atas tanah oleh orang yang menggunakan tanah tersebut, sehingga surat Petok D sangat lemah jika difungsikan sebagai surat atau alas hak kepemilikan atas tanah karena adanya perubahan tersebut akhirnya menimbulkan permasalahan dalam jual beli tanah yang menggunakan surat Petok D sebagai dasar kepemilikan tanah serta masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui adanya perubahan peraturan tersebut.

Letter C
Kepemilikan atas tanah di Indonesia biasanya diberikan secara turun temurun karena sejak pada zaman dulu aturannya belum terlalu ketat perihal pengaturan atas kepemilikan tanah, maka muncul berbagai surat-surat tanah yang salah satunya yaitu surat Letter C yang merupakan tanda bukti kepemilikan atas tanah oleh seseorang yang diarsipkan di kantor desa/ kelurahan. 

Adapun Letter C yang berbentuk buku memiliki fungsi sebagai catatan penarikan pajak dan juga sebagai keterangan mengenai identitas pemilik tanah pada zaman kolonial. Akan tetapi, pada masa kini Letter C masih sering digunakan sebagai identitas kepemilikan tanah dan dijadikan sebagai bukti atau alas hak dalam transaksi jual beli tanah. Adapun data-data tanah yang dibukukan dalam Letter C ini sendiri disebut kurang lengkap karena pemeriksaan dan pengukuran bidang tanahnya selalu dilakukan dengan cara asal-asalan.



Surat Ijo
Surat Hijau atau Surat Ijo bukti penguasaan atas tanah ini hanya berlaku di Kota Surabaya, hal mana surat tersebut merujuk pada surat dengan tanah yang memiliki status Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari pemerintah kota Surabaya kepada orang-orang yang menyewa tanah tersebut. Adapun Surat Ijo tersebut dapat diperpanjang oleh pihak penyewa selama tanah yang disewakan tidak akan digunakan oleh Pemerinta Kota Surabaya.

Mengapa dinamakan Surat Ijo? hal ini dikarenakan blangko surat perizinan atas hak pemakaian tanahnya menggunakan blanko yang berwarna hijau. Disebutkan, lahan atau tanah dengan keterangan Surat Ijo ini tidak akan diberikan atau dijual kepada penyewa atau kepada siapapun. Hal ini dilakukan untuk menghindari timbulnya kecemburuan sosial pada masyarakat, oleh karena itu itu tanah-tanah tersebut tetap dibiarkan sebagai tanah sewaan dengan keterangan Surat Ijo.

Rincik
Rincik alias Surat Pendaftaran Sementara Tanah Milik Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 yang merupakan salah satu bukti pemilikan yang berdasarkan penjelasan Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan bukti pemilikan atas pemegang hak lama. 

Rincik merupakan istilah yang dikenal di beberapa daerah seperti Makassar dan sekitarnya, namun rincik memiliki nama atau sebutan yang berbeda-beda di berbagai daerah. Hal ini disebabkan karena pembuatan rincik dibuat oleh pejabat daerah setempat dan didasarkan atas dasar hak ulayat masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya oleh undang-undang sehingga sebutannya dapat bermacam-macam. 

Sebelum diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), rincik memang merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan terakhir dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), rincik bukan lagi sebagai bukti hak atas tanah namun hanya berupa surat keterangan objek atas tanah.

Rincik sendiri dapat dijadikan alat untuk membuktikan penguasaan dan penggunaan seseorang terhadap tanah yang dikuasai sehingga jika tidak dikuatkan dengan alat bukti lain, rincik tidak mutlak dijadikan alat bukti hak milik atas tanah melainkan hanya penguasaan dan penggunaan atas tanah. Hal ini dikuatkan dengan:
  1. Putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 12 Juni 1975 Nomor: 1102 K/Sip/1975;
  2. Putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 25 Juni 1973 Nomor: 84 K/Sip/1973; dan 
  3. Putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 3 Februari 1960 Nomor: 34 K/Sip/1960.
Wigendom atau Eigendom Verponding
Eigendom Verponding adalah hak tanah yang berasal dari hak-hak Barat yang diterbitkan pada zaman Belanda untuk orang-orang pribumi atau Warga Negara Indonesia (WNI). Secara harfiah jika diartikan per kata Eigendom adalah hak milik tetap atas tanah dan Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau tanah dan bangunan dimaksud. Namun saat ini, Eigendom Verponding sudah sama seperti surat-surat yang lain hal mana verponding tersebut berubah menjadi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).

Secara realitas pun saat ini memang banyak tanah-tanah Eigendom Verponding yang sudah dikuasai oleh pihak lain atau dengan kata lain tanah tersebut dikuasai oleh bukan pemegang Wigendom. Adapun yang perlu diketahui bahwa jika di lokasi tanah tersebut sudah dikuasai oleh pihak lain apalagi pihak yang menguasai tersebut sudah memegang sertifikat yang sah, maka secara hukum orang yang memegang sertifikatlah yang menjadi pemilik atas bidang tanahnya. 

Hal ini merujuk kepada peraturan konversi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yaitu pemberlakuan konversi atau pembuktian hak lama terhadap hak-hak barat termasuk eigendom dilakukan dengan pemberian batas jangka waktu sampai 20 (dua puluh) tahun sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Adapun maksudnya yakni mensyaratkan terhadap hak atas tanah eigendom dilakukan konversi menjadi hak milik selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980.



Hak Ulayat
Hak ulayat merupakan sebuah kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas daerah atau wilayah tertentu yang merupakan lingkungan tempat tinggal, hal mana dalam kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam yang berada di atas bidang tanah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. 

Adapun masyarakat dan sumber daya yang dimaksudkan disini yakni hubungan masyarakat hukum adat dengan wilayahnya memiliki keterkaitan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus. Adapun syarat untuk pengakuan terhadap tanah yang dikelola oleh sekolompok masyarakat sehingga dapat dikategorikan Tanah Ulayat atau Tanah Adat adalah:
  1. Di atas tanah ulayat atau yang lebih dikenal dengan istilah tanah adat tersebut terdapat masyarakat hukum adat yang mengelolah tanah tersebut;
  2. Masyarakat adat tersebut memiliki tatanan atau aturan-aturan adat yang memiliki sifat mengikat kepada masyarakat hukum adat tersebut;
  3. Tanah yang kelompok hukum adat diklaim sebagai tanah ulayat atau tanah adat merupakan tanah tempat masyarakat hukum adat mengambil keperluan hidup sehari-hari; 
  4. Terdapat tatanan atau peraturan yang disebut sebagai hukum adat, yang dalam peraturan tersebut mengatur tentang bagaimana tata cara pengelolaan tanah adat tersebut;
  5. Persekutuan dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan yang erat, hubungan yang bersifat religio-magis, hal mana hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah yang pada dasarnya berupa hak untuk: 
    • Meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di wilayah wewenang hukum masyarakat adat;
    • Berburu dalam batas wilayah atau wewenang hukum masyarakat adat. 
Kedudukan Hak Ulayat ini berlaku keluar dan kedalam sebagaimana penjelasan di bawah ini: 
  1. Dalam hal berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar atau memberikan ganti kerugian, orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan;
  2. Dalam hal berlaku kedalam, yakni perkumpulan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga berkumpul bersama-sama sebagai suatu kesatuan melakukan hak ulayat sebagaimana contoh yang dimaksud yaitu bersama-sama memetik hasil dari tanah beserta segala tanaman dan hewan liar yang hidup diatas bidang tanah yang berada di wilayah tersebut. Adapun hubungan antara hak ulayat dan hak warga masing-masing memiliki hubungan timbal balik, hal mana apabila seorang warga perkumpulan berhak untuk membuka tanah, mengerjakan tanah itu secara terus menerus dan menanam pohon-pohon diatas bidang tanah tersebut maka orang tersebut memiliki hak milik atas tanah itu (Penjelasan ini tercantum dalam Pasal 20 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria)
Opstaal
Opstaal merupakan hak yang diberikan oleh bangsa Belanda kepada masyarakat berupa hak kebendaan untuk menumpang atau yang lebih dikenal dengan istilah Hak Numpang Karang dan Hak Usaha tergolong Hak Kebendaan. Pengertian lain dari hak opstaal adalah suatu hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman tanaman di atas sebidang tanah orang lain. 

Adapun pengertian lain Hak Opstaal merupakan suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memiliki segala sesuatu yang terdapat di atas tanah eigendom orang lain sepanjang tanah tersebut bukanlah kepunyaan (eignaar) tanah yang bersangkutan. Segala sesuatu yang dimaksud dalam pengertian tersebut itu seperti rumah atau bangunan, tanaman dan sebagainya.

Adapun Hak Numpang Karang diatur dalam Buku II Bab Ketujuh Pasal 711 sampai dengan Pasal 719 Burgelijk Wetboek (BW) atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Sedangkan hak usaha diatur dalam Buku II Bab Kedelapan Pasal 720 sampai dengan Pasal 736 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). 

Menurut ketentuan Pasal 711 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), hak ini adalah hak kebendaan untuk mempunyai gedung atau bangunan dan/ atau tanaman di atas tanah orang lain. Adapun pemilik tanah selama hak numpang karang berjalan tidak boleh mencegah orang yang mempunyai hak itu untuk membongkar gedung atau bangunan atau menebang segala tanaman dan mengambil salah satu di antaranya jika pemegang hak itu telah melunasi harga gedung, bangunan dan tanaman itu pada waktu memperoleh hak tersebut atau juga apabila gedung, bangunan dan tanaman itu didirikan, dibangun dan/ atau ditanam oleh pemegang hak itu sendiri di atas bidang tanah tersebut tanpa mengurangi kewajibannya untuk mengembalikan pekarangan tersebut dalam keadaan seperti semula (sama seperti sebelum didirikan, dibangun atau ditanam).

Jika hak numpang karang telah berakhir, maka pemilik pekarangan menjadi pemilik gedung, bangunan dan tanaman di atas pekarangan dengan syarat pemilik pekarangan wajib membayar harga bangunan dan/ atau tanaman yang telah dibangun, didirikan dan/ atau ditanah kepada pemegang hak numpang karang pada saat itu juga.

Dalam hal ini, Pemegang Hak Numpang Karang berhak menahannya sampai pembayaran dan pelunasan, namun apbila hak numpang karang diperoleh atas sebidang tanah yang di atasnya memang telah terdapat gedung, bangunan dan tanaman yang harganya tidak dilunasi oleh penerima hak numpang karang itu, maka pada waktu berakhirnya hak tersebut pemilik tanah dapat menguasai kembali semua benda itu tanpa wajib mengganti kerugian.



Gogolan
Hak ini adalah hak seorang kuli (gogol) atas tanah komunal desa atau tanah yang dikenal dengan istilah Communal Bezit yang dianggap oleh masyarakat desa sebagai tanah desa. Hak Gogolan juga sering disebut hak pekulen. Adapun hak ini diperoleh karena tanah tersebut telah diusahakan oleh orang-orang tertentu atau gogol. Hak gogolan terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:
  1. Hak Gogolan yang bersifat tetap, yakni apabila para gogol tersebut terus menerus menguasai dan mengusahakan tanah gogolan yang sama, maka apabila si gogol meninggal dunia tanah gogolan dapat diwariskan;
  2. Hak Gogolan yang bersifat tidak tetap, yakni apabila para gogol tersebut tidak terus menerus memegang dan mengusahakan tanah gogolan yang sama dan/ atau apabila si gogol itu meninggal dunia, maka tanah gogolan tersebut kembali pada desa.
Gebruik
Hak gebruik merupakan sebuah hak atas benda (hak kebendaan) milik orang lain, hal mana bagi pemegang hak dapat memakai tanah dan mengambil hasilnya apabila sekedar hanya untuk keperluan dirinya sendiri sendiri beserta keluarganya. 

Adapun Hak gebruik memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk dapat memakai, mengusahakan dan memanfaatkan tanah eigendom orang lain yang kemudian diambil hasilnya untuk kebutuhan diri dan keluarganya saja. 

Disamping itu pemegang Hak Gebruik ini boleh pula tinggal di atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku haknya itu yang diatur dan ditentukan sendiri dalam suatu perjanjian yang ditandatangi oleh kedua belah pihak. Adapun jika tidak ada perjanjian antara kedua belah pihak maka berlakulah Pasal 821 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan pasal-pasal yang berkaitan dengan hal tersebut.

Pasal 821 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
“barang siapa mempunyai hak pakai atas sebuah pekarangan, hanya diperbolehkan menarik hasil-hasil dari pekarangan itu, sekedar dibutuhkan sendiri dan anggota keluarganya.”
Erfpacht
Erfpacht sering juga disebut sebagai Hak Usaha sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 720 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun pengertian Hak Usaha menurut pasal tersebut adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik orang lain dengan kewajiban pemegang hak membayar upeti tahunan baik berupa uang, berupa hasil atau pendapatan kepada pemilik sebagai pengakuan atas kepemilikannya. Adapun Hak erfpacht terbagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
  1. Hak Erfpacht untuk perusahaan kebun besar, hal mana hak tersebut dapat dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU);
  2. Hak Erfpacht untuk perumahan, hal mana hak tersebut dapat dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan (HGB);
  3. Hak Erfpacht untuk pertanian kecil, hal mana hak tersebut tidak dikonversi dan dihapus. 
Bruikleen
Dalam hal ini, Bruikleen merupakan suatu bentuk perjanjian, hal mana dalam isi perjanjian tersebut menentukan mengenai pihak yang menyerahkan benda dengan cuma-cuma (gratis) kepada pihak lain untuk dipakainya. Adapun penyerahan benda tersebut disertai kewajiban untuk mengembalikan benda tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Perjanjian ini juga dapat dikatakan sebuah bukti atas penguasaan tanah Bruikleen sehingga jika dikonversi maka hak tersebut berubah menjadi hak pakai.

Demikian penjelasan singkat mengenai bentuk-bentuk surat tanah yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima Kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: