BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Keadilan dalam Filsafat Hukum

Keadilan dalam Filsafat Hukum
Dalam bahasa Yunani (Greek) dikenal istilah dikaios yang dapat diartikan sebagai just atau righteous. Dalam bahasa Latin: justitia dan dalam bahasa Inggris: justice. Keadilan merupakan pokok penting sebab di samping hukum, orang juga menuntut adanya keadilan. Kepala putusan pengadilan di Indonesia juga dimulai dengan kata-kata:
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Keadilan menurut Plato (427 S.M- 347 S.M) 
Plato dalam the Republic mencoba mencari jawaban tentang apakah keadilan melalui perdebatan antara Socrates dengan lawan-lawan debatnya, antara lain Cephalus yang kaya mengemukakan bahwa keadilan tidak lain dari pada mengatakan yang benar dan membayar kembali hutang. Socrates menjawab bahwa mengikuti aturan seperti itu tanpa pengecualian akan mengakibatkan kekacauan, misalnya mengembalikan senjata kepada seorang kawan yang telah menjadi gila, memang mengikuti aturan tapi bukan contoh tindakan yang adil (just action). Untuk menjelaskan keadilan itu, Plato mulai dari hal yang luas yaitu adanya 3 (tiga) klas dalam negara, yakni: 
  1. Klas penguasa (ruler) yang harus membuat putusan-putusan yang bijaksana (wise decisions);
  2. Klas prajurit (soldiers) yang harus melakukan tindakan-tindakan berani (courage actions); dan 
  3. Klas petani, pedagang dan orang lainnya yang harus mengikuti pemimpinnya sehingga tidak boleh berlebihan dalam kepentingan pribadi (moderation).
Menurut Plato, jika masing-masing klas melakukan perannya tanpa berusaha mengambil peran klas lain, maka keseluruhan kota akan berada dalam harmoni yang merupakan keadilan. Selanjutnya, menurut Plato setiap manusia memiliki 3 (tiga) jiwa (Inggris: souls, Greek: psyche) yang selaras dengan 3 (tiga) klas warga negara dalam negara yang masing-masing memberikan kontribusi untuk berjalan baiknya orang sebagai keseluruhan, yaitu: 
  1. Jiwa Rasional (rational thinking), yaitu berpikir (thinking) yang membawa pada kebijakan (wisdom);
  2. Jiwa semangat (spirited soul), yaitu kehendak (willing) yang membawa pada keteguhan hati (courage) mempertahankan apa yang secara intelektual ditentukan yang terbaik; dan
  3. Jiwa Hasrat (appetitive soul), yaitu perasaan (feeling) yang membawa pada sikap tidak berlebihan (moderation)
Menurut Plato, seorang manusia dapat dikatakan sebagai adil jika 3 (tiga) jiwa itu melaksanakan fungsi mereka secara tepat dalam suatu harmoni satu dengan yang lain, saling bersesuaian untuk kebaikan dari seseorang sebagai suatu keseluruhan.
"a human being is properly said to be just when the three souls perform their proper functions in harmony with each other, working in consonance for the good of the person as a whole"
Dengan demikian dalam pandangan Plato, keadilan adalah jika thinking, willing, dan feeling berjalan secara harmonis.

Keadilan menurut Aristoteles (382 S.M- 322 S.M) 
Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, Bab V,membedakan antara keadilan universal dengan keadilan khusus sebagaimana di bawah ini, yakni: 
  1. Keadilan universal (universal justice), yaitu keadaan seseorang yang secara umum menurut hukum dan benar (Universal justice is that state of a person who is generally lawful and fair); dan
  2. Keadilan khusus (particular justice) yang berkenaan dengan pembagian barang, uang, kesejahteraan dan sebagainya.
Lebih lanjut Aristoteles membedakan keadilan khusus (particular justice) atas 2 (dua) tipe, yakni:
  1. Distributive justice (keadilan distributif)
    Distributive justice (keadilan distributif) berkenaan dengan distribusi uang atau sumber lain yang dibagi di kalangan orang-orang yang mempunyai andil dalam suatu organisasi publik. Apa yang diterima setiap orang adalah proporsional dengan jasanya (merit) sehingga seorang yang baik akan menerima lebih dari pada orang yang jahat. Proporsi (proportion) adalah persamaan dalam ratio (equality of ratios).
  2. Rectificatory justice (keadilan bersifat membetulkan)
    Rectificatory justice (keadilan bersifat membetulkan) atau corrective justice yang berkenaan dengan transaksi perorangan antar individu. Jasa (merits) tidak relevan. Keadilan ini mencakup 2 (dua) macam pertukaran, yakni: 
    • Pertukaran sukarela (voluntary exchange) yang disepakati timbal balik, di mana keadilan bersifat menjamin bahwa kedua belah pihak melakukan pertukaran secara sama (equally exchange). Uang diperkenalkan dalam masyarakat untuk memperoleh suatu bentuk perwakilan yang seimbang (adequate representation) antara obyek-obyek dan jasa-jasa yang nilainya berbeda-beda. Dengan demikian, pertukaran dapat dilakukan secara proportional; dan
    • Pertukaran tidak suka rela (involuntary exchange), hakim mengembalikan persamaan (equality) di antara para pihak, mengembalikan kepada masing-masing apa yang dimilikinya. Pertukaran ini bersifat penghukuman.
Keadilan menurut Bangsa Romawi 
Bangsa Romawi menerjemahkan pandangan Aristoteles tentang keadilan dalam Corpus Iuris Civilis, Buku I (Institutes, institutiones), Title 1 (Concerning Justice and Law), dimulai dengan kata-kata:
"Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuens"
Dalam Bahasa Inggris :
"Justice is the constant and perpetual desire to give to each one that to which he is entitled"

Dalam Bahasa Indonesia : 

"Keadilan adalah kehendak yang tetap dan tidak berubah untuk memberikan kepada tiap orang apa yang menjadi haknya"
Keadilan menurut John Rawls (1921-2002)
John Rawls, seorang filosof Amerika Serikat yang dalam bukunya A Theory of Justice, 1971 telah mencoba memecahkan permasalahan dalam keadilan distributif. Dalam buku ini Rawls mengemukakan tentang justice as fairness. Digunakannya istilah keadilan sebagai fairness karena istilah ini dapat mencerminkan gagasan Rawls bahwa prinsip-prinsip keadilan disepakati dalam suatu situasi yang fair. 

Dalam hal ini, Rawls berangkat dari teori kontrak sosial sebagaimana yang diungkapkan oleh Locke, Rousseau, dan Kant, hal mana dalam keadaan alamiah (state of nature, status naturalis) ada posisi kesetaraan asli (original position of equality) antara orang-orang. Posisi kesetaraan asli ini oleh Rawls dipandang sebagai situasi yang fair untuk mulai dilakukannya kesepakatan-kesepakatan guna memilih asas-asas yang akan diterima bersama, antara lain asas keadilan. Menurut Rawls, orang-orang dalam situasi awal ini akan memilih 2 (dua) prinsip yang agak berbeda, yakni:
  1. Membutuhkan kesetaraan dalam penerapan hak dan kewajiban dasar; dan
  2. Menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi, misalnya ketimpangan kekayaan dan kekuasaan, hanyalah jika mereka menghasilkan kompensasi keuntungan bagi semua orang khususnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Inti pandangan Rawls yaitu keadilan sebagai fairness yang terdiri atas 2 (dua) asas, yakni: 
  1. Asas kebebasan (liberty principle), yakni setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan serupa dari orang-orang lain; dan
  2. Asas perbedaan (difference principle), yaitu ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi 2 (dua) hal, yakni:
    • Semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang menurut syaratsyarat kesetaraan peluang yang fair (fair equality of opportunity); dan
    • Keuntungan terbesar untuk anggota-anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Demikian penjelasan singkat mengenai Keadilan dalam Filsafat Hukum yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: