BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Bentuk, Sistem dan Tujuan Perkawinan Adat

Bentuk, Sistem dan Tujuan Perkawinan Adat
Bentuk Perkawinan Adat 
Perlu diketahui bahwa di Indonesia dapat di jumpai 3 (tiga) bentuk perkawinan adat yang tersebar di seluruh wilayah, yakni antara lain:
  1. Bentuk Perkawinan Jujur atau Bridge-gif Marriage;
  2. Bentuk Perkawinan Semendo atau Suitor Service Marriage; dan
  3. Bentuk Perkawinan Bebas atau Exchange Marriage.
Bentuk Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur atau Bridge-gif Marriage merupakan bentuk perkawinan di mana pihak laki-laki memberikan jujur kepada pihak perempuan. Benda yang dapat dijadikan sebagai jujur biasanya benda-benda yang memiliki sesuatu yang bersifat magis. Pemberian jujur diwajibkan karena untuk mengembalikan keseimbangan magis yang semula menjadi goyah oleh karena terjadinya kekosongan pada keluarga perempuan yang telah pergi karena telah menikah. Perkawinan jujur sering dijumpai pada masyarakat Patrineal. Adapun ciri-ciri perkawinan jujur adalah patrilokal, artinya istri bertempat tinggal di rumah kediaman suami atau di rumah keluarga suami. Di samping itu perkawinan jenis ini bersifat exogami, yaitu larangan untuk menikah dengan warga yang se-klan atau se-marga.

Bentuk Perkawinan Semendo
Perkawinan semendo atau Suitor Service Marriage pada hakikatnya bersifat matrilokal dan exogami. Matrilokal berarti bahwa istri tidak berkewajiban untuk bertempat tinggal di kediaman suami. Dalam perkawinan ini biasa dijumpai dalam keadaan darurat di mana perempuan sulit mendapatkan jodoh atau karena laki-laki tidak mampu untuk memberikan jujur.

Bentuk Perkawinan Bebas
Dalam bentuk kawin bebas atau Exchange Marriage tidak menentukan secara tegas dimana suami atau isteri akan tinggal, hal ini tergantung pada keinginan masing-masing pihak. Bentuk kawin bebas ini bersifat endogami, artinya suatu anjuran untuk kawin dengan warga kelompok kerabat sendiri.

Sistem Perkawinan Adat
Adapun sistem perkawinan adat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
  1. Perkawinan Endogami;
  2. Perkawinan Eksogami; dan 
  3. Perkawinan Eleutherogami.
Perkawinan Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada 1 (satu) daerah saja secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Walaupun demikian saat ini di daerah ini pun sistem tersebut mulai lenyap dengan sendirinya karena adanya perubahan konsep pemikiran kalau hubungan darah  dengan daerah lainnya menjadi lebih mudah, erat dan meluas karena sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja, lagi pula endogami sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah Toraja, yaitu Parental.

Perkawinan Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan dalam sukunya. Namun demikian, seiring berjalannya waktu dan berputarnya zaman sistem ini lambat laun mengalami proses perlunakan dengan sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Adapun sistem ini dapat dijumpai di wilayah:
  1. Daerah Gayo;
  2. Daerah Alas;
  3. Daerah Tapanuli;
  4. Daerah Minangkabau;
  5. Daerah Sumatera Selatan;
  6. Daerah Buru; dan 
  7. Daerah Seram.
Perkawinan Sistem Eleutherogami
Sistem Eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas yang memiliki larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Sistem Eleutherogami tidak mengenal larangan-larangan dan keharusan-keharusan tersebut. Adapun larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan) seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu aau larangan kawin dengan musyahrah (per-iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, anak tiri. Dalam sistem ini dapat dijumpai hampir di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Tujuan Perkawinan Adat
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan adalah sebagai berikut:
  1. Bertujuan untuk mempertahankan dan/ atau meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan;
  2. Bertujuan untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga atau kerabat;
  3. Bertujuan untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian; dan 
  4. Bertujuan untuk mempertahankan kewarasan. 
Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah yang lain, begitu pun juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya.

Dalam masyarakat patrineal, perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran uang jujur). Hal mana setelah terjadi perkawinan maka istrinya akan ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. 

Sebaliknya dalam masyarakat matrineal, perkawinan memiliki tujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak perempuan (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semendo). Hal mana setelah terjadinya perkawinan, maka suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.

Demikian penjelasan singkat mengenai Bentuk, Sistem dan Tujuan Perkawinan Adat yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya. Terima kasih.

Pengunjung juga membaca:
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: