BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hukum Perkawinan di Negara Muslim

Hukum Perkawinan di Negara Muslim
Hukum perkawinan termasuk dalam hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan antara anggota keluarga. Hubungan ini meliputi: 
  1. Hubungan antara suami dan isteri;
  2. Hubungan antara orang tua dan anak-anaknya; dan 
  3. Hubungan antara keluarga dan pemerintah. 
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cakupannya adalah peraturan tentang :
  1. Perkawinan;
  2. Perceraian;
  3. Hak-hak kebendaan dari pasangan;
  4. Pengasuhan anak;
  5. Kepatuhan anak terhadap orang tua; 
  6. Intervensi pemerintah terhadap hubungan anak dan orang tua; dan
  7. Penyelenggaraan hubungan orang tua dan anak melalui adopsi.
Terdapat 3 (tiga) fungsi hukum keluarga yaitu untuk: 
  1. Memberikan perlindungan terhadap individu dari kekerasan dalam keluarga;
  2. Menyediakan penyelesaian jika hubungan antara anggota keluarga putus; dan 
  3. Memberikan dukungan masyarakat tempat keluarga itu berada.  
Dalam hal penerapan hukum keluarga dan hukum perkawinannya, negara-negara muslim dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
  1. Kelompok Pertama, yaitu negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan hukum perkawinan dari berbagai madzhab yang dianutnya dan belum diubah;
  2. Kelompok Dua, yaitu negara-negara yang telah mengubah total hukum keluarga dan hukum perkawinannya dengan hukum modern tanpa mengindahkan agama mereka; dan
  3. Kelompok Tiga, yaitu negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan perkawinan Islam yang telah direformasi dengan berbagai proses legislasi modern. 
Adapun yang termasuk kelompok pertama yang menerapkan hukum tradisional dari madzbah-madzhab yang dianutnya diantaranya adalah Negara Saudi Arabia yangh menganut madzhab Hambali. Hukum keluarga Islam didasarkan kepada Al-Quran, Sunnah dan teladan dari para sahabat Rasulullah SAW begitu juga di negara Qatar, Yaman, hukum Islam didasarkan kepada madzhab Zaidi. Namun, penduduk Yaman selatan menganut madzhab Syafii dan Hanafi. Hukum-hukum ini tidak dikodifikasi dan legislasi. Sementara di Bahrain, madzhab Maliki, Syafii, dan Syii diterapkan secara tradisional, tanpa kodifikasi dan legislasi.

Adapun Negara kelompok kedua yaitu yang telah meninggalkan hukum Islam dan menerapkan hukum modern dari Barat adalah Turki dan Albania. Code civil diadopsi di negara ini untuk menggantikan hukum Islam terutama di Turki setelah jatuhnya khilafah Usmaniyah. Turki menerapkan Code Civil Switzerland tahun 1926. Begitu juga di negara-negara yang terdapat muslim minoritas seperti di Tanzania yang terdapat muslim minoritas di Zanzibar dan di Kenya, hal mana mereka menerapkan hukum keluarga Barat modern.

Kelompok ketiga, yaitu negara-negara yang telah mereforasi hukum keluarga Islam dengan proses legislasi modern seperti Cyprus yang melegislasikan dan mengkodifikasi hukum perkawinan dan perceraian Islam tahun 1951. Di lima Negara Asia Selatan dan Tenggara, hukum keluarga Islam juga telah direformasi dengan proses legilasi hukum modern, yaitu di Brunei, Malaysia dan Indonesia yang memiliki muslim mayoritas dan Singapura dan Ceylon yang memiliki muslim minoritas. Lainnya yaitu Libanon, Jordania, Algeria, Iran yang telah mereformasi hukum keluarga Islam baik dari segi materi maupun pada aspek regulatori dengan mengadopsi sistem hukum modern.

Perkawinan Beda Agama di Negara-negara Muslim
Berdasarkan pengelompokan negara-negara muslim berkaitan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan yang diterapkan sebagaimana uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kelompok pertama yang menerapkan hukum keluarga sebagaimana dalam hukum Islam tradisional berdasarkan madzhab-madzhab yang Islam tradisional yang dikaji dalam berbagai madzhab cenderung tidak memperbolehkan perkawinan antara seorang Muslim dengan non muslim, kecuali ahli kitab yaitu yang pada masa Nabi, mereka beragama Yahudi atau Nasrani yang ajarannya dianggap masih murni. Dalam fiqh, biasanya seorang muslim laki-laki diperbolehkan menikahi seorang perempuan ahli kitab dan sebaliknya, seorang Muslim perempuan tidak diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki ahli kitab.

Adapun di negara-negara kelompok ketiga yaitu negara yang mereformasi hukum Islam dengan sistem hukum modern juga masih banyak yang tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Dalam Undang-Undang Pekawinan dan Perceraian Cyprus tahun 1951 untuk orang-orang Turki diantara perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita muslim dengan pria non-muslim (vide: Pasal 7 (c)). 

Begitu juga hukum keluarga di Jordania tahun 1951 yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dan perkawinan antara wanita Muslim dan pria non muslim (vide: Pasal 29). Dalam hukum Status Personal Irak tahun 1959 Bab 11 tentang larangan Perkawinan Pasal 17 dinyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab adalah sah, tetapi perkawinan antara seorang wanita muslim dengan laki-laki non muslim tidak diperbolehkan.

Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta jiwa merupakan negara Muslim terbesar kedua di dunia. Negara ini dihuni oleh beragam kelompok etnis yang berbeda yang seluruhnya hidup berdampingan secara damai di bawah panji agama yang beragam pula. Islam tercatat sebagai agama terbesar yang dianut oleh 97 % jumlah penduduk Pakistan. Sementara agama lain seperti Kristen, Hindu dan lainnya hidup secara damai di negara yang berbatasan dengan Iran di Barat, Afghanistan di Barat Laut, India di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut.

Negara yang beribukota Islamabad ini adalah bekas koloni Inggris ketika menjadi bagian dari wilayah India. Sejarah kontemporer anak benua India dan Pakistan bermula dari hancurnya Imperium Mughal dan pendudukan Inggris di India. Penjajahan Inggris telah menghancurkan posisi politik tertinggi yang dimiliki umat Islam. Kehidupan pribumi, pedagang kecil, pengrajin dan kaum buruh sangat menderita.

Tidak hanya kerugian dalam bidang ekonomi dan politik, kolonisasi ini juga mempunyai dampak dan kerugian lebih jauh pada budaya (kultural) di mana pada awalnya mereka bersikap simpatik terhadap program pendidikan tradisional Muslim dan terhadap kultur klasik bangsa India. Namun lambat laun mereka mulai menindas praktek keagamaan dimana mereka sering menjatuhkan hukuman secara sadis dan kejam. 

Adapaun bahasa Inggris menjadi bahasa pemerintahan dan pengajaran dan bahasa Mughal dihapus sebagai bahasa resmi di pengadilan. Islam merupakan agama mayoritas di Pakistan. Dalam kehidupan keagamaan, dimana yang berbahasa resmi Urdu ini tumbuh beberapa aliran madzhab, madzhab Hanafi dikenal sebagai madzhab mayoritas ditambah madzhab lain seperti Syiah dan Hambali.

Toleransi antara umat beragama terjalin baik di Pakistan. Mereka yang minoritas seperti Hindu, Kristen dan Budha hidup dalam alam demokrasi dan toleransinya yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan lebih dari itu mereka dianggap sahabat. Kehidupan keberagamaan di Pakistan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan keberagamaan di negara muslim lainnya. Islam menjadi jalan hidup (way of life) yang mereka anut secara mendalam. Pandangan hidup, rasa dan kecenderungan mereka sepenuhnya adalah Islam sementara tradisi dan budaya tidak berpengaruh pada karakteristik Islam secara esensial.

Hampir sejak diperkenalkannya Islam di Tunisia, mayoritas Masyarakat Tunis yang beragama Islam sebagaimana kebanyakan masyarakat lain di kawasan Magribi adalah kaum Sunni yang bermadzab Maliki. Namun banyak dinasti yang memerintah di Tunisia baik asing maupun asli Tunis memiliki keyakinan berbeda. Sebuah dinasti Syiah, Fathimiyyah menumbangkan dinasti Aghlabiyyah antar 905-909 M. Akan tetapi setelah itu kaum Syiah bahkan menjadi kelompok minoritas dan sampai sekarang dianggap telah hilang.

Setelah kedatangan bangsa Turki yang memerintah di Tunisia dengan membawa madzab Hanafi maka sedikit demi sedikit baik melalui kekuasaan pemerintahan langsung maupun melalui sebuah sistem kedaerahan memberi pengaruh penting di negeri ini. Sehingga keberadaan pengikut madzab Hanafi dan Maliki keduanya saling berdampingan. 

Ketika Perancis menguasai Tunisia, Perancis menyerahkan soal-soal hukum keluarga, misalnya perkawinan, perceraian, kewarisan dan kepemilikan tanah pada yurisdiksi syariat yang dikepalai oleh hakim-hakim Hanafi atau Maliki, namun dengan catatan dengan menggunakan prinsip-prinsip peraturan hukum Perancis sebagaimana dalam prinsip hukum mereka yang terdapat dalam hukum perdata, pidana, niaga, dan acara di pengadilan.  

Situasi seperti ini berlangsung dengan mulus karena secara politis upaya pengembangan dalam berbagai bidang termasuk hukum keluarga sangat tergantung pada peran ulama seperti Khiyar al-Din yang berusaha memahami atas konsep dan perihal baru yang datang dari Perancis. Di Tunisia sangat kecil bahkan sama sekali tidak ada, ketegangan antara ulama dan beberapa kalangan termasuk pejabat Perancis. Keduanya bekerja sama dalam mengembangkan berbagai hal seperti administrasi wakaf, publik dan menejemen zakat dan pajak.

Setelah merdeka 1956 upaya bertahap untuk membentuk hukum keluarga secara komprehensip terus dilakukan. Pengembangan dan kodifikasi hukum keluarga di Tunisia terus dilakukan. Materinya adalah pemikiran hukum dari gabungan antara madzab Hanafi dan Maliki. Usaha itupun berhasil dengan berlakunya Undang-undang hukum keluargaMajalla al-Ahwal al-Syahsiyyah tahun 1956

Demikian penjelasan singkat mengenai Hukum Perkawinan di Negara Muslim yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: