BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Lembaga Penanganan Pornografi

Lembaga Penanganan Pornografi
Bangsa Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi dalam beberapa hal masih tertinggal. Kondisi ini dikarenakan masih relatif rendahnya sumber daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini termasuk kemampuan dalam menghadapi masalah hukum yang timbul. 

Salah satu pengaruh negatif yang timbul adalah tingginya tingkat kejahatan di berbagai bidang dengan beragam modus operasinya (Agus Raharjo, "Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi", Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 34 ). Pembangunan hukum nasional dilaksanakan guna mengantisipasi pesatnya perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang diakibatkan oleh globalisasi di bidang ekonomi dan perdagangan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan hukum yang seharusnya sebagai kaidah yang mendahului dinamika masyarakat tidak dapat memainkan perannya sebagai rekayasa sosial yang memberi dasar dan sekaligus arah perkembangan agar tetap sesuai dengan wawasan dan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia sehingga upaya kreatif perlu dilakukan baik dalam pelaksanaan pembentukan pembaharuan hukum maupun dalam penegakan hukum dan peningkatan profesionalisme aparatur penegak hukum (Suratman dan Andri Winjaya Laksana, "Analisis Yuridis Penyidikan Tindak Pidana Pornografi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Di Era Digitalisasi", Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume I No. 2 Mei – Agustus 2014, hlm 170).

Kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi ini berimplikasi pada perubahan sosial menimbulkan permasalahan baru terhadap kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perkembangan ilmu dan teknologi di berbagai bidang telekomunikasi multimedia, instagram, facebook, twitter, path, youtube, VKontakte dan lain sebagainya. Perbuatan melawan hukum di dunia maya sangat mengkhawatirkan.

Dibalik kemudahan yang dimiliki media tersebut, dampak negatifnya sering sekali disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Salah satu penyalahgunaan dari media sosial tersebut yaitu penyebaran informasi berupa konten pornografi (Desvi Christina Simamora, "Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pemilik Akun Instagram Yang Mengandung Konten Pornografi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi", Jurnal JOM Fakultas Hukum Volume IV Nomor 1, Februari 2017, hlm 2).

Kemajuan tersebut membuat oknum-oknum jahil menyebarkan situs-situs dan konten-konten yang berisi pornografi. Perkembangan teknologi telah membawa bentuk-bentuk baru dari pornografi. Pornografi diidentifikasikan oleh Burhan Bungin (Burhan Bungin, "Erotika Media Massa", Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001, hlm. 6-7 ) yaitu:
  1. Pornoaksi;
  2. Pornomedia;
  3. Pornoteks; dan
  4. Pornosuara. 
Pornoaksi merupakan penggambaran aksi gerakan tubuh, penonjolan bagian-bagian tubuh yang dominan memberi rangsangan seksual sampai dengan aksi mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak disengaja atau disengaja untuk membangkitkan nafsu seksual bagi yang melihatnya. 

Pornomedia merupakan aksi-aksi subjek dan objek seksual yang dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain sehingga menimbulkan rangsangan bagi seseorang. Pornomedia ini merupakan realitas porno yang diciptakan media, seperti gambar dan teks porno yang dimuat di:
  1. Media cetak;
  2. Film porno (baik dalam bentuk VCD, DVD, film yang dapat didownload melalui handphone); 
  3. Cerita porno melalui media, provider telepon maupun melalui internet.
Dalam proses penegakan hukum untuk memberantas pornografi, ada beberapa institusi yang memiliki pengaruh besar dalam pelaksanaanya, yaitu:
  • Pertama, tentu saja institusi-institusi formal yang dikenal sebagai aparat penegak hukum seperti: 
    1. Kepolisian; 
    2. Kejaksaan;
    3. Kehakiman;
    4. Advocate atau Pengacara; dan
    5. Lembaga Pemasyarakatan. 
  • Kedua, Institusi lain yang diantaranya sebagai berikut: 
    1. Lembaga Sensor Film (LSF);
    2. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI); 
    3. Lembaga Keagamaan seperti:
      • Majelis Ulama Indonesia (MUI); dan
      • Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Lembaga Sensor Film (LSF) dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1994 sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1992 tentang perfilman yang lama. 

Adapun peraturan perundang-undangan tentang perfilman yang terbaru adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2009. Adapun mengenai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga baru yang terbentuk pada akhir tahun 2003, yaitu pada tanggal 26 Desember 2003.

Kaitannya dengan pemberantasan pornografi yang sebagai salah satu institusi penyiaran, maka kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mempunyai arti yang sangat menentukan seperti Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang telah terbentuk yang berisi hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh stasiun televisi.

Meskipun tidak memiliki hubungan secara langsung dengan Lembaga Sensor Film (LSF), namun kedua lembaga ini dapat saling melengkapi dalam hal pengaturan suatu tayangan. Lembaga Sensor Film (LSF) mempunyai kewenangan untuk melakukan sensor sekaligus menetapkan penggolongan usia penonton terhadap suatu tayangan. Sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki tugas untuk mengawasi apakah tayangan tersebut ditayangkan pada jam-jam yang diperbolehkan dan ditetapkan oleh Lembaga Sensor Film (LSF).

Adapun yang terpenting adalah bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi institusi penyiaran yang melanggar pedoman. Mengenai sanksi asministratif tersebut sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002  adalah sebagai berikut:
  1. Teguran tertulis;
  2. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
  3. Pembatasan durasi dan waktu siaran;
  4. Denda administratif;
  5. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
  6. Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; dan/ atau
  7. Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sangat menentukan bagi terwujudnya tayangan-tayangan televisi yang bermutu dan mencegah menyebarnya tayangan-tayangan yang bernuansa pornografi khususnya serta tayangan yang destruktif bagi pemirsa pada umumnya.

Institusi lain dalam penanganan pornografi adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu merupakan wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Umat Indonesia (MUI) berdiri pada tanggal 26 juli 1975 sebagai hasil pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Meskipun tidak memiliki kekuatan secara formal mengikat terhadap masyarakat, namun keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai institusi yang mewadahi seluruh umat Islam sebagai umat terbesar di Indonesia yang memiliki kekuatan moral yang diharapkan mampu membimbing umat. Kaitannya dengan pornografi khusunya di televisi merupakan sebuah kemungkaran yang harus dicegah dan ditanggulangi. 

Hal ini sesuai dengan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai penegak amar maruf nahi munkar yang berupa fatwa tentang larangan pornografi. Meskipun tidak ada jaminan bahwa fatwa tersebut akan dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia, namun setidaknya hal tersebut merupakan bentuk kepedulian Majelis Umat Indonesia (MUI) terhadap umat mengingat dampak yang ditimbulkan oleh pornografi begitu besar terhadap moral masyarakat.

Lembaga keagamaan lainnya adalah Dewan Gereja Indonesia (DGI), juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Hal mana lembaga-lembaga tersebut berperan dalam memberikan seruan moral kepada umatnya masing-masing. Sebab dampak yang ditimbulkan oleh tayangan pornografi tidak hanya tertuju kepada orang-orang tertentu melainkan kepada semua orang tanpa memandang agama yang dianutnya (Lutfan Muntaqa, "Porno: Definisi dan Kontroversi", Yogyakarta: Jagad Pustaka, 2006, hlm. 147).

Demikian penjelasan singkat mengenai Lembaga Penanganan Pornografi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: