BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Pengaturan Pornografi di Luar KUHP

Pengaturan Pornografi di Luar KUHP
  1. Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi;
  2. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang ITE;
  3. Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
  4. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;
  5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; dan
  6. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman.
Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi
Pornografi dan pornoaksi sebagai unsur penting dalam pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi. Pornoaksi diumpamakan sebagai unsur pokok dalam pembuatan suatu produk benda terlarang misalnya opium sebagai bahan utama pembuatan serbuk heroin. Jika pembuatan heroin dilarang, maka tentu opium sebagai bahan utama pembuatan heroin juga dilarang untuk diproduksi, disebarluaskan dan digunakan.

Akan tetapi jika opium itu digunakan untuk obat penghilang nyeri dalam ukuran tertentu berdasarkan alasan ilmiah dalam ilmu kedokteran untuk menyelamatkan nyawa seseorang misalnya ketika seorang harus menjalankan operasi anggota tubuhnya, maka penggunaan opium untuk tujuan anestesi tentu diperbolehkan (Neng Djubaedah, "Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Perspektif Negara Hukum Berdasarkan Pancasila)", Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 22).

Tindak pidana pornografi dimuat dan diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dilihat dari sudut perbuatan yang dilarang, maka terdapat 33 (tiga puluh tiga) tindak pidana pornografi yang dimuat dalam 10 (sepuluh) pasal (Arianty Anggraeny Mangareng, "Efektivitas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Di Kota Makassar", Jurnal Meraja, Vol. 2, No. 2, Juni 2019, hlm. 32-33), yaitu sebagai berikut:
  1. Tindak pidana pornografi memproduksi, membuat dan lainnya pornografi (vide: Pasal 29 jo. Pasal 4 ayat 1). Adapun tindak pidana ini terdapat 12 (dua belas) bentuk perbuatan yang dilarang terhadap objek pornografi;
  2. Tindak pidana menyediakan jasa pornografi (vide: Pasal 30 jo Pasal 4 ayat 2);
  3. Tindak pidana meminjamkan atau mengunduh produk pornografi (vide: Pasal 31 jo Pasal 5);
  4. Tindak pidana memperdengarkan, mempertontonkan dan lainnya produk pornografi (vide: Pasal 32 jo Pasal 6);
  5. Tindak pidana mendanai atau memfasilitasi perbuatan memproduksi, membuat dan lainnya pornografi (vide: Pasal 33 jo Pasal 7);
  6. Tindak pidana sengaja menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi (vide: Pasal 34 jo Pasal 8);
  7. Tindak pidana menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi (vide: Pasal 34 jo Pasal 8);
  8. Tindak pidana mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum (vide: Pasal 36 jo Pasal 10);
  9. Tindak pidana melibatkan anak dalam kegiatan dan/ atau sebagai objek dalam tindak pidana pornografi (vide: Pasal 37 jo Pasal 11);
  10. Tindak pidana mengajak, membujuk dan lainnya anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi (vide: Pasal 38 jo Pasal 12).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang bagaimana cara menyiarkan, mempertontonkan, maupun menyalahgunakan internet untuk penyebaran pornografi. 

Namun berdasarkan pengertian pornografi yang menyatakan media atau sarananya adalah melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum (Suhartanto dan Muhammad Fahrur Rozi, "Tindak Pidana Pornografi Melalui Media Sosial Instagram Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik", Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Gresik, Vol. 1 No. 1 Tahun 2018, hlm. 11).

Unsur rumusan pornografi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornogarfi (Barda Nawawi Arief, "Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana", Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm .267) terdiri dari :
  1. Objek, berupa gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan lainnya;
  2. Syarat kualifikasi objek memuat kecabulan atau ekploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat;
  3. Publisitas melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang ITE
Perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informasi telah berjalan sedemikian rupa, dan telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat (Irma Rumtianing Uswatul Hanifah, "Kejahatan Pornografi Upaya Pencegahan dan Penanggulangannya di Kabupaten Ponorogo", Jurnal Justitia Islamica, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2013, hlm. 440).

Ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
  • Tulisan;
  • Suara;
  • Gambar;
  • Peta;
  • Rancangan;
  • Photo;
  • Electronic Data Interchange (EDI);
  • Surat elektronik (electronic mail);
  • Telegram;
  • Teleks;
  • Telecopy atau sejenisnya;
  • Huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Dokumen elektronik sebagaimana dijelaskan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Menurut Ramadhan dan Anna Rahmania sebagaimana dikutip L. Heru Sujamawardi mengemukakan tentang ketentuan hukum di Indonesia bahwa pengaturan tentang kejahatan terhadap kesusilaan melalui media elektronik secara khusus dimuat dan diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana menyebutkan bahwa:
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
Dengan penafsiran sistematis terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai ketentuan umum dapat diketahui bahwa ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik melarang aktivitas yang melanggar norma asusila yang dilakukan dengan media elektronik (L. Heru Sujamawardi, "Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik", Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Volume 9 Nomor 2 April 2018, hlm. 88).

Menurut Penjelasan Pasal 27 ayat 1 (L. Heru Sujamawardi, "Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik", Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 9 Nomor 2 April 2018, hlm 88-89) disebutkan bahwa:
  1. Mendistribusikan adalah mengirimkan dan/ atau menyebarkan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik;
  2. Mentransmisikan adalah mengirimkan informasi elektronik dan/ atau dokumen eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui sistem elektronik;
  3. Membuat dapat diakses adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.
Mengacu kepada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka seseorang yang mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, dengan unsur sengaja dan tanpa hak adalah dikategorikan telah melakukan perbuatan pidana dan kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana (L. Heru Sujamawardi, "Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik", Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Volume 9 Nomor 2 April 2018, hlm. 89).

Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya (vide: Pasal 1 angka 1).

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang berkaitan dengan tindak pidana pornografi terdapat dalam Bab IV Pasal 21 yang pada rumusannya menentukan bahwa penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan:
  1. Kepentingan umum;
  2. Kesusilaan;
  3. Keamanan; atau
  4. Ketertiban umum.
Penyelenggara Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi tersebut di atas hanya dikenakan sanksi administrasi saja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 45 dan Pasal 46.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Di era kebebasan sekarang ini keberadaan media atau pers menjadi tempat yang nyaman bagi publikasi kejahatan pornografi. Oleh karena itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers memberikan larangan pemuatan pornografi di media.

Ketentuan tersebut sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 13 (Irma Rumtianing Uswatul Hanifah, "Kejahatan Pornografi Upaya Pencegahan dan Penanggulangannya di Kabupaten Ponorogo", Jurnal Justitia Islamica, Vol. 10 No. 2 Juli-Des. 2013, hlm 337-338) menyebutkan bahwa perusahaan pers dilarang memuat iklan:
  1. Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
  2. Minumana keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (vide: Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers).

Pers dalam proses berusaha menyediakan berita yang aktual, faktual, dan menarik. Berita yang aktual adalah berita atau informasi yang disajikan harus secepat mungkin disajikan kepada masyarakat sehingga berita atau informasi tidak kadaluarsa dalam publikasinya. Salah satu keuntungannya adalah masyarakat dengan segera dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di luar pandangan mereka. 

Disamping itu berita yang disajikan harus faktual atau dengan kata lain informasi yang dipublikasikan tidak direkayasa, kejadian yang diliput dan disiarkan benar-benar asli atau benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena hal ini juga nantinya akan berkaitan dengan hak dari pihak yang dipublikasikan agar tidak sampai menimbulkan salah persepsi yang berujung pada dugaan fitnah terhadap seseorang yang dilakukan oleh pers (Freistya Yenny Maqhfiroh, "Pertanggungjawaban Pidana Media Pers Terkait Penayangan Pornoaksi Melalui Media Televisi", Mimbar Keadilan Vol. 12 No. 1 Februari-Juli 2019, hlm 48).

Kebutuhan masyarakat akan informasi yang cepat dan mudah membuat masyarakat seakan buta akan kejelasan sumber dan kualitas dari sebuah berita. Bahkan tidak hanya sebatas berita, informasi lain yang berupa reality show dan kurang berkualitas bila dikaitkan dengan moral dan norma dalam masyarakat pun menjadi konsumsi rutin bagi masyarakat. 

Kemajuan teknologi membuat setiap orang dengan mudah mengakses segala macam berita bahkan hampir tanpa adanya penyaringan. Sebenarnya bila berbicara mengenai filter dari sebuah berita, pemerintah telah menyusun dan memikirkan sebelumnya bagaimana cara untuk menyaring berita agar dapat lebih berkualitas. 

Akan tetapi sayangnya pelanggaran bahkan kejahatan yang dapat merugikan satu pihak bahkan lebih pun menjadi halal bagi kalangan oknum pers yang berambisi akan popularitas perusahaannya dan tuntutan targetnya (Freistya Yenny Maqhfiroh, "Pertanggungjawaban Pidana Media Pers Terkait Penayangan Pornoaksi Melalui Media Televisi", Mimbar Keadilan Volume 12 Nomor 1 Februari-Juli 2019, hlm. 53).

Pengaturan tindak pidana pornografi dalam Undang-Undang Pornografi, yaitu ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa pers nasioanal berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Disamping itu juga terdapat dalam ketentuan Pasal 13 huruf a yang menyebutkan bahwa perusahaan iklan dilarang memuat iklan yang berakibat merendahkan suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Jadi pengaturan Undang-Undang Pers yang berkaitan pornografi terdapat pada kata rasa kesusilaan. Adanya perluasan makna yang lebih jelas. 

Selain itu juga, koridor Kode Etik Jurnalitik juga menyebutkan adanya larangan bagi pengelola media untuk menyiarkan berita yang berbau cabul (R.H. Siregar, "Setengah Abad Pergulatan Etika Pers", Jakarta, Dewan Kehormatan PWI, 2005, hlm 5). Jika ada insan pers yang menyiarkan berita berbau cabul atau porno, maka Dewan Pers dapat memberikan rekomendasi kepada organisasinya profesinya untuk memberikan sanksi administratif kepada insan pers tersebut.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Dunia penyiaran tidak saja menginformasi kan berita yang positif tetapi juga negatif, salah satunya adalah pornografi. Bahkan, berbagai media saat ini sudah sampai pada taraf yang membahayakan. Medium pornografi ini berupa tabloid panas, internet, VCD atau DVD porno yang tanpa disadari media-media lainya baik cetak maupun elektronik juga turut memberi andil dalam penyebarannya seperti:
  1. Surat kabar;
  2. Majalah;
  3. Televisi;
  4. Bioskop; atau
  5. Radio. 
Oleh karena itu, pemerintah membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang beranggotakan 9 orang sebagai pengamalan Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (Irma Rumtianing Uswatul Hanifah, "Kejahatan Pornografi Upaya Pencegahan dan Penanggulangannya di Kabupaten Ponorogo", Jurnal Justitia Islamica, Vol. 10 No. 2 Juli-Des 2013, hlm 339).

Broadcasting adalah cabang dari ilmu komunikasi yang berhubungan dengan penyiaran. Penyiaran (broadcasting) merupakan kegiatan penyelenggaraan siaran, yaitu rangkaian mata acara dalam bentuk audio visual yang ditransmisikan dalam bentuk signal suara dan atau gambar (Muhamad Mufid, "Komunikasi dan Regulasi Penyiaran", Jakarta: Kencana, 2017, hlm. 67).

Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/ atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel dan/ atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran (Morisan, "Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio dan Televisi", Tangerang: Ramdina Prakarsa, 2015 hlm. 28).

Dasar pengaturan lembaga penyiaran yang menyiarkan program siaran berkonten pornografi yaitu Undang-Undang Penyiaran yang dimuat dan diatur dalam Pasal 36 ayat (5) jo Pasal 57 butir (d) yang menyebutkan bahwa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) yang isi ketentuan pasalnya menyebutkan bahwa:
"Isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan dalam Undang-Undang Penyiaran"
Pengaturan tindak pidana pornografi dalam Undang-Undang Penyiaran meliputi Pasal 36 ayat (5) yang menentukan bahwa isi siaran dilarang:
  1. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/ atau bohong;
  2. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
  3. Mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan.
Jadi dalam Undang-Undang Penyiaran ini yang mengandung unsur pornografi terdapat pada kata-kata menonjolkan unsur cabul. Untuk itu dari Pasal 36 ayat (5) Undang-Undang tentang Penyiaran yang memberikan batasan terhadap pornografi masih belum atau kurang jelas.

Mengenai sanksi pidana dalam Pasal 57 Undang-Undang tentang Penyiaran adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah). Sementara, ancaman sanksi pidana dalam Pasal 58 Undang-Undang tentang Penyiaran adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melanggar hukum.

Teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) serta menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan (Agus Raharjo, "Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi", Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 34).

Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (vide: Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman).

Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan pengaturan tentang pornografi terdapat dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 33, 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (Humala Simangunsong, "Analisis Pengaruh Penegakan Hukum Terhadap Perkembangan Cyber Crime", Jurnal Mantik Penusa, Vol 2 No. 1 tahun 2018, hlm 138-139) sebagaimana penjelasan berikut di bahwa ini:

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa Sensor Film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/ atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa Perfilman di Indonesia diarahkan kepada terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan, penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa kegiatan pengedaran film dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai sosial budaya yang hidup di kalangan masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam peredaran dan/atau pertunjukan dan/atau penayangannya ternyata menimbulkan gangguan terhadap ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan hidup masyarakat.

Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa untuk mewujudkan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman, (terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan, penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara), setiap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/ atau ditayangkan wajib disensor.

Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa penyensoran dapat mengakibatkan bahwa sebuah film:
  1. Diluluskan sepenuhnya untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/ atau ditayangkan;
  2. Dipotong bagian gambar tertentu untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/ ditayangkan;
  3. Ditiadakan suara tertentu untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/ atau ditayangkan;
  4. Ditolaknya seluruh film untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/ atau ditayangkan.
Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa mempidana barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/ atau menayangkan:
  1. Film dan/ atau reklame film yang ditolak oleh lembaga sensor film;
  2. Potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga sensor film;
  3. Film yang tidak disensor.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan bahwa mempidana barang siapa yang mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/ atau menayangkan: reklame film yang tidak disensor.

Demikian penjelasan singkat mengenai Pengaturan Pornografi di Luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: