BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Pengaturan Senjata Ilegal dalam Hukum Internasional

Pengaturan Senjata Ilegal dalam Hukum Internasional
Isu perdagangan senjata ilegal Small Arms and Low Weapon (SALW) pertama kali muncul dalam agenda internasional terkait dengan pengiriman misi pencarian fakta oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN fact-finding mission) ke Afrika Selatan pada tahun 1994. 

Hal ini dilakukan dalam menanggapi permintaan Presiden Mali pada bulan Oktober 1993 sehingga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan sebuah tim penasihat yang kemudian dikenal dengan sebutan Advisory Mission pada bulan Agustus 1994 yang memiliki tugas untuk membantu Negara Mali dalam upaya pengumpulan senjata ringan yang dikembangkan di Negara tersebut. 

Dalam laporannya kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa, Advisory Mission (David Biggs, "United Nations Contributions to the Process") memberikan 3 (tiga) kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
  1. Bahwa situasi keamanan secara keseluruhan di Mali harus ditingkatkan sebelum pelaksanaan program pengumpulan senjata;
  2. Bahwa situasi demikian sangat mempengaruhi pembangunan sosial ekonomi sehingga mendorong terjadinya lingkaran setan (vicious cycle) dalam masalah peredaran senjata ilegal; dan
  3. Bahwa situasi tersebut tidak hanya terjadi di Mali sehingga harus ditujukan dalam konteks subregional. 
Pada bulan Desember 1994, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang berjudul "Assistance to States for Curbing the Illicit Traffic in Small Armsand Collecting Them" (Keke Viernia, "Tinjauan hukum internasional terhadap masalah penyeludupan senjata lintas negara", Skripsi, Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hlm. 175).

Dalam resolusi ini, Majelis Umum berterima kasih kepada pemerintah Negara Mali karena melalui bantuan yang telah diberikan oleh Advisory Mission, Negara Mali telah mengajak negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lain agar melaksanakan upaya pengawasan nasional untuk mengontrol peredaran senjata berkaliber kecil, terutama melalui upaya pencegahan ekspor ilegal terhadap senjata tersebut, serta mengajak masyarakat internasional untuk memberikan dukungan sepatutnya terhadap upaya yang dilakukan oleh negara-negara terkait dalam menekan peredaran ilegal atas senjata berkaliber kecil yang dapat menghambat pembangunan. Pada bulan Februari dan Maret, Advisory Mission melanjutkan tugasnya dengan mengunjungi enam negara di Afrika bagian Selatan lainnya (David Biggs, United Nations Contributions to the Process).

Pada bulan Januari 1995, masalah Small Arms and Low Weapon (SALW) ini diberikan perhatian khusus oleh Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam lampirannya pada Agenda for Peace yang memperkenalkan konsep perlucutan senjata mikro (micro disarmament), sebagaimana kutipannya adalah sebagai berikut:
"practical disarmament in the context of the conflicts the United Nations is actually dealing with and of the weapons, most of them light weapons, that are actually killing people in the hundres of thousands."
Terjemahan bebas:
"pelucutan senjata praktis dalam konteks konflik yang sebenarnya dihadapi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan senjata, kebanyakan dari mereka adalah senjata ringan, yang benar-benar membunuh orang dalam jumlah ribuan."
Selanjutnya pada bulan Maret 1995, United Nations Institute for Disarmament Research (UNIDIR) yang bermarkas di Geneva melalui kerja sama dengan Centre for Disarmament Affairs membuat laporan yang berjudul Small Arms and Intra-state Conflicts berdasarkan workshop yang diselenggarakan oleh UNIDIR pada bulan November 1994. Dalam laporannya, United Nations Institute for Disarmament Research (UNIDIR) menyatakan bahwa senjata berkaliber kecil memiliki sifat yang agak khusus dan tidak tercakup ke dalam pola pengawasan senjata yang telah ada. 

Dalam kesimpulannya, United Nations Institute for Disarmament Research (UNIDIR) memberikan rekomendasi agar Sekjen dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan perhatian khusus terhadap masalah senjata berkaliber kecil dan konflik antar-negara. Sehubungan dengan laporan United Nations Institute for Disarmament Research (UNIDIR) ini, maka pada bulan Desember 1995, Majelis Umum mengeluarkan resolusi pertamanya mengenai senjata berkaliber kecil.

Melalui resolusi ini, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyiapkan sebuah laporan dengan bantuan tim panel mengenai masalah: 
  1. Tipe Small Arms and Low Weapon (SALW) yang digunakan dalam sejumlah konflik berdasarkan ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
  2. Karakter Small Arms and Low Weapon (SALW) dan penyebab terjadinya transfer Small Arms and Low Weapon (SALW) yang berlebihan termasuk kegiatan produksi dan perdagangan senjata ilegal; dan 
  3. upaya untuk mencegah dan mengurangi peredaran Small Arms and Low Weapon (SALW) yang berlebihan terkait dengan akibatnya yang dapat menimbulkan serta memperparah konflik. 
Untuk menindaklanjuti resolusi ini, maka Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian membentuk dua tim ahli yang bertugas untuk membahas masalah senjata berkaliber kecil, yaitu:
  1. Panel of Experts on Small Arms; dan 
  2. Group of Governmental Experts on Small Arms.
Pada bulan Agustus 1999, Group of Governmental Experts menyampaikan laporannya yang menyatakan bahwa perkembangan dalam pelaksanaan rekomendasi dari Panel telah dilaksanakan dalam berbagai skala, yakni melalui upaya-upaya yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, forum-forum internasional lainnya, organisasi-organisasi regional dan subregiona, dan oleh negara-negara angota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam laporannya ini, Group of Governmental Experts juga memberikan pandangannya mengenai tujuan, ruang lingkup, agenda, waktu, tempat, serta panitia persiapan (preparatory committee) untuk konferensi internasional mengenai perdagangan ilegal senjata dalam segala aspeknya.

Pada bulan Juni 1999, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan bantuan sebuah tim yang terdiri dari delapan orang ahli mempersiapkan laporan mengenai masalah amunisi dan bahan peledak. Tim ini secara umum menyatakan bahwa upaya yang ditujukan terhadap masalah yang terkait dengan Small Arms and Low Weapon (SALW) tidak lengkap jika tidak mencakup masalah amunisi dan bahan peledak.

Akhirnya pada 9-21 Juli 2001 diselenggarakan United Nations Conference on the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects yang berlangsung di New York. Dalam konferensi ini disepakati suatu programme of action, yaitu Programme of Action to Prevent, Combat, and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons, in All Its Aspect (Program Aksi Mencegah, Memerangi, dan Memberantas Perdagangan Senjata Ringan dan Senjata Ringan, dalam Semua Aspeknya) yang dikenal dengan sebutan UNPoA. 

UNPoA diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam resolusi 56/24 V (UN General Assembly Resolution A/RES/56/24 V) pada 24 Desember 2001 yang isinya antara lain meminta seluruh negara untuk melaksanakan programme of action tersebut. Secara umum, UNPoA ini antara lain bertujuan untuk: 
  1. Meningkatkan upaya-upaya yang dilakukan dalam skala internasional, regional dan nasional;
  2. Mencegah perdagangan Small Arms and Low Weapon (SALW) secara illegal;
  3. Membendung transfer Small Arms and Low Weapon (SALW) kepada daerah yang kondisinya sedang tidak stabil;
  4. Menggalakkan tanggung jawab negara dalam kegiatan impor, ekspor, transit dan pengiriman kembali Small Arms and Low Weapon (SALW);
  5. Meningkatkan kesadaran terhadap ancaman dan masalah yang berkaitan dengan Small Arms and Low Weapon (SALW) ilegal; dan
  6. Memperoleh partisipasi yang maksimal dari Negara-negara dalam upaya mengurangi ancaman terhadap umat manusia.
Meskipun UNPoA ini tidak mengikat secara hukum karena bersifat political binding, namun dengan dicapainya kesepakatan terhadap UNPoA ini mencerminkan bahwa negara-negara menyadari dan mengakui betapa pentingnya dilaksanakan tindakan untuk menghentikan bencana yang ditimbulkan oleh Small Arms and Low Weapon (SALW). 

Kesepakatan terhadap UNPoA ini juga menunjukkan keinginan negara-negara untuk bekerja sama dalam melaksanakan tindakan-tindakan tersebut. Pada tahun 2006 dalam suatu konferensi negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa secara bersama-sama: 
  1. Mengevaluasi proses pelaksanaan UNPoA;
  2. Meninjau kembali UNPoA; dan
  3. Menetapkan tindakan selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan negara-negara dalam memerangi perdagangan illegal Small Arms and Low Weapon (SALW). 
Konferensi yang dikenal sebagai Review Conference 2006 tersebut didahului dengan pertemuan dua tahun sekali pada tahun 2003 dan 2005. Selama berlangsungnya pertemuan tersebut, negara-negara membicarakan proses pelaksanaan UNPoA dan saling bertukar pengalaman dalam upaya melawan perdagangan ilegal Small Arms and Low Weapon (SALW).

Dari pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengaturan hukum Internasional tentang senjata illegal bahwa pada 9-21 Juli 2001, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan United Nations Conference on the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects yang berlangsung di New York. 

Dalam konferensi ini disepakati suatu program aksi, yaitu Programme of Action to Prevent, Combat, and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons, in All Its Aspect (Program Aksi Mencegah, Memerangi dan Memberantas Perdagangan Senjata Ringan dan Senjata Ringan dalam Semua Aspeknya) yang dikenal dengan sebutan UNPoA. 

UNPoA diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam resolusi 56/24 V (UN General Assembly Resolution A/RES/56/24 V) pada 24 Desember 2001 yang isinya antara lain meminta seluruh negara untuk melaksanakan programme of action tersebut dan UNPoA menjadi dasar pertama peraturan hukum Internasional mengenai perdagangan senjata ilegal.  

Demikian penjelasan singkat mengenai Pengaturan Senjata Ilegal dalam Hukum Internasional yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: