BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Penyelundupan Senjata di Thailand

Penyelundupan Senjata di Thailand
Thailand
Meskipun Thailand tidak banyak menghadapi masalah konflik internal di negaranya yang bisa mempengaruhi arus pergerakan senjata ke wilayahnya seperti halnya Filipina, namun Thailand juga menghadapi masalah penyelundupan senjata yang cukup serius. Thailand dikenal sebagai pusat dari saluran pengiriman senjata ke wilayah-wilayah konflik yang ada di kawasan Asia Tenggara dan juga Asia Selatan. 

Masalah penyelundupan senjata di Thailand pada dasarnya terkait dengan peran Thailand sebagai negara produsen senjata dan juga negara transit dari perdagangan senjata. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dari tahun 1950an hingga awal 1980an, sumber utama dari persediaan senjata Thailand diperoleh dari Amerika Serikat. Bahkan, Amerika Serikat masih berperan penting terhadap persenjataan di Thailand hingga saat ini (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 111).

Selain itu, sumber lain senjata di Thailand adalah berasal dari senjata sisa konflik di Kamboja. Senjata ini diperoleh baik dari mantan tentara pemerintahan Heng Samrin, maupun mantan kelompok-kelompok gerilya yang menjual senjatanya karena kesulitan uang (Thitinan Pongsudhirak, "Small Arms Trafficking In Southeast Asia: A Perspective From Thailand" dalam Small Is (Not) Beautiful, The Problem of Small Arms in Southeast Asia, edited by Philips Jusario Vermonte, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2004, hlm. 62). Thailand juga diketahui memperoleh suplai senjata dari negara-negara lain, seperti:
  1. Cina;
  2. Korea Utara; dan 
  3. Rusia. 
Sebagai negara produsen senjata, Thailand memiliki Ministry of Defencerun Army Weapons Production Centre (AWPC) yang berlokasi di Lok Buri, 150 km (seratus lima puluh kilometer) dari utara Bangkok (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 111). 

Ministry of Defencerun Army Weapons Production Centre (AWPC) memegang lisensi dari perusahaan raksasa pembuat senjata asal Jerman, yaitu Heckler & Koch. Lisensi yang dimiliki Thailand adalah untuk memproduksi senapan mesin jenis HK33 dan HK 21A1 (Lora Lumpe, hlm. 90).

Persoalan Thailand sebagai negara produsen senjata yaitu adanya ancaman kobocoran yang serius dari angkatan bersenjata Thailand yang seperti umumnya di negara berkembang lainnya dihadapi dengan masalah dalam stockpile management dan juga praktek korupsi dan suap yang meluas. 

Praktek-praktek penjualan senjata secara ilegal oleh anggota angkatan bersenjata Thailand, umumnya di kamp tentara sepanjang perbatasan Thailand dan Malaysia sangat umum terjadi. Bahkan, praktek ini melibatkan anggota dengan pangkat cukup tinggi seperti kolonel. Pedagang-pedagang senjata di Thailand menjadi pemasok bagi kelompok kejahatan di Johor Baru, para bajak laut yang beroperasi di perairan Selat Malaka, hingga kelompok-kelompok separatis di Filipina, seperti:
  1. Moro Islamic Liberation Front (MILF); dan
  2. The Abu Sayyaf Group (ASG).
Selain masalah kebocoran senjata, Thailand juga dihadapi dengan masalah perdagangan senjata ilegal oleh dealer senjata. Thailand memiliki pasar senjata gelap yang cukup besar yang mana berawal dari Perang Vietnam. Pada dasarnya Thailand dikenal memiliki peraturan yang ketat mengenai perdagangan senjata. 

Thailand menetapkan pembatasan-pembatasan mengenai jumlah senjata yang boleh dibeli oleh dealer dalam satu tahunnya dan ketentuan ini sulit untuk diubah. Peraturan ini antara lain menetapkan bahwa setiap toko senjata yang ada di Thailand hanya boleh mengimpor 30 (tiga puluh) senjata per tahun (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 116). 

Pada kenyataannya, penegakan hukum di lapangan tidak berjalan sesuai dengan pengaturan yang ketat ini. Pelaksanaan peraturan ini dianggap kurang berhasil. Banyak pedagang senjata yang mengimpor lebih dari kuota yang telah ditetapkan dan menjualnya di pasar gelap dengan memakai agen militer atau polisi sebagai perantaranya (Thitinan Pongsudhirak, "Small Arms Trafficking In Southeast Asia: A Perspective From Thailand" dalam Small Is (Not) Beautiful, The Problem of Small Arms in Southeast Asia, edited by Philips Jusario Vermonte, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2004, hlm. 61).

Pada sejumlah kasus, agen intelijen Thailand mengalami kesulitan untuk mengambil tindakan terhadap kegiatan penyelundupan senjata ini ketika transaksi perdagangan senjata ilegal itu bukan berlangsung di wilayah teritorial Thailand. Transaksi ini seringkali dilakukan di laut bebas sehingga Thailand tidak memiliki yurisdiksi untuk menindak transaksi tersebut.

Pada masa pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, pedagang senjata di Thailand juga berperan dalam pembelian senjata oleh kelompok pemberontak ini. Berdasarkan Small Arms Survey 2002 dengan kurang lebih 5.000 (lima ribu) orang bersenjata, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diperkirakan memiliki 2.000 (dua ribu) sampai 3.000 (tiga ribu) senjata termasuk M-16 yang mereka rampas atau beli dari aparat keamanan di Aceh, serta jenis AK-47 yang sebagian besar diselundupkan dari Thailand. 

Senjata dari Thailand ini umumnya berasal dari pedagang-pedagang senjata di Kamboja yang masuk ke wilayah selatan Thailand dengan bantuan dari kelompok separatis Thailand, yaitu Pattani United Liberation Organisation (PULO). Senjata ini kemudian dipindahkan ke Malaysia dan selanjutnya dikapalkan melalui Selat Malaka menuju Aceh (Keke Viernia, "Tinjauan hukum internasional terhadap masalah penyeludupan senjata lintas negara", Skripsi, Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hlm. 76).

Demikian penjelasan singkat mengenai Penyelundupan Senjata di Thailand yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: