BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Peran PPATK Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang

Peran PPATK Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang
Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang di Indonesia. 

Hal ini tentunya akan sangat membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crime). Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk di Indonesia yang begitu besar dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya.

Tugas Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yaitu menerima dan meminta informasi dari semua pelapor seperti masyarakat dan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 83 sampai dengan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki hak untuk melanjutkan atau menghentikan penyidikan terhadap transaksi yang mencurigakan. Adapun sebelum melakukan penghentian dan melakukan pemeriksaan, Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus benar-benar memeriksa transaksi tersebut apakah benar transaksi yang termasuk dalam rumusan Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mempunyai fungsi sebagai berikut:
  1. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
  2. Pengelolahan data dan informasi yang diperoleh Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
  3. Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor; dan
  4. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/ atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pentingnya Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilatarbelakangi kesadaran bahwa untuk memerangi pencucian uang dibutuhkan keahlian khusus. Pendirian unit intelijen keuangan yang bertugas menerima dan memperoleh informasi keuangan dari penyedia jasa keuangan harus dilihat dari latar belakang fenomena semakin meningkatnya kebutuhan akan pentingnya keahlian khusus tersebut. 

Adapun Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki tugas dan wewenang sebagaimana yang dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni terdiri dari:
  1. Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh;
  2. Memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang;
  3. Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang terindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
  4. Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK);
  5. Melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan (PJK) mengenai kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;
  6. Memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersifat independen sebagaimana yang dimuat dan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Zulkarnain Sitompul, "Problematika Perbankan", Bandung: Books Terrace and Library, 2005), hlm. 288), yaitu:
  1. Bertanggung Jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia;
  2. Tidak diperkenankannya setiap pihak untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
  3. Diwajibkannya Kepala dan Wakil Kepala Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menolak setiap campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
Langkah-langkah kongkrit yang dilakukan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya implementasi undang-undang tindak pidana pencucian uang adalah menerbitkan serangkaian ketentuan pelaksanaan agar dapat mengoperasionalkan undang-undang tersebut. Ketentuan pelaksanaan itu dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Kepala Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (Zulkarnain Sitompul, "Problematika Perbankan", Bandung: Books Terrace and Library, 2005), hal 290) yang meliputi:
  1. Pedoman umum tentang tindak pidana pencucian uang;
  2. Pedoman indentifikasi dan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan baik untuk penyedia jasa keuangan, pedagang valuta asing maupun usaha jasa pengiriman uang; dan 
  3. Pedoman pengecualian transaksi tunai.
Terbatasnya lembaga penyidikan pencucian uang menurut Yunus menyebabkan sulitnya kasus-kasus pencucian uang masuk ke pengadilan. oleh karena itu dari ribuan transaksi mencurigakan yang ditemukan hanya beberapa kasus yang masuk ke meja hakim. Setidak-tidaknya dengan banyaknya lembaga yang berwenang menyidik kasus pencucian uang, proses penyidikan bisa cepat sehingga kasus tidak menumpuk. Hal ini juga dilakukan agar ada persaingan kualitas diantara lembaga penyidikan (Zulkarnain Sitompul, "Problematika Perbankan", Bandung: Books Terrace and Library, 2005, hlm 290).

Selain perluasan lembaga penyidikan, dalam amandemen undang-undang ini Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga mengusulkan penambahan lembaga pelapor transaksi mencurigakan karena selama ini baru lembaga-lembaga keuangan saja yang diwajibkan melaporkan transaksinya ke Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). 

Dengan adanya amandemen itu menurut Yunus yang menyatakan bahwa nantinya notaris, agen penjual mobil dan rumah pun akan diwajibkan melaporkan transaksinya. Hal ini dikarenakan hasil korupsi biasanya dipergunakan untuk membeli properti (Zulkarnain Sitompul, "Problematika Perbankan", Bandung: Books Terrace and Library, 2005, hlm. 290).

Selama ini ketiadaan laporan dari lembaga-lembaga ini membuat penyidikan kesulitan melacak kemana saja uang hasil korupsi digunakan. Pembelian properti merupakan cara yang lazim dipakai untuk menghilangkan jejak dana hasil kejahatan. Perluasan-perluasan itu juga akan makin diperkuat oleh penambahan kewenangan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membekukan rekening tersangka pencucian uang (Adrian Sutedi, "Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan", Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 64).

Demikian penjelasan singkat mengenai Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: