BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Perspektif Islam Mengenai Pencucian Uang

Perspektif Islam Mengenai Pencucian Uang
Hukum islam berisi seperangkat aturan yang ditetapkan oleh tuhan yang didalamnya mencakup semua aspek kehidupan manusia yang bersandar pada dua aspek utama, yakni Al-Quran dan Hadits. Adapun pembahasan mengenai kejahatan-kejahatan dalam khazanah hukum islam biasa dikenal dengan fikih jinayah atau hukum pidana islam. 

Fiqih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumnya (uqubah) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Hukum pidana merupakan hukum publik artinya hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum baik berupa fasilitas umum maupun kepentingan manusia sendiri seperti jiwa dan badan. 

Dalam hukum pidana islam praktek memberikan sanksi pidana kepada setiap pelaku tindak pidana yang bersifat publik tersebut. Sedangkan pengertian dari jarimah sendiri adalah larangan-larangan syara yang dicantumkan oleh Allah SWT dengan hukuman had atau tazir.

Larangan-larangan tersebut kadang kala dapat berupa suatu tindakan mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Jadi, suatu perbuatan dapat dianggap sebagai jarimah apabila dilarang oleh syara. Apabila dilihat dari segi berat ringannya hukuman, maka jarimah dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
  1. Jarimah Hudud;
  2. Jarimah Qishash atau Diyat; dan
  3. Jarima Tazir.
Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah baik perbuatan maupun ancaman hukumannya sudah ditentukan oleh nash (Al-Quran dan Hadits) seperti contohnya zina, riddah (murtad), qodzaf (tuduhan perbuatan zina), hirobah (perampokan) dan minum-minuman keras (khomer).

Jarimah Qishash atau Diyat
Jarimah qishash atau diyat adalah jarimah yang berkenaan dengan nyawa dan diri manusia. Dalam literatur kajian tentang pidana islam, qishash ini seringkali dikaitkan dengan masalah diyat sehingga menjadi pidana qishash-diyat. 

Hal ini bisa dimengerti mengingat pidana qishash ini merupakan hukuman yang telah ditentukan batasnya baik itu batas tertinggi maupun terendahnya yang menjadi hak perorangan (korban/ walinya), hal ini tentu berbeda dengan sanksi pidana hudud dimana mengenai hukumannya adalah mutlak menjadi hak Allah SWT seperti contohnya pembunuhan sengaja, pembunuhan serupa sengaja, pembunuhan khilaf.

Jarima Tazir
Jarima tazir adalah pidana baik jenis perbuatannya maupun hukumannya tidak dicantumkan secara jelas dan tegas di dalam Al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu, maka penerapan kebijakan mengenai bagaimana seharusnya bentuk pidana tazir, berat ringannya dan cara eksekusinya sepenuhnya merupakan wilayah kewenangan manusia yakni melalui peraturan perundang-undangan oleh penguasa atau melalui ijtihad hakim dalam vonis hukumannya.

Adapun yang dapat diberikan secara bertingkat mulai dari memberikan nasihat, dera, hukuman kurungan sampai pada pidana mati khusus untuk kejahatan yang membahayakan umum. Mengenai arimah tazir ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu sebagai berikut:
  1. Jarimah yang macam perbuatannya sudah ditentukan oleh nash yaitu Al-Quran dan Hadits sedangkan hukumnya diserahkan kepada manusia (hakim atau pemerintah);
  2. Jarimah yang baik macam perbuatannya maupun hukumannya diserahkan kepada manusia seperti contohnya peraturan lalu lintas, tata tertib kependudukan.
Jadi konsep pemidanaan tazir pada prinsipnya adalah menjadi kewenangan penguasa untuk menggariskan asas-asasnya dalam peraturan perundang-undangan (qannun) dimana dalam pembuatannya maupun dalam penerapannya tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan hadits serta harus mempertimbangkan prinsip bahwa undang-undang itu dibuat dalam rangka menciptakan kemaslahatan manusia serta mencegah kerugian yang akan menimpanya. 

Artinya, hakim pelaksana undang-undang tentang pidana tazir ini benar-benar memiliki kewenangan melakukan interpretasi hukum yang luas dalam praktek pelaksanaannya. Sebab yang terpenting diperhatikan hakim dalam pemidanaan tazir ini adalah bahwa pidana itu dijatuhkan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan sekaligus menghindari atau mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan.

Melihat ketentuan-ketentuan mengenai jarimah tazir di atas, maka tindak pidana pencucian uang dapat digolongkan kedalam jarimah tazir karena tindak pidana pencucian uang ini merupakan suatu kasus kejahatan dalam dimensi baru dimana pada masa rosul dan khalifah tindak pidana ini belum dikenal, atau jarimah ini dapat dikatakan sebagai jarimah selain jarimah yang ditetapkan oleh syara (selain jarimah hudud dan qishash).

Tindak pidana pencucian uang dalam penggolongannya kedalam jarimah tazir karena dikaitkan dengan ijtihad (memutus suatu perkara dengan akal karena belum ada illat hukum) dan karena belum jelas ketentuan hukumnya sehingga dapat pula dikatakan bahwa tindak pidana pencucian uang adalah merupakan suatu jarimah yang ada karena ditentukan oleh ijtihad ulul amri (pemerintah) demi kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.

Hukum tazir boleh dan harus diterapkan sesuai dengan kemaslahatan umum yang dalam kaitan ini ada sebuah kaidah bahwa tazir itu sangat tergantung kepada tuntutan kemaslahatan yang kaidah ini diperkuat dengan isi surat An-nisa ayat 82 yang artinya:
"..sekiranya Al-Quran ini bukan dari Allah, pasti mereka mendapatkan banyak pertentangan didalamnya".
Ayat Al-Quran tersebut dengan jelas memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajaranNya hendaknya dipergunakan akal pikiran karena hanya dengan cara demikianlah kebenaran mutlak Al-Quran dapat diyakinkan. Selanjutnya berkaitan dengan jarimah tazir ini diperkuat dalam Al-Quran surat An-nisa ayat 59 yang artinya: 
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatlah kepada rosul dan penguasa darimu (ulul amri). Jika kamu berselisih tentang sesuatu, rujukkanlah kepada (kitab) Allah dan (sunnah) Rasul..".
Sehingga jika ada suatu kasus tindak pidana yang bersifat baru bukan telah berarti tidak ada hukumnya ataupun aturan pidana yang mengaturnya dan bukan berarti tindakan tersebut menjadi legal untuk dilakukan karena meski belum ada peraturan hukum yang mengaturnya (apalagi belum secara tegas dan jelas diatur dalam Al-Quran dan Al-Hadits), maka kasus tersebut tidak dapat langsung diputus begitu saja karena kita masih dapat menggunakan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum islam yang dikemukakan oleh pemimpin negara kita selaku pemegang kekuasaan (pemerintah).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan yang masuk dalam jarimah hudud dan qishash diyat bersifat limitatif, yaitu pada delik-delik tertentu saja yang sudah ditentukan oleh nash (Al-Quran dan Al-Hadits). Delik-delik yang masuk dalam kedua jarimah tersebut juga terikat oleh syarat-syarat tertentu.

Oleh karena itu tindak pidana pencucian uang sebagai suatu tindak pidana yang berakibat pada kemudharatan yang besar dapat dimasukan ke dalam jarimah tazir (selain ancaman hudud dan qishash diyat) dimana pelaksanaanya baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nash atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah SWT atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa (ulul amri).

Dari uraian-uraian tersebut, maka tindak pidana pencucian uang menurut hukum islam tetap bisa dijerat hukum karena tindak pidana pencucian uang termasuk dalam jarima tazir yang dikategorikan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
  1. Jarimah tazir dengan kategori ketentuan mengenai perbuatan tercela atau terlarang ada disebutkan dalam nash (Al-Quran dan Al-Hadits), namun ketentuan mengenai sanksi pidananya tidak disebutkan dalam nash dan jikapun disebutkan maka penyebutan sanksi pidana tersebut hanya bersifat ukhrawi (sanksi akhirat) seperti contohnya ialah perbuatan risywah (suap), fitnah, maisir (judi), menimbun barang keperluan orang banyak danlain  sebagainya;
  2. Jarimah tazir dengan kategori baik ketentuan mengenai perbuatan yang dinyatakan tercela atau terlarang maupun ketentuan mengenai sanksi pidananya, kedua-duanya tidak disebutkan sama sekali dalam nash (Al-Quran dan Al-Hadits). Namun dalam realitas sosial, perbuatan tersebut menempakan fenomena sebagai perbuatan yang merugikan atau setidaknya berpotensi akan mendatangkan kerugian dalam kehidupan manusia. Terhadap jenis perbuatan yang demikian, penguasa dapat menetapkannya sebagai jarimah tazir berdasarkan prinsip pokok inti tujuan syariat hukum islam yaitu darul mafaasidi wa jalbul mashaalihi (mencegah atau menghindari semaksimal mungkin timbulnya kerusakan dan menciptakan seluas mungkin kemaslahatan bagi kehidupan manusia).
Khusus jarimah tazir kategori kedua diatas, apabila penguasa berkeinginan untuk menetapkannya sebagai jarimah (tindak pidana) melalui peraturan perundang-undangan, maka penguasa harus memperhatikan beberapa syarat agar penetapan suatu perbuatan sebagai jarimah tazir tersebut tidak over criminalization (kelewatan). Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikuy:
  1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela menurut ukuran-ukuran moralitas syariat agama; dan
  2. Perbuatan tersebut membahayakan atau berpotensi mendatangkan mudarat dalam kehidupan manusia baik itu mengenai diri pelaku perbuatan maupun mengenai masyarakat luas (laa dlaraara wa la dlaraara).
Dari seluruh penjelasan di atas sangat jelas bahwa tindak pidana pencucian uang dari jarimah tazir kategori pertama karena dalam perkembangannya tindak pidana pencucian uang tidak terlepas dari tindak pidana asalnya meskipun dalam pembuktiannya masih terdapat perdebatan namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan dari tindak pidana asalnya yang merupakan jarimah tazir kategori pertama dalam persfektif hukum islam sehingga memungkinkan untuk dijerat oleh hukum seperti contohnya adalah tentang:
  1. Larangan Riba (Al-Baqoroh: 183)
  2. Menipu harta (Al-Baqoroh: 188);
  3. Larangan minum khomar dan judi (Al- Maidah: 90);
  4. dan sebagainya.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan dasar dalam penanganan kasus tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang mana telah diketahui bahwa tindak pidana pencucian uang di Indonesia semakin berkembang dan semakin kompleks modusnya.

Demikian penjelasan singkat mengenai Perspektif Islam Mengenai Pencucian Uang yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: