BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Tinjauan Hukum Mengenai Perkawinan

Definisi Perkawinan
Menurut Prof. R. Sardjono, SH, mengemukakan bahwa Ikatan lahir berarti para pihak yang bersangkutan karena perkawinan secara formil merupakan suami istri baik bagi mereka dalam hubungan satu sama lain maupun bagi mereka dengan masyarakat luas. 

Pengertian ikatan lahir batin dalam perkawinan berarti dalam bathin suami istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk dan membina keluarga bahagia yang kekal, jelasnya dalam suatu perkawinan tidak boleh hanya ikatan lahir bathin saja atau ikatan bathin saja kedua unsur tersebut ada dalam stiap perkawinan.

Menurut Prof. Dr.Wirjono Projodikoro, SH., berpendapat bahwa Perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Paul Scholten, berpendapat bahwa Perkawinan adalah hubungan abadi antara dua orang yang berlainan kelamin, yang diakui oleh negara

Menurut Prof. Mr. Subekti Mengatakan bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Pengertian pertalian yang sah adalah hubungan antara dua orang yang berbeda jenis yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan sebaliknya hubungan diantara mereka itu tanpa menyalahi hukum yang dijunjung tinggi. 

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah sah apabila menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berdasarkan dari rumusan tersebut yang yang perlu diperhatikan yaitu digunakan kata Perkawinan yang sah apabila menurut agama masing-masing mengandung arti bahwa perkawinan itu bagi seluruh agama adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Adapun tujuan perkawinan diantaranya, yaitu:
  1. Mendapatkan anak keturunan yang sah untuk melanjutkan generasi yang akan datang.
  2. Mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. 
Asas dan prinsip perkawinan yang dianut oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan terdapat dalam penjelasannya, yaitu:
  1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal;
  2. Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Undang-Undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkannya seorang suami dapat beristri lebih dari seorang;
  4. Calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan;
  5. Mempersukar perceraian, hal mana perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
  6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami. 
Syarat Sah Perkawinan
Pengertian syarat sah perkawinan menurut Syuruth al-shihhah, yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat hukum apabila tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. 

Syarat sah perkawinan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu terdapat dalam Pasal 2. Adapun ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) menunjukkan syarat sah perkawinan menurut agama sedangkan pada ketentuan yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa sah menurut hukum setelah dipenuhinya ayat (1) terlebih dahulu.

Ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa: 
  1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Dalam Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) menentukan bahwa pada waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu perempuan saja, seorang perempuan hanya dengan satu lelaki saja. 

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) memandang perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja, hukum perdata di Indonesia bersifat pluralistic hal ini dikarenakan adanya golongan penduduk pada zaman penjajahan Belanda melalui Pasal 163 IS jo 131 IS termasuk hukum perkawinan juga pluralistic. Adapun hukum perkawinan yang berlaku pada masa itu adalah sebagai berikut:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang berlaku bagi golongan Eropa;
  2. Burgerlijk Wetboek (BW) dengan beberapa pengecualian ditambah dengan peraturan mengenai adopsi dan catatan sipil yang ditetapkan dengan Staatsblad 1917 No. 129 yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa;
  3. Hukum Adat masing-masing bagi golongan Timur Asing Non Tionghoa;
  4. Hukum Islam dan Hukum Adat bagi golongan Bumiputera yang beragama Islam;
  5. Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers (HOCI ) Staatsblad 1933 Nomor 74 bagi golongan Bumiputera yang beragama Kristen; dan
  6. Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Staatsblad 1898 No. 158 bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran.
Setelah merdeka Indonesia melakukan Unifikasi hukum perkawinan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adanya undang-undang tersebut tidak berarti peraturan yang lama dihapus begitu saja sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ketentuan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek, Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers, Regeling op de Gemengde Huwelijken dan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.

Artinya, apabila suatu hal tentang perkawinan yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka peraturan sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diterapkan. 

Menurut ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 2 KHI (Kompilasi Hukum Islam) menentukan bahwa perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 

Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 4 (Kompilasi Hukum Islam) menentukan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun perkawinan beda agama, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut: 
  1. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik;
  2. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab; dan
  3. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim.
Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT (Q.S. Al-Baqarah : 221) yang artinya sebagai berikut: 
"Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan-perempuan hamba yang beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik merdeka, walau ia menakjubkanmu".
Perempuan musyrik yaitu yang percaya kepada banyak Tuhan atau tidak percaya sama sekali kepada Allah SWT, kelompok ini haram melangsungkan perkawinan dengan muslim. Begitu juga sebaliknya laki-laki musyrik haram kawin dengan perempuan muslimah kecuali bila ia telah masuk Islam. Adapun di kalangan Ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa wanita musyrik yang haram dikawini, yakni sebagai berikut: 
  1. Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, wanita musyrik yang haram dikawini hanya wanita musyrik dari bangsa Arab saja karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non arab seperti wanita Cina, India atau Jepang yang diduga dahulu mempunyai kitab suci seperti pemeluk agama Hindu, Budha dan Konghuchu yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. 
  2. Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa semua wanita musyrik baik dari bangsa Arab maupun non Arab selain Ahlul Kitab yakni Yahudi  dan Kristen tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan yang bukan Yahudi atau Kristen tidak boleh dikawini oleh pria muslim apapun agama dan kepercayaannya. Karena pemeluk agama selain Islam, Yahudi dan Kristen adalah wanita musyrik.
Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab
Mengawini perempuan ahli kitab bagi laki-laki muslim sebenarnya dibolehkan oleh karena ada petunjuk yang jelas terdapat dalam Al- Quran sebagaimana terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya sebagai berikut:
"Pada hari ini dihalalkan kepadamu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal untukmu dan makanan kamu hahal untuk mereka. Dan dihalalkan (mengawini) perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan yang beriman dan perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan ahli kitab sebelum kamu, bila kamu telah memberikan mahar mereka".
Selain berdasarkan ayat Al-Quran di atas juga berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW dimana nabi pernah menikah dengan wanita ahli kitab yaitu Mariah Al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula sahabat Nabi bernama Hudzaifah bin Al-Yaman yang pernah menikah dengan seorang wanita Yahudi sedang para sahabat tidak ada yang menentang.

Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim
Ulama telah sepakat bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim, baik calon suaminya itu pemeluk agama Kristen dan Yahudi atau pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci seperti Budhisme, Hinduisme maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak mempunyai kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab sucinya termasuk pula disini penganut Animisme, Atheisme, Politheisme dan sebagainya. Adapun dalil dan dasar hukumnya adalah Al-Quran sebagaimana diterangkan dalam: 
  1. QS. Al-Baqarah: 221;
  2. QS. Al-Mumtahanah: 10;  dan 
  3. QS. Al-Maidah: 5.
"… Janganlah kamu mengawinkan anak perempuanmu kepada laki-laki musyrik sebelum ia beriman. Sesungguhnya perempuan hamba yang beriman lebih baik daripada perempuan merdeka yang musyrik, walau ia menawan hatimu" (QS. Al-Baqarah: 221).
Ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 44 Komplasi Hukum Islam menentukan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.

Demikian penjelasan singkat mengenai Tinjauan Hukum Mengenai Perkawinan yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: