BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Tinjauan Hukum tentang Pornografi

Tinjauan Hukum tentang Pornografi
Masyarakat secara umum menilai pornografi sebagai bentuk penyimpangan atau kejahatan karena dinilai bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang hidup di masyarakat. Perkataan, tulisan, gambar dan perilaku serta produk atau media-media yang bermuatan pornografi dipandang bertentangan dengan nilai moral dan rasa kesusilaan masyarakat. 

Sifat pornografi yang hanya menampilkan sensualitas, seks dan eksploitasi tubuh manusia ini dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai moral dan agama. Permasalahan seks merupakan ruang yang sangat privasi dan bukan untuk dipertontonkan atau disebarluaskan pada semua orang. 

Masyarakat berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekedar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti pornografi), maupun yang dikuatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata hubungan sosial yang masih diakui misalnya tuntutan melegalkan homo seksual, perkawinan sesama jenis. 

Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada di masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya. Menurut Hasan Basri, bahwa pornografi berasal dari bahasa Yunani, dari kata-kata porne yang berarti perempuan jalang dan graphien yang mempunyai arti menulis. 

Dalam pengertian yang sederhana dapatlah diketahui bahwa pornografi adalah bahan lukisan, gambar atau tulisan serta gerakan-gerakan tubuh yang membuka aurat yang sengaja dan semata-mata dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu. Kini penampilan pornografi semakin menyala dan menyentuh berbagai bidang media massa seperti koran, majalah, tabloid, film, buku dan gambar (photo) yang memperlihatkan aurat, bahkan dalam tulisan, materi sandiwara dan lawak atau dagelan murahan yang disenangi masyarakat. 

Dalam penampilannya setiap bahan-bahan yang disengaja dirancang untuk membangkitkan syahwat terdiri dari bagian-bagian badan atau anggota badan kaum pria yang dapat membangkitkan nafsu syahwat dengan bermacam-macam pula segi dan teknik penampilannya dengan memanfaatkan kemajuan. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu mengatur permasalahan kejahatan pornografi tersebut dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.


Pornografi dalam KUHP
Mengenai delik kesusilaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pengaturannya dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yakni sebagai berikut:
  1. Buku II Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan diatur dalam Pasal 281-303; dan 
  2. Buku III tentang Pelanggaran Kesusilaan diatur dalam Bab VI Pasal 532-547.
Kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
  1. Melanggar kesusilaan di muka umum (vide: Pasal 281);
  2. Menyiarkan, mempertunjukkan, membuat, menawarkan dan sebagainya tulisan, gambar, benda yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (vide: Pasal 282-283);
  3. Melakukan zina, perkosaan dan hal lain yang berhubungan dengan melakukan/ menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul dan hubungan seksual (vide: Pasal 284-296);
  4. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (vide: Pasal 297);
  5. Berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (vide: Pasal 299);
  6. Berhubungan dengan minuman yang memabukkan (vide: Pasal 300);
  7. Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (vide: Pasal 301);
  8. Penganiayaan hewan (vide: Pasal 302); dan
  9. Perjudian (vide: Pasal 303 dan 303 bis).
Sementara perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran kesusilaan yang dimuat dan diatur dalam Buku III KUHP pada Pasal 532 sampai dengan Pasal 547 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sebagai berikut:
  1. Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (vide: Pasal 532-535);
  2. Berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (vide: Pasal 536-539);
  3. Berhubungan dengan perlakuan tidak susila terhadap hewan (vide: Pasal 540, 541 dan 544);
  4. Meramal nasib atau mimpi (vide: Pasal 545);
  5. Menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib atau memberi pelajaran ilmu kesaktian (vide: Pasal 546);
  6. Memakai jimat sebagai saksi di persidangan (vide: Pasal 547).
Apabila diamati perbuatan-perbuatan yang diatur dalam kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan ternyata tidak hanya bersinggungan dengan masalah seksualitas saja, tetapi juga hal-hal lain yang berhubungan dengan penyimpangan kepatutan berperilaku di masyarakat, seperti:
  1. Mabuk;
  2. Aborsi
  3. Trafficking;
  4. Perjudian;
  5. Penganiayaan terhadap hewan; dan
  6. Hal-hal mistik. 
Pornografi merupakan salah satu bentuk delik kesusilaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diatur dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan (vide: Pasal 282-283) dan Buku III Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan (vide: Pasal 532-533). Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa pornografi termasuk dalam tindak pidana atau kejahatan kesusilaan.


Pornografi dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Di era kebebasan sekarang ini, keberadaan media atau pers menjadi tempat yang nyaman bagi publikasi kejahatan pornografi. Oleh karena itu, Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang Pers memberikan larangan pemuatan pornografi di media, seperti dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 13 yang menyebutkan bahwa perusahaan pers dilarang memuat iklan:
  1. Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
  2. Minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Peragaan wujud rokok dan/ atau penggunaan rokok.
Terbitnya Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang dimaksudkan untuk meregulasi penyampaian informasi secara benar kepada masyarakat walaupun terkadang dalam prakteknya tidak selalu selaras dengan teorinya. Undang-undang sebenarnya memberikan kebebasan pers dan otonomi dalam membagi informasi (righ to know) dan hak menyampaikan pendapat (right to express), namun banyak disalahartikan (Masduki, "Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik", Yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 7).

Istilah otonomi sering diartikan sebagai kebebasan penuh dalam mengelola institusi pers. Pers sering mengabaikan kewajiban-kewajibannya yang sebetulnya menyertai hak-hak tersebut. Terlebih lagi, pers juga merupakan lahan bisnis sehingga para pemodal juga berusaha meraup keuntungan yang banyak meski bergeser dari fungsi pokoknya. 

Tidak sedikit, pers menampilkan pornografi. Demikian ini berlaku untuk semua media, baik cetak maupun elektronik (Lutfan Muntaqo, "Porno: Definisi dan Kontroversi," Yogyakarta: Jagad Pustaka, 2006, hlm. 2).

Pers nasional seperti dalam ketentuan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 44 tahun 1999 sebenarnya mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Selain sebagai kontrol sosial, pers juga sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme maupun penyelewengan atau penyimpangan lainnya. 

Di samping itu, dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa pers nasional memiliki kewajiban untuk memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.


Pornografi dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Perkembangan teknologi dan informasi telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran termasuk penyiaran di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, peranannya makin sangat strategis terutama dalam mengembangkan alam demokrasi. Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi: 
  1. Masyarakat;
  2. Lembaga penyiaran;
  3. Dunia bisnis; dan
  4. Pemerintah.
Mirisnya dunia penyiaran tidak saja menginformasikan berita yang positif tetapi juga negatif, salah satunya adalah pornografi. Bahkan, berbagai media saat ini sudah sampai pada taraf yang membahayakan. Medium pornografi ini berupa: 
  1. Tabloid panas;
  2. Internet;
  3. VCD atau DVD porno. 
Tanpa disadari, media-media lainya baik cetak maupun elektronik juga turut memberi andil dalam penyebaranya. Media tersebut berupa surat kabar, majalah, televisi, bioskop atau bahkan radio. Oleh karena itu, pemerintah membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang beranggotakan 9 orang sebagai pengamalan Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Dalam Pasal 36 ayat 5 Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan bahwa isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Pornografi jika dipahami dari pengertianya jelas merupakan apa yang dimaksud sebagai unsur cabul pada pasal tersebut sehingga pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat dikenai sanksi pidana.

Pornografi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
Perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi dan informasi telah berjalan sedemikian rupa dan telah mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat. Oleh karena itu berbagai informasi telah dapat disajikan dengan canggih dan mudah diperoleh meski melalui jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi (Ninik Suparni, "Cyberspace: Problematika Antisipasi dan Pengaturanya," Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 1). 

Dalam kenyataanya perkembangan teknologi informasi tersebut telah dibarengi pula hal-hal yang mengandung unsur yang melanggar kesusilaan. Bahasan tentang pornografi dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersirat dalam bab VII pasal 27 ayat 1 yang menyatakan bahwa:
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."


Pornografi dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
Larangan pornografi juga dimuat dan diatur pemerintah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 (Ninik Suparni, "Cyberspace: Problematika Antisipasi dan Pengaturanya," Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 4-5) yang berisi:
  1. Pelarangan dan pembatasan, pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi;
  2. Perlindungan anak dari pengaruh pornografi;
  3. Pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang No 44 tahun 2008 secara tegas juga menetapkan bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni: 
  1. Berat;
  2. Sedang; dan
  3. Ringan. 
Dalam hal ini juga memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.

Sedangkan untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, undang-undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (Ninik Suparni, "Cyberspace: Problematika Antisipasi dan Pengaturanya," Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 5) dijelaskan bahwa:
  1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh dan bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyaraka;
  2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi telesterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Peran pemerintah dalam pencegahan pornografi terdapat dalam bab IV Pasal 17 (Ninik Suparni, "Cyberspace: Problematika Antisipasi dan Pengaturannya," Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 7) yang berbunyi:
"Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi."
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimuat dan dimaksud dalam Pasal 17 tersebut Pemerintah Daerah berwenang:
  1. Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
  2. Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
  3. Melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan, pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka pencegahan di wilayahnya.
Sedangkan peran serta masyarakat dalam melakukan pencegahan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi dimuat dan diatur dalam Pasal 21 ayat 1, yakni dapat dilakukan dengan cara:
  1. Melaporkan pelanggaran undang-undang ini;
  2. Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
  3. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi;
  4. Melakukan pembinaan kepada masyarakat tehadap bahaya dan dampak pornografi.
Demikian penjelasan singkat mengenai Tinjauan Hukum tentang Pornografi yang dirangkum dari berbagai sumber semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: