BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional

Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
Meskipun istilah genosida tidak dapat ditemukan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, substansi pengaturan genosida sesungguhnya ada di dalam dokumen tersebut tepatnya terintegrasi dalam deskripsi Piagam tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Di dalam dokumen itu, kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) didefinisikan sebagai:
"murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts commited against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated."
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan penyebutan "… persecutions on … racial or religious grounds…" kemudian berkembang menjadi salah satu bentuk khusus dari "crime against humanity" yang belakangan dikenal dengan nama genosida. 

Bahwa sesungguhnya istilah genosida tidak harus menunggu lama untuk muncul dalam proses pengadilan yang didasarkan pada Piagam Mahkamah Militer Internasional. Pada saat menuntut komandan pasukan Einsatzgruppen yang melakukan kejahatan massal di Polandia dan Rusia pada waktu Perang Dunia II, penuntut umum menggunakan istilah genosida untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh pasukan Einsatzgruppen.

Dengan melihat pengaturan di atas dapat dikatakan bahwa di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg secara material dapat diketahui kejahatan genosida masih menjadi satu dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Perumusan genosida sebagai sebuah kategori kejahatan tersendiri terlepas dari kejahatan terhadap kemanusiaan secara tegas baru terjadi ketika negara-negara internasional menyepakati Konvensi Genosida 1948.

Mahkamah Pidana Internasional didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998 yang merupakan suatu konfrensi diplomatik yang berlangsung di Roma pada tanggal 15-17 juli 1998. Mahkamah pidana internasional ini merupakan suatu lembaga atau badan pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yang mempunyai kekusaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas seseorang yang melakukan kejahatan sangat serius yang menjadi keprihatinan seluruh masyarakat internasional (the most serious crime of concern to the international community asa whole). Tempat kedudukannya adalah di Den Haag (the hague) di Belanda sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 1. 

Statuta Roma 1998 sendiri secara keseluruhan terdiri dari tiga belas bagian yang terdiri dari 128 Pasal. Menurut Pasal 4 ayat (1) statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality). Hal ini berarti bahwa Mahkamah Pidana Internasional berkedudukan sebagai subjek hukum internasional dengan kemampuannya memiliki hak-hak dan memikul kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional dalam ruang lingkup tugas dan kewenangannya serta maksud dan tujuannya. 

Atas dasar itu pula, mahkamah memiliki kemampuan hukum (legal cpacity) untuk melakukan hubungan-hubungan hukum sepanjang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas, kekuasaan dan fungsinya serta untuk memenuhi apa yang menjadi maksud dan tujuannya. Sebagaimana badan-badan peradilan pidana internasional pendahulunya, seperti mahkamah Nurenberg 1945 dan Tokyo 1948, Mahkamah bekas Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, Mahkamah Pidana Internasional pun memiliki empat macam yurisdiksi, yakni: 
  1. Yurisdiksi Personal; 
  2. Yurisdikis Kriminal; 
  3. Yurisdiksi Teritorial; dan 
  4. Yurisdiksi Temporal. 
Adapun tentang yurisdiksi personal mahkamah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 juncto Pasal 25, sesuai dengan judulnya bahwa mahkamah Pidana Internasional menganut tanggung jawab secara pribadi dari individu (individual criminal responsibility). Tegasnya, menurut Pasal 25 ayat (1), yurisdiksi Mahkamah adalah terhadap orang-orang atau individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya sebagaimana ditentukan dalam statuta. Sedangkan yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional adalah empat jenis kejahatan atau tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 5, yakni: 
  1. Kejahatan genosida;
  2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
  3. Kejahatan perang; dan 
  4. Kejahatan agresi. 
Masing-masing kejahatan itu (kecuali kejahatan agresi) dirinci dalam Pasal 6 (genosida), Pasal 7 (kejahatan terhadap kemanusiaan) dan pasal 8 (kejahatan perang). Mengenai yurisdiksi teritorial dari Mahkamah Pidana Internasional tidak ada satu pasalpun yang menegaskannya. Hal ini biasa dimengerti sebab Mahkamah Pidana Internasional merupakan badan peradilan criminal yang dimaksudkan untuk menjangkau keempat jenis kejahatan yang ditentukan dalam statute yang terjadi dimanapun dimuka bumi ini. 

Terhadap kejahatan yang terjadinya di dalam atau lintas batas territorial dari negara-negara yang sudah menjadi peserta dalam Statuta tentulah tidak menjadi masalah yurisdiksi territorial Mahkamah Pidana Internasional sebab Negara-negara itu merupakan Negara yang menerima yurisdiksi Mahkamah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1).

Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg 
Meskipun istilah genosida tidak dapat ditemukan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, substansi pengaturan genosida sesungguhnya ada di dalam dokumen tersebut tepatnya terintegrasi dalam deskripsi Piagam tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Di dalam dokumen itu, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) didefinisikan sebagai: 
"murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts commited against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated." 
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan penyebutan "… persecutions on … racial or religious grounds…" kemudian berkembang menjadi salah satu bentuk khusus dari "crime against humanity" yang belakangan dikenal dengan nama genosida. 

Bahwa sesungguhnya istilah "genosida" tidak harus menunggu lama untuk muncul dalam proses pengadilan yang didasarkan pada Piagam Mahkamah Militer Internasional. Pada saat menuntut komandan pasukan Einsatzgruppen yang melakukan kejahatan massal di Polandia dan Rusia pada waktu Perang Dunia II, penuntut umum menggunakan istilah genosida untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh pasukan Einsatzgruppen. 

Dengan melihat pengaturan di atas, dapat dikatakan bahwa di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg yang secara material dapat diketahui kejahatan genosida masih menjadi satu dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Perumusan genosida sebagai sebuah kategori kejahatan tersendiri terlepas dari kejahatan terhadap kemanusiaan secara tegas baru terjadi ketika negara-negara internasional menyepakati Konvensi Genosida 1948.

Konvensi Genosida 1948
Konvensi Genosida yang disepakati pada tahun 1948 hingga sekarang merupakan dokumen komprehensif tentang genosida yang pernah ditandatangani negara-negara internasional. Konvensi Genosida 1948 ini memiliki peran yang penting mengingat berbagai instrument hukum yang melandasi pendirian berbagai peradilan ad hoc pada masa berikutnya. Secara substansial, definisi genosida yang dimuat dalam Konvensi Genosida 1948 belakangan diadopsi oleh:
  1. Statuta ICTY;
  2. Statuta ICTR; dan 
  3. Statuta Roma 1998. 
Selain memuat norma-norma tentang genosida, konvensi ini sekaligus juga memuat kerangka kerja sama di antara negara-negara dalam kaitannya dengan upayah mencegah dan menindak kejahatan genosida. Konvensi yang diterima negara-negara melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 260 (III) A pada tanggal 9 Desember 1948 ini mulai berlaku efektif pada tanggal 12 Januari 1951. Secara ringkas, pokok-pokok pengaturan yang ada di dalam Konvensi Genosida 1948 dapat dikemukakan sebagai berikut:

Penegasan genosida sebagai sebuah kejahatan internasional
Penegasan ini dimuat secara eksplisit di dalam pasal 1 Konvensi yang menyatakan bahwa genosida, baik dilakukan di masa perang maupun damai adalah kejahatan yang diatur oleh hukum internasional dan negara-negara wajib mencegah serta menghukum pelakunya. 

Perluasan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana
Selain genosida, konvensi juga menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan terkait yang dapat dijatuhi pidana, yakni: 
  1. Persekongkolan untuk melakukan genosida;
  2. Penghasutan untuk melakukan genosida secara langsung dan umum; 
  3. Percobaan untuk melakukan genosida; dan
  4. Penyertaan dalam genosida. 
Tanggungjawaban pidana secara individual
Pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) adalah prinsip yang menghendaki agar pelaku kejahatan internasional memikul sendiri tanggung jawab pidananya sebagai seorang individu terlepas dari status dan jabatannya dalam pemerintahan. Dengan kata lain, status seorang pelaku sebagai pejabat publik atau bahkan sebagai penguasa sekalipun tidak bisa dijadikan defense untuk menghindari tanggung jawab pidana individualnya. Prinsip yang juga dapat ditemukan di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg ini ditegaskan kembali dalam Pasal IV Konvensi.

Forum dan jurisdiksi
Konvensi menegaskan bahwa pengadilan yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili pelaku genosida adalah pengadilan yang berkompeten dari Negara di mana genosida terjadi. Namun, Konvensi juga membuka peluang bagi pengadilan yang bersifat internasional untuk menerapkan jurisdiksinya atas dasar persetujuan negara-negara pihak dari Konvensi. Ketentuan ini termuat di dalam Pasal VI Konvensi.

Penegasan bahwa genosida bukan kejahatan politik
Pasal VII Konvensi memuat ketentuan yang menegaskan bahwa genosida tidak dikategorikan sebagai kejahatan politik khususnya dalam konteks ekstradisi. Penegasan ini menjadi penting karena di dalam hukum internasional yang menyangkut ekstradisi dikenal ada prinsip bahwa seorang pelaku kejahatan politik tidak dapat diekstadisikan (non-exradition of political offenders). 

Berkaitan dengan penegasan bahwa genosida bukanlah kejahatan politik tentu saja dimaksudkan untuk mencegah supaya terhadap seorang pelaku genosida tidak ada suatu negarapun yang akan memberikan perlindungan sehingga pelaku harus diserahkan kepada negara yang hendak menerapkan jurisdiksi untuk mengadili dan menghukum pelaku. 

Gagasan ini sejalan dengan prinsip lain yang mulai berkembang dalam hukum internasional tentang kejahatan-kejahatan serius, yakni prinsip aut punier, aut dedere yang menghendaki agar seorang pelaku kejahatan serius dihukum oleh negara di mana pelaku berada atau diserahkan kepada negara lain yang memiliki jurisdiksi menerapkan hukumnya. 

Kemungkinan keterlibatan PBB dalam pencegahan dan penindakan 
Pasal VIII mengatur bahwa suatu negara dapat meminta supaya organ-organ PBB yang berkompeten mengambil tindakan sesuai dengan Piagam PBB dalam kerangka pencegahan dan penindakan genosida. Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, pasal ini sesungguhnya merupakan jalan masuk bagi Dewan keamanan PBB untuk berperan aktif dalam pencegahan dan penindakan terhadap genosida. Ketentuan ini dapat dikaitkan dengan Bab VII Piagam PBB yang membuka peluang bagi intervensi Dewan keamanan ketika dinilai ada kondisi yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.

Statuta ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia)
Statuta ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia) adalah instrument hukum internasional yang dimasukkan ke dalam bentuk Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) untuk merespon situasi krisis kemanusiaan di wilayah-wilayah pecahan Yugoslavia pada tahun 1990-an.

Statuta ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia) secara tegas memasukkan genosida ke dalam jurisdiksi materialnya. Definisi genosida yang ada di dalam ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia) mengadopsi definisi yang sudah ada di dalam Konvensi Genosida 1948 sebagaimana berikut di bawah ini:
Unsur-Unsur
Berdasarkan definisi yang diambil dari Konvensi Genosida 1948, Statuta ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia) memuat unsur-unsur perbuatan genosida sebagai berikut: 
  1. Genosida bisa berwujud tindakan-tindakan: 
    • Membunuh anggota kelompok; 
    • Menyebabkan terjadinya cedera fisik atau mental pada anggota kelompok; 
    • Sengaja menerapkan kondisi kehidupan yang diperhitungkan dapat membawa kehancuran fisik terhadap suatu kelompok; 
    • Menerapkan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam suatu kelompok; 
    • Secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok yang lain. 
  2. Genosida dilakukan dengan maksud menghancurkan suatu kelompok kebangsaan, etnis, ras, dan/ atau keagamaan, baik secara keseluruhan maupun untuk sebagian; 
  3. Sasaran genosida adalah kelompok kebangsaan, etnis, ras, dan/ atau keagamaan.
Kriminalisasi
Selain genosida sebagai kejahatan inti, Statuta ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia) juga mengkriminalisasikan perbuatan-perbuatan lain yang terkait dengan tindakan genosida. Perbuatan-perbuatan yang terkait dengan genosida dikriminalisasikan melalui Statuta ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia) adalah sebagai berikut:
  1. Persengkokolan untuk melakukan genosida; 
  2. Penghasutan secara langsung dan di muka umum untuk melakukan genosida; 
  3. Percobaan melakukan genosida; 
  4. Pernyetaan dalam genosida. 
Pidana
Pidana yang diancamkan terhadap pelaku genosida atau perbuatan-perbuatan lain yang terkait pada dasarnya terbatas pada pidana penjara. Statuta ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia) juga tidak membuat kategori pada pidana yang berbeda-beda untuk melakukan genosida. Ketentuan ini dengan sendirinya mengesampingkan kemungkinan dijatuhkannya pidana mati untuk pelaku genosida. Selain pidana penjara, Statuta ICTY (International Criminal for the Former Yugoslavia) juga membuka kemungkinan bagi pidana tambahan berupa perampasan dan pengambilan harta benda yang didapat dari hasil kejahatan pelaku genosida.

Statuta ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda)
Hampir sama seperti ICTY, ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) adalah sebuah pengadilan internasional yang bersifat ad hoc. Pengadilan dibentuk khusus untuk menangani pelanggaran HAM berat yang sekaligus juga merupakan kejahatan-kejahatan internasional yang terjadi di Rwanda antara tanggal 1 Januari hingga 31 Desember 1994 sebagai respon terhadap pertikaian antar kelompok yang terjadi di Rwanda dan memakan korban jiwa dengan jumlah antara 500.000 hingga 1.000.000, Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi nomor 955 tahun 1994 yang menjadi dasar pembentukan ICTR. 

Sama seperti ICTY, ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) juga memuat ketentuan-ketentuan tentang genosida sebagai salah satu jurisdiksi material di dalam statunya dan juga mengadopsi substansi pengaturan tentang genosida dari Konvensi Genosida 1948. Oleh karena itu, unsur-unsur tindakan yang dapat digolongkan sebagai genosida di dalam ICTR pun pada dasarnya sama dengan apa yang dimuat di dalam Statuta ICTY dan Konvensi Genosida 1948, yakni sebagai berikut: 
  1. Kriminalisasi
    Seperti Statuta ICTY, Statuta ICTR juga mengkriminalisasikan perbuatan-perbuatan lain yang terkait dengan tindakan genosida, yaitu: 
    • Persengkokolan untuk melakukan genosida; 
    • Penghasutan secara langsung dan di muka umum untuk melakukan genosida;
    • Percobaan melakukan genosida; dan
    • Pernyetaan dalam genosida. 
  2. Pidana
    Kemiripan ICTR dengan ICTY juga terdapat pada aspek pemidanaan terhadap genosida. Baik ICTR maupun ICTY tidak memuat pidana mati (capital punishment) sebagai salah satu pidana yang diancamkan terhadap pelaku genosida.
Statuta Roma 1998 
Sama seperti Statuta ICTY dan ICTR, Statuta roma 1998 yang melandasi pembentukan ICC (Internastional Criminal Court) juga mengadopsi definisi genosida yang ada di dalam Konvensi Genosida 1948. Selain definisi tersebut, Statuta Roma 1998 juga dilengkapi dengan dokumen lain, yaitu Elements of Crimes yang mendeskripsikan unsur-unsur masing-masing tindakan pidana yang berada di bawah jurisdiksi material ICC (Internastional Criminal Court). Pokok-pokok pengaturan genosida di dalam Statuta Roma 1998 dapat dikemukakan sebagai berikut: 

Penegasan jurisdiksi material ICC atas Genosida
Pasal 5 paragraf 1 Statuta Roma menegaskan bahwa kejahatan genosida (the crime of genocide) merupakan salah satu kejahatan yang mana ICC (Internastional Criminal Court) memiliki jurisdiksi bersama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (the crime of aggression), Genosida dianggap sebagai the most serious crimes of concern to the international community as a whole. 

Perumusan definisi genosida
Pasal 6 Statuta Roma memuat tentang rumusan perbuatan yang dikategorikan sebagai genosida sebagaimana telah dikemukakan rumusan definisi genosida dalam Statuta Roma 1998 mengadopsi rumusan yang terdapat di dalam Konvensi Genosida 1948.

Tanggung jawab pidana secara individual
Gagasan pertanggungjawaban pidana secara individual yang sudah mulai dikemukakan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasioanl Nurnberg juga disuarakan kembali secara tegas dalam pasal 25 Statuta Roma 1998. Paragraf 1 dari pasal tersebut menegaskan bahwa ICC (Internastional Criminal Court) memiliki jurisdiksi atas orang pribadi (natural person). Melengkapi paragraf 1, paragraf 2 menyatakan bahwa: 
"orang yang melakukan kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan akan bertanggung jawab secara individu dan bertanggung jawab atas hukuman sesuai dengan Statuta ini".
Prinsip ini kemudian diperkuat di dalam Pasal 33 yang mengatur tentang tanggung jawab individual dalam hal seseorang melakukan tindakan yang dilarang karena instruksi dari pemerintahan atau atasannya, baik sipil maupun militer. Meski demikian, ada pembatasan terhadap prinsip ini. Seseorang yang diinstruksikan untuk melakukan perintah atasan tidak di pidana kalau syarat-syarat berikut ini dipenuhi, yaitu:
  1. Orang tersebut terikat kewajiban hukum untuk mematuhi instruksi dari pemerintah/ atasannya;
  2. Orang tersebut tidak mengetahui bahwa instruksi yang diterimanya tidak sah; dan
  3. Perintah yang diberikan tidak tampak sebagai perintah yang tidak sah.
Kriminalisasi
Sejalan dengan Statuta ICTY dan ICTR, bukan hanya pesuruh genosida yang diancam pidana, melainkan juga pelaku tindakan lain yang terkait dengan genosida. Secara lengkap, orang yang diancam pidana karena melakukan genosida meliputi:
  1. Setiap orang yang melakukan genosida, baik secara sendiri maupun bersama – sama, atau yang menyuruhlakukan (Artikel 25 (3) (a) Statuta Roma 1998);
  2. Setiap orang yang memerintahkan, mendorong, atau menyebabkan terjadinya genosida atau percobaan genosida (Artikel 25 (3) (b) Statuta Roma 1998);
  3. Setiap orang yang menolong, membantu, dan menyediakan sarana sehingga terjadi genosida atau percobaan genosida (Artikel 25 (3) (c) Statuta Roma 1998); 
  4. Setiap orang yang sengaja mengambil peran dalam pelaksanaan genosida atau dengan mengetahui tujuan kelompok pelaku genosida (Artikel 25 (3) (d) Statuta Roma 1998); 
  5. Setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut orang lain untuk melakukan genosida (Artikel 25 (3) (e) Statuta Roma 1998) dan 
  6. Setiap orang yang melakukan percobaan genosida.
Pidana 
Sama seperti ketentuan didalam Statuta ICTY dan ICTR, Statuta Roma 1998 juga secara implisit mengesampingkan kemungkinan dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku genosida dan kejahatan lainnya yang berada dalam cakupan jurisdiksi ICC (Internastional Criminal Court). Pasal 77 Statuta Roma 1998 secara tegas manyatakan sebagai berikut: 
"(I) Subject to article 110, the court may impose one of the following penalties on a person convicted of a crime referred to in article 5 of this Statute: i. Imprisonment for a specified number of years, which may not exceed a maximum of 30 years; or ii. A term of life imprisonment when justified by the extreme gravity of the crime and the individual circumstances of the convicted person. II. In addition to imprisonment, the Court may order: i. A fine under the criteria provided for in the Rules of Procedure and Evidence; ii. A forfeiture of proceeds, property and assets derived directly or indirectly from that crime, without prejudice to the rights of bona fide third parties".
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku genosida dan kejahatan internasional lain dalam kerangka ICC (Internastional Criminal Court), yaitu: 
  1. Pidana pokok; dan 
  2. Pidana tambahan.
Demikian penjelasan singkat mengenaiYurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: