BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Pengembangan Perangkat Hukum Ekonomi dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Pengembangan Perangkat Hukum Ekonomi dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pola pembangunan ekonomi yang serba cepat sekarang ini, menyebabkan terbentuknya pencapaian pemerataan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan yang utama. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan adanya peranan hukum yang membawa pengaruh untuk menyusun tata kehidupan baru tersebut. 

Dalam perkembangan selanjutnya, perhatian tidak lagi diarahkan pada seputar penggarapan hukum, melainkan lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial. Hukum lebih tampak bukan lagi sebagai perekam kebiasaan-kebiasaan yang telah membentuk di dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat, melainkan diharapkan pula hukum dapat menjadi pengungkap yang tepat dari kekuatan baru yang menghendaki terbentuknya kesejahteraan masyarakat. 

Akibatnya hampir semua aspek kehidupan kita temui adanya peraturan hukum. Di satu pihak, Hukum berkepentingan dengan hasil yang akan diperolehnya melalui pengaturannya dan oleh karena itu harus paham tentang seluk beluk masalah yang akan diaturnya. 

Sedangkan di pihak lain, hukum juga harus menyadari bahwa faktor-faktor dan kekuatan di luar hukum juga akan memberikan pengaruhnya pula terhadap hukum serta proses bekerjanya. Sehingga dalam menyusun kebijakan hukum diperlukan adanya pertimbangan, antara lain mengenai:
  1. Faktor Psikologis;
  2. Faktor Sosiologis; dan 
  3. Letak Geografis.


Investasi adalah merupakan salah satu penggerak proses penguatan perekonomian negara, karena itu dalam rangka kebijakan ekonominya beberapa negara berusaha keras untuk meningkatkan investasinya. Salah satu cara peningkatan investasi yang diharapkan adalah melalui investasi asing. 

Para investor diundang masuk ke suatu negara diharapkan dapat membawa langsung dana segar (fresh money) dengan harapan agar modal yang masuk tersebut dapat menggerakkan roda perusahaan atau industri yang pada gilirannya dapat menggerakkan perekonomian suatu negara.

Dalam era globalisasi, masuknya investasi dalam suatu negara berkembang khususnya Indonesia merupakan salah satu peranan yang sangat siqnifikan dalam memacu pembangunan ekonomi. Karena di negara-negara berkembang kebutuhan akan modal pembangunan yang besar selalu menjadi masalah utama dalam pembangunan ekonomi. 

Sehingga diantara negara-negara berkembang yang menjadi perhatian bagi investor adalah tidak hanya sumber daya alam yang kaya, namun yang paling penting adalah bagaimana hukum investasi di negara tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha.

Dengan menguatnya arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak pengelolaan ekonomi Indonesia. 

Dampak ini lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) yang telah diupayakan secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional, seperti:
  1. North American Free Trade (NAFTA);
  2. Single European Market (SEM);
  3. European Free Trade Agreement (EFTA);
  4. Australian-New Zealand Closer Economic Relation and Trade Agreement (ANCERTA);
  5. ASEAN Free Trade Area (AFTA);
  6. Asia Pacific Econimic Cooperation (APEC); dan 
  7. World Trade Organization (WTO).
Disinilah hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya dengan perlindungan hukum yang diberikan suatu negara bagi kegiatan penanaman modal. Sebagaimana diungkapkan oleh Erman Rajagukguk bahwa faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan:
  1. Stability;
  2. Predictability; dan 
  3. Fairness. 
Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan- kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. 

Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Sehingga melalui sistem hukum dan peraturan hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi para investor untuk menanamkan modalnya demi terciptanya:
  1. Kepastian (Predictability);
  2. Keadilan (Fairness); dan 
  3. Efisiensi (Efficiency).
Iklim investasi di Indonesia relatif berkembang pesat sejak Undang-Undang PMA Tahun 1967 dan Undang-Undang PMD Tahun 1968 diberlakukan. Hal ini karena adanya pengaturan beberapa insentif, yang meliputi:
  1. Perlindungan dan jaminan investasi;
  2. Terbukanya lapangan kerja bagi tenaga kerja asing; dan 
  3. Adanya insentif di bidang perpajakan. 


Situasi politik dan keamanan pada saat itu relatif lebih stabil yang mendorong investasi sehingga mengalami peningkatan yang cukup siqnifikan. Bahkan pada awal tahun 70-an sampai akhir 80-an, Jepang melakukan investasi besar-besaran di Indonesia.

Pertumbuhan penanaman modal tersebut (investasi langsung) terus berlangsung hingga tahun 1996 seiring dengan berbagai kebijakan liberalisme di bidang keuangan dan perdagangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Namun pertumbuhan investasi tersebut mengalami kemerosotan yang berujung dengan terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 yang menjadi krisis multidensional yang berpengaruh terhadap stabilitas politik. 

Menurut Bismar Nasution, bagi Indonesia yang perekonomiannya bersifat terbuka akan terpengaruh dengan prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan tersebut. Karena perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain atau perekonomian mitra dagang Indonesia seperti :
  1. Ekspor impor; 
  2. Investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta 
  3. Pinjam-meminjam. 
Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi. Menurut data yang disampaikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi total investasi mengalami kenaikan yang mencolok. Total persetujuan investasi selama Januari-Maret 2007 sebesar Rp. 204,3 triliun meningkat 447,2 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sejak dasawarsa 1970-an, realisasi investasi yang telah disetujui oleh BKPM berkisar antara 20-40%. Selama Januari-Maret 2007 pun realisasinya hanya Rp. 40,59 triliun atau sekitar 20%, yang terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PDMN) sebesar Rp. 23, 17 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) senilai Rp. 59, 91 triliun.

Namun angka ini masih di bawah target tahun 2007 yaitu Rp. 248,5 triliun. Pertanyaannya, apakah ini berarti berakhirnya musim paceklik investasi dan tanda perbaikan iklim investasi di Indonesia ? Musim paceklik investasi di Indonesia jelas terlihat dari menurunnya arus investasi sejak tahun 1997. 

Data BKPM menunjukkan, nilai PMDN pada tahun 1997 tercatat Rp. 119 triliun dengan jumlah proyek 723 unit. Data tahun 2003 terbukti tinggal Rp. 50 triliun dengan 196 proyek. Rekor investasi asing langsung yang masuk lewat PMA menunjukkan perbaikan dari tahun 1997 yang nilainya sebesar US$ 3,4 miliar dengan 331 unit proyek, pada tahun 2003 melonjak menjadi US$ 5,1 miliar dengan jumlah proyek yang juga meningkat menjadi 493 unit.

Ironisnya, ternyata arus investasi asing yang masuk ke Indonesia diikuti dengan arus keluar yang jauh lebih tinggi. Inilah yang biasa disebut sebagai net capital inflows yang negatif. Data neraca pembayaran Indonesia, terutama pos investasi asing langsung mencatat angka negatif sejak 1998 yang dari tahun ke tahun semakin membesar. Baru pada sejak tahun 2005 net capital inflows mulai mencatat angka positif, yang berarti mulai turning point.

Berbagai studi menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia lebih buruk dibanding Cina, Thailand, Vietnam dan negara-negara ASEAN lainnya. Iklim investasi dapat didefinisikan sebagai semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa mendatang yang bisa memengaruhi tingkat pengembalian dan risiko suatu investasi.

Keadaan perekonomian Indonesia menjadi sangat terpuruk pada saat Indonesia dilanda krisis pada akhir tahun 1997 yang berakibat sangat luas. Krisis ekonomi tersebut kemudian menjadi krisis kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap elite politik dan elite ekonomi orde baru yang pada akhirnya menggerogoti perekonomian dan administrasi bisnis, sehingga banyak investor yang lari ke negara-negara lain. 

Krisis ekonomi tersebut paling tidak telah memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia dan memaksa Indonesia untuk melakukan perubahan-perubahan ekonomi, politik, sosial dan hukum. Era reformasi diharapkan dapat menjadi tumpuan transformasi dan reformasi hukum menuju sistem baru yang lebih lebih berkeadilan, andal, dan berkelanjutan, khususnya penataan hukum investasi dalam menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi penanaman modal. 

Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu:
  1. Stabilitas (Stability);
  2. Prediksi (Preditability);
  3. Keadilan (fairness);
  4. Pendidikan (Education); dan 
  5. Pengembangan khusus dari sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer).
Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan prediksi merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara.



Stabilitas (Stability)
Sebagaimana pendapat Erman Radjagukguk, maka hukum investasi sebagai bagian dari hukum ekonomi harus mempunyai fungsi stabilitas, yaitu bagaimana potensi hukum dapat menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat. 

Sehingga hukum investasi dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan modal asing dan sekaligus dapat pula melindungi pengusaha-pengusaha lokal atau usaha kecil. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik. Investor mau datang ke suatu negara sangat dipengaruhi faktor political stability

Terjadinya konflik elit politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanam modal asing akan datang dan mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional.

Prediksi (Preditability)
Kebutuhan fungsi hukum investasi untuk dapat meramalkan (predictability) adalah mensyaratkan bahwa hukum tersebut mendatangkan kepastian. Investor akan datang ke suatu negara bila ia yakin hukum akan melindungi investasi yang dilakukan. Kepastian hukum akan memberikan jaminan kepada investor untuk memperoleh economic oppurtunity sehingga investasi mampu memberikan keuntungan secara ekonomis bagi investor. 

Adanya kepastian hukum juga merupakan salah satu faktor utama untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor karena dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi juga ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan sebagai pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya. 

Dengan banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur investasi dan yang terkait dengan investasi kadang kala menimbulkan kekaburan atau ketidakpastian mana hukum yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan keberadaan hukum dengan masyarakat, maka perlunya wibawa hukum agar dapat ditaati dan sebagai pegangan dalam menjalankan relasi satu dengan yang lain terlebih lagi dalam lalu lintas bisnis diperlukan adanya kepastian hukum yang berlaku. 

Hal ini dikemukakan pula oleh Sentosa Sembiring jika arti pentingnya hukum dikaitkan dengan investasi, investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Artinya, bagi para investor butuh ada satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya. Ukuran inilah yang disebut aturan yang dibuat oleh yang mempunyai otoritas untuk itu. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak.

Aspek Keadilan (Fairness)
Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama bagi semua orang atau pihak di depan hukum, perlakuan yang sama kepada semua orang dan adanya standar pola perilaku pemerintah, oleh banyak ahli ditekankan sebagai syarat untuk berjalannya menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. 

Dalam kaitannya dengan aspek keadilan disini, maka faktor accountability dengan melakukan reformasi secara konstitusional serta perbaikan sistem peradilan dan hukum merupakan suatu syarat yang penting dalam rangka menarik investor. 

Apabila hal ini tidak dilakukan pada akhirnya berakibat pada lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan ketiadaan regulasi khususnya di bidang investai yang mampu memberikan rasa aman, nyaman bagi investor serta kurang ramahnya perundang-undangan tersebut terhadap investor khususnya investor asing. 

Dengan kata lain perangkat perundang-undangan yang ada sekarang dirasakan kurang mengakomodasi kepentingan para investor dalam berinvestasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Dorojatun Kuntjoro Jakti pada waktu menjabat sebagai Menko Perekonomian menyatakan bahwa masih kecilnya investasi yang masuk di Indonesia diakibatkan masih adanya kendala yang menyangkut sistem perpajakan, kepabeanan, prosedural birokrasi, administrasi daerah, dan soal perburuhan.



Sesuai dengan pendapat Burg’s di atas maka, J. D. Ny Hart juga mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu:
  1. Predictability;
  2. Procedural Capabilyty;
  3. Codification of goals;
  4. Education;
  5. Balance;
  6. Defenition and Clarity of status; 
  7. Accomodation; dan
  8. stability
Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi di atas ini, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Hukum harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi;
  2. Hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability) dalam penyelesaian sengketa misalnya dalam mengatur :
    • Peradilan trigunal (court or administrative tribunal);
    • Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute resolution); dan 
    • Penunjukan arbitrer konsiliasi (conciliation) dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa. 
  3. Pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of goals) oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara. 
  4. Hukum  itu setelah mempunyai keabsahan agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya (education) dan selanjutnya disosialisasikan. 
  5. Hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan (balance) karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. 
  6. Hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas (definition and clarity of status). Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang. 
  7. Hukum itu harus dapat mengakomodasi (accomodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan inividu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. 
  8. Tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas (stability) sebagaimana diuraikan di muka.
Terdapat 3 (tiga) hal utama yang diinginkan investor dan pengusaha, yaitu: 
  1. Penyederhanaan sistem dan perijinan;
  2. Penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih; dan 
  3. Transparansi biaya perizinan. 
Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah yang tidak hanya menghambat arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat perlu di eliminasi. Prioritas perlu diberikan pada deregulasi dan koordinasi berbagai peraturan daerah dan pusat.

Pengalaman China menarik modal asing perlu kita kaji apakah menarik untuk di coba. Di China, untuk perijinan cukup menghubungi Kantor Investasi Asing. Untuk investasi minimal sebesar US $ 30 juta, aplikasi investasi harus mendapat ijin dari pusat. 

Namun di bawah jumlah itu, cukup menghubungi Kantor Investasi Asing di daerah. Waktu persetujuan investasi asing maksimal 3 hari. Bila lebih dari 3 hari tidak ada pemberitahuan dari kantor ini, otomatis permohonan investasi dianggap diterima.

Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bagi bangsa Indonesia, bahwa salah satu upaya untuk menggerakkan kembali perekonomian Nasional adalah bagaimana menciptakan iklim dunia usaha yang kondusif. 

Dengan penataan hukum ekonomi khususnya hukum investasi diharapkan mendorong investasi di Indonesia, baik penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing dengan negara-negara di ASEAN khususnya dalam menarik investasi asing.

Menurut Dhaniswara K. Harjono, dalam kaitannya dengan hal tersebut dan dalam rangka memperbaiki serta menciptakan iklim investasi yang favorable dan sejalan dengan arah dan kebijakan pembangunan nasional, langkah-langkah yang telah dilakukan adalah :
  1. Menyederhanakan proses dan tata cara perizinan dan persetujuan dalam rangka penanaman modal;
  2. Membuka secara luas bidang-bidang yang semula tertutup atau dibatasi terhadap penanaman modal asing;
  3. Memberikan berbagai insentif, baik pajak maupun non pajak;
  4. Mengembangkan kawasan-kawasan untuk penanaman modal dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan;
  5. Menyempurnakan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang baru yang lebih menjamin iklim investasi yang sehat;
  6. Menyempurnakan proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang efektif dan adil;
  7. Menyempurnakan tugas, fungsi, dan wewenang instansi terkait untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik;
  8. Membuka kemungkinan pemilikan saham asing lebih besar.
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) adalah langkah awal pembaharuan hukum investasi karena UUPM ini mencabut UUPMA dan UUPMD yang lama. Dengan UUPM ini diharapkan dapat mengakomodasi berbagai kendala investasi yang selama ini terjadi demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik ke depan. 



Alasan filosofis dari UUPM paling tidak terlihat dari konsideransnya, huruf c dan huruf d bahwa:
"untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri."
"dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional."
Secara spesifik, tujuan utama pembentukan UUPM adalah sebagai berikut : 
"memberikan kepastian hukum dan kejelasan mengenai kebijakan penanaman modal dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional sehingga dapat meningkatkan jumlah dan kualitas investasi yang berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, peningkatan ekspor dan penghasilan devisa, peningkatan kemampuan teknologi, peningkatan kemampuan daya saing nasional, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya."
Namun berlakunya UUPM tersebut belumlah genap satu tahun, sehingga upaya penataan hukum investasi dan pranata hukum lainnya sangatlah berperan dalam mencapai tujuan pembentukan UUPM sebagaimana yang diuraikan di atas. 

Mengenai hal ini, Ida Bagus Rahmadi Supancana mengemukakan terdapat tantangan dan paradigma dibidang investasi yang bersumber dari faktor-faktor yang bersifat intern maupun ekstern. Faktor internal yang berpengaruh, antara lain :
  1. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke arah desentralisasi (otonomi daerah dan otonomi khusus);
  2. Demokratisasi dalam berbagai sendi kehidupan bangsa;
  3. Reformasi dalam tata kelola pemerintahan (ke arah good governance and clean government), termasuk pemberantasan korupsi;
  4. Reformasi dalam tata kelola perusahaan ke arah good corporte governance;
  5. Perubahan struktur industri ke arah resource based industry;
  6. Meningkatkan pemahaman dan perlindungan lingkungan hidup;
  7. Meningkatnya perlindungan HAM; 
  8. dan lain-lain.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhinya, antara lain :
  1. Globalisasi tatanan perdagangan, investasi, dan keuangan;
  2. Isu-isu global, seperti demokrasi, lingkungan hidup, dan HAM;
  3. Perlindungan HAKI;
  4. Program pengentasan kemiskinan global;
  5. Isu community development dan corporate social responsibility;
  6. Perlindungan hak-hak normatif tenaga kerja, tenaga kerja anak-anak dan perempuan; 
  7. dan lain-lain.
Demikian penjelasan singkat mengenai Pengembangan Perangkat Hukum Ekonomi dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.

Daftar Pustaka:

  1. Kartadjoemena, H.S. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa. Jakarta: UI Press, 2000. Hal. 81
  2. RajagukgukErman. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar FH-UI, Jakarta: 4 Januari 1997.
  3. Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003.
  4. Bismar Nasution, Reformasi Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, Disampaikan pada “Diskusi Pembangunan Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi,” di Fakultas Hukum USU Medan, tanggal 25 September 1999.
  5. Mudrajad Kuncoro, Akhir Paceklik Investasi?, Guru Besar FE UGM, Koordinator Ahli Ekonomi Regional PSEKP UGM, dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM
  6. Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development,” Journal of International Law and Policy¸ (Vol. 9, 1980) : hal. 232
  7. Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Cet. I -Jakarta, 2007, hal. 27/31.
  8. Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Bandung, CV. Nuansa Aulia, 2007, hal. 37.
  9. Dorojatun Kuntjoro Jakti, “Investasi Minim Akibat Lima Hal,” Bisnis Indonesia, 13 Juni 2002.
  10. J.D. Ny. Hart, “The Role of Law in Economic Development,” dalam Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1995), hal. 365-367.
  11. Burg’s dalam Leonard J. Therberge, op.cit. dan J.D. N. Hart, loc.cit.
  12. Mudrajad Kuncoro, opcit.
  13. Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007 hal. 75.
  14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
  15. Keterangan Pemerintah kepada DPR Atas Penyampaian RUU PM, Maret 2006. Lihat juga Dhaniswara K. Harjono, opcit, hal. 77.
  16. Dhaniswara K. Harjono, opcit, hal. 49. Mengutip, Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: