Proses Kriminalisasi
Proses kriminalisasi atau dikenal dengan istilah criminalization process merupakan suatu proses dimana suatu perbuatan yang mulanya tidak dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana kemudian dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan itu kemudian menjadi perbuatan jahat atau tindak pidana.
Proses kriminalisasi atau criminalization process harus dilakukan dengan peraturan perundang-undangan karena tidak ada kejahatan jika perbuatan tersebut tidak disebut sebagai perbuatan jahat atau tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kriminalisasi atau criminalization menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan kejahatan menjadi kejahatan atau tindak pidana.
Terhadap kriminalisasi, H. Mannheim memberikan pandangannya bahwa terdapat berbagai bentuk perbuatan anti sosial yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak diantaranya yang seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana. Hal ini dikarenakan 3 (tiga) alasan, yaitu:
- Efisiensi dalam melaksanakan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat luas sehingga harus diselidiki apakah tentang perbuatan yang bersangkutan itu ada perbuatan yang sama dalam masyarakat;
- Sekalipun ada sikap yang sama, maka harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakannya secara teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi, maka akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaannya; dan
- Perlu diingat pula apakah tingkah laku yang bersangkutan sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan obyek hukum pidana dalam artian apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi atau individu.
Proses Dekriminalisasi
Proses dekriminalisasi atau dikenal dengan istilah decriminalization process merupakan kebalikan dari proses kriminalisasi, hal mana proses dekriminalisasi adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang merupakan perbuatan jahat atau tindak pidana karena dilarang dalam peraturan perundang-undangan, kemudian pasal yang menyangkut perbuatan itu dicabut dari peraturan perundang-undangan. Dengan dicabutnya dari peraturan perundang-undangan, maka perbuatan itu bukan lagi perbuatan jahat atau tindak pidana dan juga sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut pun ikut juga dicabut dari peraturan perundang-undangan.
Perlu diketahui bahwa dalam proses dekriminalisasi tidak hanya kualifikasi pidana saja yang dihapuskan, akan tetapi sifat melawan hukum atau melanggar hukumnya juga ikut dihapuskan bahkan lebih dari itu penghapusan sanksi negatif tersebut tidak diganti dengan reaksi sosial lain seperti sanksi perdata maupun sanksi administrasi.
Dengan demikian dapat dikatakan proses dekriminalisasi merupakan suatu proses dimana perbuatan yang mulanya merupakan perbuatan jahat atau tindak pidana menjadi bukan perbuatan jahat atau tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana. Adapun untuk dekriminalisasi dapat terjadi dengan 3 (tiga) cara, yaitu sebagai berikut:
- Ketentuan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang baru atau peraturan lebih tinggi;
- Ketentuan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pengujian undang-undang; dan
- Hakim tidak lagi menerapkan ketentuan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan karena dirasa tidak lagi mencerminkan lagi rasa keadilan atau dengan kata lain ketentuan tersebut telah ketinggalan zaman (contra legem).
Adapun suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi dikarenakan oleh beberapa alasan (Mahrus Ali: 245-246) seperti contoh berikut di bawah ini:
- Suatu sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku mengalami perubahan sehingga perilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak lagi ditolak.
- Timbulnya keraguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.
- Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar.
- Sangat terbatasnya efektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum.
Salah satu contoh pasal yang di dekriminalisasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu ketentuan Pasal 534 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal mana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum maka diancam dengan hukuman atau sanksi berupa pidana penjara.
Sedangkan dalam rangka pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), maka kemudian akhirnya mengakibatkan ketentuan pada Pasal 534 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu sampai saat ini tidak memiliki daya paksa.
Proses Depenalisasi
Pada proses depenalisasi atau depenalitation process merupakan suatu penghilangan sanksi pidana dari suatu perbuatan yang diancam pidana. Dalam hal ini hanya kualifikasi pidana yang dihilangkan sedangkan sifat melawan atau melanggar hukum masih tetap dipertahankan. Mengenai hal tersebut, penanganan sifat melawan atau melanggar hukum diserahkan pada sistem lain seperti contoh penanganannya diserahkan pada sistem hukum perdata atau sistem hukum administrasi dan seterusnya.
Adapun Sudarto (1986: 32) berpendapat dengan menjelaskan bahwa depenalisasi sebagai suatu tindakan yang awalnya diancam pidana, kemudian ancaman pidana tersebut dihilangkan. Walaupun demikian tindakan tersebut dapat dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain yang salah satunya dapat melalui hukum perdata atau hukum administrasi.
Di dalam proses depenalisasi terdapat suatu kecenderungan untuk menyerahkan perbuatan yang tercela atau juga bisa disebut sebagai perbuatan anti sosial kepada reaksi sosial atau kepada kelembagaan tertentu seperti lembaga anak, lembaga kesehatan dan lain sebagainya.
Salah satu contoh perbuatan yang diserahkan kepada lembaga tertentu seperti kenakalan remaja yang kemudian ditanggulangi di luar proses peradilan pidana yakni melalui lembaga khusus yang dibuat untuk menanganinya dikarenakan anak atau remaja tersebut masih di bawah umur. Sama halnya juga dengan perbuatan zina dan abortus provokatus atau yang dikenal dengan istilah aborsi, hal mana karena dengan pertimbangan sosial ekonomis sehingga dengan adanya proses depenalisasi maka perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang tidak kriminal.
Adapun untuk diketahui bahwa pada proses depenalisasi itu sendiri memberikan suatu kesadaran kepada masyarakat luas. Hal mana pemberian atau penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana sebetulnya merupakan ultimatum remidium. Oleh karena itu terhadap perilaku tertentu yang masih dianggap melawan atau melanggar hukum dikenakan sanksi-sanksi negatif non pidana yang apabila tidak efektif akan diakhiri dengan sanksi pidana sebagai senjata terakhir dalam keadaan darurat. Hal ini memberikan arti bahwa dalam hukum pidana dan sistem hukum pidana merupakan suatu hukum darurat (noodrecht) yang sebaiknya diterapkan pada instansi terakhir.
Demikian penjelasan singkat dari Penulis yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga artikel ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian dalam membedakan Proses Kriminalisasi, Dekriminalisasi dan Depenalisasi. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan tulisan dalam artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Pengunjung juga membaca: