BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hukuman Pidana Penjara

Hukuman Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan. Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia sejak tahun 1918 sewaktu mulai berlakunya Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP). Sebelum tangal itu, orang Indonesia biasanya dihukum dengan kerja paksa di luar atau di dalam rantai (seperti sebuah gelang leher). 
Adapun  beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu sebagai berikut :
  1. Pensylvania system
    Terpidana menurut sistem ini dimasukkan ke dalam sel - sel tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama nara pidana dan dia tidak boleh bekerja di luar sel. Adapun satu - satunya pekerjaan yang dilakukan adalah membaca buku suci yang diberikan kepadanya. Oleh karena pelaksanaannya dilakukan di sel - sel tersendiri maka disebut juga sebagai cellulaire system.
  2. Auburn system
    Pada waktu malam ia dimasukkan dalam sel secara sendiri - sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan nara pidana lainnya, akan tetapi tidak boleh saling berbicara di antara mereka. Adapun sistem ini juga biasa disebut dengan silent system.
  3. Progressive system
    Adapun cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah bertahap atau biasa disebut juga dengan english / ire system.
Dalam penjara - penjara besar, orang yang mendapatkan hukuman penjara di bagi ke dalam 4 (empat) kelas (vide: Bab VII R.P.) yakni sebagai berikut :
  1. Kelas I, yakni orang yang di hukum seumur hidup dan orang yang menjalankan hukuman sementara dan mereka yang berbahaya bagi orang lain. Dalam peraturan perundang - undangan tidak dijelaskan mengenai pengertian nara pidana yang dianggap berbahaya, akan tetapi pengertian bahaya ini erat kaitannya dengan masalah keselamatan, baik bagi nara pidana yang lain maupun bagi petugas Lembaga Permasyarakatan (Lapas);
  2. Kelas II, yakni orang yang menjalankan hukuman penjara lebih dari 3 (tiga) bulan;
  3. Kelas III, yakni diperuntukkan bagi mereka yang sebelumnya menjadi penghuni kelas II yang selama 6 (enam) bulan menjalani hukuman menunjukkan perbuatan - perbuatan yang baik (sesuai dengan tata tertib yang ditentukan); dan
  4. Kelas IV, yakni diperuntukkan bagi mereka yang dijatuhi hukuman kurang dari 3 (tiga) bulan.
Di bawah ini dapat disimak beberapa hal berhubungan dengan ketentuan pidana penjara yang dapat menjadi jus cunstituendum, yaitu sebagai berikut :
  1. Pidana penjara dijatuhkan untuk semur hidup atau untuk waktu tertentu. Adapun waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut - turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus.
  2. Jika dapat dipilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut - turut.
  3. Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10 (sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, Menteri Kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
  4. Pelepasan bersyarat :
    • Menteri Kehakiman dapat memberikan keputusan pelepasan bersyarat apabila terpidana telah mengalami setengah dari pidana penjara yang dijatuhkan, sekurang - kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik.
    • Dalam pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan yaitu selama sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun. Adapun syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan ialah sebagai berikut : 
      • Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; dan
      • Terpidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
    • Terpidana yang mengalami beberapa pidana penjara berturut - turut, jumlah pidananya dianggap sebagai 1 (satu) pidana.
    • Pelepasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui 3 (tiga) bulan terhitung sejak habisnya masa percobaan, kecuali jika sebelum waktu 3 (tiga) bulan terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jangka waktu antara saat mulai menjalani pelepasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana.
    • Mekanisme yang terkait dengan pelepasan bersyarat ialah sebagai berikut : 
      • Keputusan Menteri Kehakiman ditetapkan setelah mendapat pertimbangan Dewan Pembina Pemasyarakatan dan Hakim Pengawas.
      • Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat maka pejabat pembina memberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas.
      • Pencabutan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul Hakim Pengawas.
      • Apabila Hakim Pengawas mengusulkan pencabutan, dapat memberi perintah kepada polisi agar terpidana ditahan. Hal tersebut diberitahukan kepada Menteri Kehakiman.
      • Penahanan tersebut paling lama 60 (enam puluh) hari.
      • Jika penahanan tersebut disusul dengan penghentian sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, terpidana dianggap meneruskan menjalani pidana sejak ditahan.
      • Selama masa percobaan, pengawasan, dan pembinaan berlangsung oleh pejabat pembimbing dari Departemen Kehakiman yang dapat diminta bantuan kepada pemerintah daerah, lembaga sosial, atau orang lain.
Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam pembukaan rapat Direktoral Jendral Bina Tuna Warga tahun 1976 menegaskan kembali prinsip - prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam Konferensi Lembaga tahun 1964 yang terdiri atas 10 (sepuluh) rumusan, yaitu :
  1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat;
  2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara;
  3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan;
  4. Negara tidak memiliki hak untuk membuat seorang nara pidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk Lembaga Pemasyarakatan (Lapas);
  5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, nara pidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;
  6. Pekerjaan yang diberikan kepada nara pidana tidak boleh bersifat atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja;
  7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila;
  8. Setiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat;
  9. Nara pidana itu hanya dijatuhi pidana hilangnya kemerdekaan;
  10. Sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap nara pidana dapat meliputi cara pelaksanaan sebagai berikut :
  1. Bimbingan Mental
    Bimbingan yang diselenggarakan dengan pendidikan agama, kepribadian dan budi pekerti dan pendidikan umum yang diarahkan untuk membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan kesalahan masa lalu;
  2. Bimbingan Sosial
    Bimbingan yang dapat diselenggarakan dengan memberikan pengertian akan arti pentingnya hidup bermasyarakat dan pada masa - masa tertentu diberikan kesempatan untuk similasi serta interaksi dengan masyarakat di luar;
  3. Bimbingan Keterampilan
    Bimbingan yang diselenggarakan dengan kursus, latihan kecakapan tertentu sesuai dengan minat dan bakatnya yang nantinya menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah di kemudian hari;
  4. Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai untuk hidup dengan teratur dan belajar menaati peraturan; dan
  5. Bimbingan - bimbingan lain yang menyangkut perawatan kesehatan, seni budaya dan sedapat - dapatnya diperkenalkan kepada segala aspek kehidupan bermasyarakat dalam bentuk tiruan masyarakat kecil selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi di luarnya.
Mengenai ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tidak pidana mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama 1/2 (seperdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
  2. Apabila melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
  3. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup maka hanya dapat dijatuhkan tindakan berupa "menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja".
  4. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka dijatuhkan salah satu tindakan.
Demikian penjelasan singkat mengenai Hukum Pidana Penjara yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: