BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Penyelesaian Sengketa Tanah

Penyelesaian Sengketa Tanah
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya sehingga dapat dikatakan begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. 

Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masyarakat. Adapun biasanya sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih yang salah satu dari para pihak melakukan wanprestasi. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka di dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menentukan bahwa:
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar - besar kemakmuran rakyat."


Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan salah satu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 75 (tujuh puluh lima) tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal kemudian berkembang menjadi kepemilikan individual. 

Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, kasus sengketa tanah tersebar di seluruh wilayah Indonesia baik dalam sengketa yang berskala besar maupun yang berskala kecil. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain seperti:
  1. Harga tanah yang meningkat dengan cepat;
  2. Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/ haknya; dan
  3. Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa seperti contoh konkretnya :
  1. Sengketa antara perorangan dengan perorangan; 
  2. Sengketa perorangan dengan badan hukum; 
  3. Sengketa badan hukum dengan badan hukum; dan 
  4. Lain sebagainya. 
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud dapat diberikan respons/ reaksi/ penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah). Menurut Rusmadi Murad yang mengemukakan pendapatnya bahwa pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, hal mana timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.



Proses Penyelesaian Sengketa Tanah
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/ pengaduan/ keberatan dari masyarakat baik itu perorangan atau pun badan hukum yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta keputusan tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Adapun kasus pertanahan yang sering terjadi meliputi beberapa macam hal yang antara lain mengenai masalah:
  1. Status tanah;
  2. Kepemilikan;
  3. Bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak; dan 
  4. Lain sebagainya.
Dengan adanya klaim/ pengaduan/ keberatan tersebut di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan ingin mendapatkan penyelesaian secara administrasi dari Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) baik itu dalam bentuk koreksi, pembatalan, penghapusan atau lain sebagainya tergantung isi dari klaim/ pengaduan/ keberatan tersebut. Adapun kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan baik terhadap Sertifikat Hak atau pun Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah terdapat pada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). 

Setelah menerima berkas klaim/ pengaduan/ keberatan dari yang bersangkutan, maka pejabat yang memiliki kewenangan akan hal itu kemudian menyelesaikan masalah ini dengan terlebih dahulu mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Setelah itu, dari hasil penelitian tersebut kemudian dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat di proses lebih lanjut atau tidak. 

Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan meminta penjelasan dari pemohon atau pengadu disertai dengan data-data yang dimilikinya serta meminta saran dan/ atau petunjuk ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat letak obyek tanah yang menjadi sengketa. Setelah kelengkapan sebagaimana tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali oleh pejabat yang berwenang terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi:
  1. Prosedur;
  2. Kewenangan; dan 
  3. Penerapan hukumnya. 
Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang memiliki hak atas bidang tanah yang di klaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus diberikan status quo, maka dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa tersebut.

Adapun pemblokiran atas tanah sengketa tersebut berdasarkan kebijakan yang diatur dalam Surat Edaran (SE) Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No. 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 1984. 

Hal mana dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1984 tersebut diharapkan Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berada di daerah (Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota) agar di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dapat dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. 

Ketentuan penetapan status quo atau pemblokiran tersebut terdapat perbedaan dengan rumusan Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 yang pada ayat (1) menentukan bahwa Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan jadikan obyek di gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (Sertifikat Hak/ Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah) harus bertindak secara hati - hati dalam menangani sengketa yang terjadi dan juga memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPYB), yakni antara lain:
  1. Asas kecermatan dan ketelitian;
  2. Asas keterbukaan (fair play); dan
  3. Asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak - pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk dimintakan penyelesaiannya. Apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Sering kali Badan Pertanahan Nasional (BPN) diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai dan saling menghormati antara pihak-pihak yang bersengketa. 

Berkenaan dengan itu, apabila penyelesaian dilakukan secara musyawarah, maka harus disertai dengan bukti-bukti tertulis untuk menjamin dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut, seperti contohnya:
  1. Surat pemberitahuan untuk para pihak;
  2. Berita acara rapat; dan 
  3. Akta Perdamaian, yakni bukti tertulis adanya perdamaian dari pihak yang yang dituangkan dalam akta yang dibuat di hadapan notaris sehingga akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat dibatalkan berdasarkan adanya cacat hukum atau cacat administrasi di dalam penerbitan keputusannya. Adapun yang menjadi dasar hukum mengenai kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain:
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
  3. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan;
  4. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan, kemudian mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.



Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. Subekti mengemukakan pendapatnya bahwa yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis terutama akta otentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, yaitu:
  1. Kekuatan pembuktian formil
    Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
  2. Kekuatan pembuktian materiil
    Membuktikan antara para pihak bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
  3. Kekuatan mengikat
    Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai berbagai masalah yang timbul, hal mana sebagaimana diketahui setidaknya terdapat 3 (tiga) hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah di Indonesia, yakni sebagai berikut:
  1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang masih kurang teliti dan jelas sehingga mengakibatkan terdapat bidang - bidang tanah yang dimiliki oleh 2 (dua) orang dengan memiliki sertifikat hak masing-masing.
  2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, hal mana ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Dengan mengatasnamakan pembangunan, tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
  3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, akan tetapi tanah tersebut lantas ditelantarkan begitu saja. 
Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di cari solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama sehingga dapat dikatakan sengketa tersebut menjadi pertaruhan harga diri.

Oleh sebab itu, apabila akan melakukan suatu perjanjian mengenai tanah sebaiknya dilakukan dengan membuat suatu perjanjian tertulis yang disaksikan atau dibuat oleh notaris agar tidak terjadi kesalahpahaman antara para pihak (pembeli dan penjual) dan juga di saat penandatanganan akta jual beli melampirkan sertifikat asli dari tanah tersebut. 

Adapun sertifikat yang dimaksud adalah buku tanah dan surat ukurnya yang dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Perlu diketahui juga kekuatan pembuktian sertifikat itu MUTHLAK dengan berdasarkan pada sistem pertanahan di Indonesia yang terdiri dari:
  1. Sistem Positif
    Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.
  2. Sistem Negatif
    Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum di dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) di muka sidang pengadilan.
Demikian penjelasan singkat mengenai Penyelesaian Sengketa Tanah yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: