BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban oleh LPSK

Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban oleh LPSK
Saksi dan korban merupakan salah satu bagian penting dalam pembuktian dalam tindak pidana bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/ atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Pasal 27 butir 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Meskipun ada ketentuan  itu di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), akan tetapi dalam kenyataan masih ada penerapan yang tidak sama antara orang yang satu dengan yang lain sehubungan dengan persamaan setiap orang di mata hukum dalam kenyataan masih banyak menimbulkan permasalahan karena tidak terwujudnya rasa keadilan orang yang satu dengan orang yang lain. Praktik penegakan hukum dalam kenyataannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut sehingga diperlukan upaya penegakan hukum yang adil bagi semua orang

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berdiri berdasarkan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan suatu lembaga yang dibentuk untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. 

Perlindungan saksi dan korban merupakan salah satu sub sistem dan sistem hukum pidana. Sebagai suatu sistem maka perlu dijelaskan tentang batasan pengertian sistem dari para sarjana atau pakar. Berdasarkan pandangan ini, maka dimungkinkan kita bersikap dan bertindak tepat dalam menghadapi manusia yang ikut serta dalam terjadinya atau lahirnya si pembuat korban tindak pidana dan si korban dan menentukan tanggung jawab masing-masing. Penderitaan si korban adalah hasil interaksi antara si pembuat korban dan si korban itu sendiri, saksi (bila ada), badan-badan penegak hukum dan anggota masyakat lain.

Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban selama ini didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sumber hukum materiil dengan menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara. Akan tetapi, di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana banyak diatur tentang tersangka dari pada mengenai saksi dan korban. Kedudukan saksi dan korban pun tampaknya belum optimal dibandingkan kedudukan pelaku.

Walaupun telah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, akan tetapi pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban ini dipandang masih belum maksimal karena dinilai belum cukup untuk menjamin perlindungan saksi dan korban yang secara langsung memperhambat kinerja dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu sendiri yang bertujuan untuk melindungi warga negara indonesia dari tekanan fisik dan psikis dari para pelaku kejahatan maupun para penyalahgunaan kekuasaan negara.

Salah satu yang menghambat kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yaitu dalam  Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban belum secara khusus mengatur mengenai wewenang seperti apakah yang dimiliki oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam rangka pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban yang terkadang menyebabkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sering salah jalan dalam melakukan tugasnya yang malahan menempatkan saksi dan/ atau korban tersebut dalam situasi yang rumit. 

Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan di mana keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak pidana sehingga dalam hal ini aparat penegak hukum menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak pidana, tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa sehingga bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban tersebut memberatkan tersangka atau terdakwa, maka ada kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai musuh yang telah memberatkannya dalam proses penanganan perkara. Jika terjadi demikian tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. 

Berdasarkan hal tersebut, maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus mengingat keterangan yang disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi. Jika saksi tidak mendapat perlindungan, maka demi keamanan dirinya dan keluarganya, saksi mempunyai kecenderungan untuk mengubah kesaksiannya bahkan sangat mungkin saksi tidak mau tampil atau maju menjadi saksi. Oleh karena itu, adalah menjadi kebutuhan bahwa sidang yang adil memerlukan perlindungan dan dukungan yang baik bagi saksi dan korban.

Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun, jika diperhatikan dengan teliti apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai. 

Ada beberapa ketentuan yang seharusnya ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini yakni salah satunya adalah mengenai masalah pemberian bantuan terhadap saksi dan korban. Dalam tata cara pemberian bantuan tidak menetapkan mengenai berbagai ketentuan yang seharusnya disepakati oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan saksi dan/ atau korban agar dapat berjalan beriringan. 

Akan lebih baik jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) beserta saksi dan/ atau korban yang akan menerima bantuan tersebut membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan oleh orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya membuat kesepakatan dengan departemen di lingkungan pemerintahan lainnya atau membuat perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk kepentingan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang lebih luas.

Selain itu, Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini mempunyai beberapa hal yang merupakan kelemahan, yaitu tidak mengatur tentang cara bagaimana penegak hukum memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban bahkan terhadap jaksa dan keluarganya sendiri, mengingat baik saksi maupun korban serta jaksa dalam kenyataannya kesulitan untuk mengamankan diri dan keluarganya.

Adapun hal lain yang menjadi penghambat dalam berkembangnya kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini adalah kurangnya informasi ataupun sosialisasi kepada masyarakat sehingga minimnya pengetahuan masyarakat akan kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini walaupun telah diundangkannya Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Karena itulah pemberian informasi kepada masyarakat luas sangatlah perting diadakan, terlebih khusus untuk memberikan informasi kepada para saksi dan korban akan kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini. 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun harus dapat membangun lagi kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerjanya dengan terus memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang mereka miliki. Dari berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dapat dilihat bahwa kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam hal memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban ini tidak bisa berjalan secara efektif tanpa adanya perubahan akan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri. 

Demikian penjelasan singkat mengenai Efektivitas Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: