BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat

Pembagian Warisan menurut Hukum Adat
Pembagian warisan dengan menggunakan hukum waris adat didasarkan pada aturan suku yang masih dipegang teguh dan dijalankan hingga saat ini. Adapun hukum waris adat memiliki aturan adat yang berbeda - beda yang menjadikan sistem penerapannya bisa berlainan jika berdasarkan dengan adat masing - masing daerah atau komunitas. Adapun pada dasarnya ada beberapa sistem yang dijadikan patokan dalam hukum waris adat, yakni terdiri dari :
  1. Sistem Individual;
  2. Sistem Patrilineal;
  3. Sistem Matrilineal; dan
  4. Sistem Parental atau Bilateral.
Sistem Individual
Dalam sistem kewarisan individual, kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki diakui dan secara bersama - sama mendapat harta warisan dari pewaris, meskipun pembagian warisan lebih besar kepada anak laki - laki dari pada anak perempuan, namun hak mewaris dalam harta warisan para ahli waris mendapatkan hak masing - masing. Meskipun anak perempuan hanya mendapatkan bagian tidak sama besar dengan anak laki, namun dalam pembagiannnya anak perempuan mendapatkan bagian setengah dari harta warisan. Dengan adanya sistem pewarisan individual ini memberikan hak secara individu atau perorangan kepada ahli waris mengenai harta warisan. Adapun sistem ini digunakan salah satunya oleh Masyarakat Adat Suku Akit di Riau.

Menurut hukum Adat Suku Akit, subjek dari harta warisan adalah anak - anak dari pewaris dan jika si pewaris tidak mempunyai anak, harta warisan jatuh kepada kerabat si pewaris yaitu Nenek laki-laki atau Nenek perempuan, Bah, Ngah, dan Wak sedangkan objek pewarisan adalah harta benda baik berwujud materi maupun harta non materi. Adapun objek harta warisan dalam masyarakat suku akit adalah Rumah, Tanah dan Kebun. Masyarakat adat suku akit melakukan proses pembagian warisan terdiri dari 3 (Tiga) cara yaitu :
  1. Penghibahan (Peninggal Aeh Heta);
  2. Wasiat; dan
  3. Sesudah Pewaris Wafat.
Penghibahan (Peninggal Aeh Heta)
Pada masyarakat Adat suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, penghibahan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat yang dihadiri oleh seluruh ahli waris dengan disaksikan oleh Wali dan Waris, bahkan para tetangga. jika terjadi ketidak cocokkan diantara para ahli waris, maka orang tua akan memanggil Wali atau Waris untuk menjadi saksi serta memberikan nasehat kepada ahli waris. Apabila para ahli waris belum juga menerima putusan orang tuanya dalam tahap itu, maka tahap berikutnya adalah dengan memanggil RW dan Kepala dusun serta Ketua Adat untuk menjadi saksi. 

Jika tahap ini para ahli waris juga belum sepakat, maka orang tua tetap melakukan kewajibannya membagi harta benda sesuai keputusannya. Apabila ahli waris tidak setuju terhadap keputusan dan pembagian harta benda tersebut, maka yang bersangkutan di persilahkan menggugat ke tingkat yang lebih tinggi misalnya kepada Kepala Desa. Namun tidak pernah ada gugatan ke pengadilan setelah orang tua yang memutus dan membagi waris melalui hibah tersebut meninggal dunia karena gugatan saat orang tua yang masih hidup jarang terjadi dikarenakan hibah merupakan kehendak orang tua sepenuhnya selaku pewaris yang mempunyai hak atas harta kekayaan.

pada masyarakat Adat Suku Akit Apabila seorang anak telah mendapat pemberian semasa hidup dari bapaknya demikian banyaknya, sehingga boleh dianggap ia telah mendapat bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak itu tidak berhak lagi atas barang-barang lain yang dibagibagi setelah bapaknya meninggal dunia. Tetapi, apabila setelah melihat banyaknya barang-barang harta peninggalan, ternyata yang telah diterima oleh anak tersebut masih belum cukup, maka ia akan mendapatkan tambahan pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya menjadi sama dengan bagian saudara-saudaranya yang lain.

Wasiat
Bagi masyarakat suku Akit, sebelum pewaris wafat, pewaris telah memberikan wasiat kepada ahli warisnya. Biasanya wasiat yang diberikan tersebut telah diketahui oleh keluarga dan Ketua Adat. Setiap wasiat yang diberikan pewaris wajib dilaksanakan oleh ahli waris. Pada pelaksanaan pembagian warisan yaitu 7 (tujuh) hari setelah pewaris wafat, wasiat yang diberikan kepada ahli waris di laksanakan oleh seluruh ahli waris. Bagi masyarakat suku Akit wasiat yang diberikan oleh pewaris harus ditaati dan diutamakan karena suku Akit sangat patuh pada wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris.

Sesudah Pewaris Wafat
Pada masyarakat adat suku Akit, setelah pewaris meninggal dunia proses pembagian warisan dilaksanakan pada tujuh harinya pewaris. Di saat itu seluruh Ahli waris berkumpul untuk membicarakan seluruh biaya yang keluar dan pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris ketika masih hidup. Namun adanya juga masyarakat suku Akit membagikan harta warisan 1 (satu) tahun setelah pewaris meninggal dunia, tergantung kepada masing - masing keluarga dalam masyarakat suku Akit. Apabila harta warisan akan dibagi maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain adalah :
  1. Orang tua yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris);
  2. Anak tertua lelaki atau perempuan;
  3. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana;
  4. Anggota kerabat tetangga;
  5. Pemuka masyarakat adat; dan 
  6. Pemuka agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih para waris untuk bertindak sebagai juru bagi
Di lingkungan masyarakat suku Akit dalam pembagian warisan yang menjadi juru bagi adalah anak laki-laki tertua dan orang tua (duda ataupun janda), sedangkan paman hanya sebagai penasehat dalam pembagian warisan tersebut. Kedudukan anak laki-laki tertua sangat besar karena sebagai penanggung jawab utama terhadap harta warisan orang tua dan bertanggung jawab terhadap keutuhan keluarga. 

Sistem Patrilineal
Sistem ini menganut pembagian warisan berdasarkan keturunan dari bapak atau ayah sehingga perempuan tidak mendapatkan porsi bagian dari warisan. Hukum waris adat dengan sistem patrilineal semacam ini masih diterapkan oleh beberapa suku di Batak, Gayo, Nias, Lampung, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan lainnya. 

Dalam sistem waris di Masyarakat Suku Batak berisi aturan bahwa hanya anak laki - laki yang mempunyai hak atas waris orang tuanya sedangkan anak perempuan tidak berhak menerima waris karena dalam praktek anak laki - laki mempunyai kewajiban untuk membiayai pendidikan saudara perempuan atau memberikan sebidang tanah yang bukan berasal dari waris orang tuanya.

Pada Masyarakat Batak Toba yang menggunakan sistemn kekerabatan patrilineal (menarik garis keturunan laki-laki atau bapak) dengan sistem perkawinannya, yaitu perkawinan jujur. Hal mana diterimanya barang atau uang jujur tersebut, maka perempuan mengikatkan diri pada pihak laki - laki sebagai suaminya, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suaminya. Kedudukan anak laki - laki dalam masyarakat Batak Toba sebagai penerus keturunan orang tuanya atau bapaknya dan sebagai ahli waris. Oleh sebab itu anak perenpuan bukan sebagai penerus keturunan dan bukan sebagai ahli waris dari orangtuanya atau bapaknya

Sistem Matrilineal
Hukum waris adat menggunakan sistem matrilineal berlawanan dengan sistem patrilineal yang mana pembagian warisan hanya diambil dari garis keturunan ibu. Sistem ini masih digunakan di Minangkabau, Timor dan Enggano. Dibandingkan dengan sistem adat patrilineal, sistem adat matrilineal jauh lebih sedikit akan tetapi pada kenyataan sampai saat ini tetap masih dijalankan secara turun - temurun.

Dalam adat Minangkabau yang mendapatkan waris adalah keturunan dari pada ibu sebab Minangkabau berbentuk matriarchaat sehingga anak dari baris ibu yang menjadi ahli waris atau dinamakan kemenakan. Jadi seseorang penghulu meninggal maka kemenakannya yang mendapatkan warisan karena secara otomatis dia akan menguasai pula harta pusaka dari almarhum mamaknya. Walaupun demikian, bukan berarti dia boleh leluasa berbuat dengan harta pusaka itu sebab ada pula ketentuan - ketentuannya dikarenakan harta itu ada pula jenis-jenisnya seperti : 
  1. Harta Pusaka Tinggi;
  2. Harta Pusaka Rendah;
  3. Harta Pencaharian;
  4. Harta Surang;
  5. Harta Serikat (sekutu);
  6. dll
Kalau seorang anak ayahnya adalah laki - laki, bukan berarti dia tidak mendapatkan pusaka ayahnya yang menjadi penghulu itu. Si anak boleh menerima harta pusaka itu dengan syarat - syarat tertentu yang bernama hibah.

Sistem Parental atau Bilateral
Sistem ini merupakan jalan tengah yang menganut pembagian harta warisan berdasarkan garis keturunan dari ayah dan ibu. Jadi tidak hanya salah satunya saja. Di dalam hukum waris adat ini, kedudukan laki-  laki dan perempuan dianggap setara sehingga masing - masing garis keturunan bisa mendapatkan warisan yang merata. Sistem adat ini masih digunakan di daerah Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan beberapa daerah lainnya.

Demikian penjelasan singkat mengenai Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.

Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: