BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Teori Terbentuknya Negara

Teori Terbentuknya Negara
  1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract);
  2. Teori Ketuhanan (Teokrasi); dan
  3. Teori Kekuatan.
Teori Kontrak Sosial (Social Contract)
Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani karena keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini antara lain:
  1. Thomas Hobbes;
  2. John Locke; dan 
  3. Jean Jacques Rousseau.
Thomas Hobbes
Menurut Thomas Hobbes, kehidupan manusia terpisah dalam 2 (dua) zaman, yakni :
  1. Keadaan selama belum ada negara atau keadaan alamiah (status naturalis, state of nature); dan 
  2. Keadaan setelah ada negara. 
Bagi Thomas Hobbes, keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera akan tetapi sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu didalamnya. Kehidupan manusia tak ubahnya seperti binatang buas di hutan belantara (homo homini lupus) sehingga menyebabkan terjadinya perkelahian atau perang semua lawan semua (bellum omnium contraomnes atau the war of all aginst all). Keadaan tersebut diakibatkan adanya pelaksanaan natural rights, yaitu hak dan kekuasaan yang dimiliki setiap manusia untuk berbuat apa saja untuk mempertahankan kehidupannya yang tanpa batas.

Dalam keadaan penuh kekacauan, lahirlah natural law dari rasio manusia untuk mengakhiri pelaksanaan natural rights secara liar dengan jalan mengadakan perjanjian. Menurut Thomas Hobbes, perjanjian masyarakat hanya ada satu yaitu Pactum Subjectionis, hal mana dalam perjanjian ini terjadi penyerahan natural rights (hak kodrat) kepada suatu badan yang dibentuk yaitu bodi politik yang akan membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan umum yang disebut dengan negara. 

Menurut Thomas Hobbes, dibutuhkan kontrak atau perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.

John Locke
Berbeda dengan Thomas Hobbes yang melihat keadaan alamiah sebagai suatu keadaan yang kacau, John Locke melihatnya sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen baik, saling menolong antar individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Sekalipun keadaan alamiah dalam pandangan Locke merupakan suatu yang ideal. 

John Locke berpendapat bahwa keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan lantaran tidak adanya organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Di sini, unsur pimpinan atau negara menjadi sangat penting demi menghindari konflik di antara warga negara bersandar pada alasan inilah negara mutlak didirikan.

Melalui bukunya yang berjudul Two treaties on civil Government, John Locke menyatakan keadaan alamiah atau suasana alam bebas bukan merupakan keadaan penuh kekacauan karena sudah ada hukum kodrat yang bersumber pada rasio manusia yang mengajarkan bahwa setiap orang tidak boleh merugikan kepentingan orang lain. Untuk menghindari anarki, maka manusia mengadakan perjanjian membentuk negara dengan tujuan menjamin suasana hukum individu secara alam. Adapun perjanjian masyarakat ada 2 (dua), yaitu :
  1. Pactum Unionis, yakni perjanjian antar individu yang melahirkan negara; dan
  2. Pactum Subjectionis, yakni perjanjian antara individu dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis yang isinya penyerahan hak-hak alamiah. Dalam pactum subjectionis tidak semua hak-hak alamiah yang dimiliki manusia diserahkan kepada penguasa, tetapi ada beberapa hak pokok (asasi) yang meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik yang tetap melekat pada diri manusia dan hak tersebut tidak dapat diserahkan kepada siapapun termasuk penguasa dan hak-hak tersebut harus dilindungi dan dijamin oleh penguasa atau pemerintah dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar). 
Melalui teorinya, John Locke dianggap sebagai peletak dasar teori Hak Asasi Manusia (HAM). Namun demikian, menurut Locke penyelenggara negara atau pimpinan negara harus dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Dasar pemikiran kontrak sosial antar negara dan warga negara dalam pandangan Locke ini merupakan suatu peringatan bahwa kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. 

Hal ini disebabkan karena dalam melakukan perjanjian individu-individu warga negara tersebut tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka. Menurut Locke, terdapat hak-hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi warga negara yang tidak dapat dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.

Jean Jacques Roussaeu
Berbeda dengan Hobbes dan Locke, menurut Jean Jacques Roussaeu keberadaan suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk meningkatkan diri dengan suatu pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya organisasi politiklah yang dibentuk melalui kontrak. Pemerintah sebagai pimpinan organisasi negara dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan wakil-wakil dari warga negara. Adapun yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya. Pemerintah tidak lebih dari sebuah komisi atau pekerja yang melaksanakan mandat bersama tersebut.

Melalui bukunya yang berjudul Du Contract Social, Jean Jacques Rousseau menyatakan menurut kodratnya manusia sejak lahir sama dan merdeka, tetapi agar kepentingannya terjamin maka tiap-tiap orang dengan suka rela menyerahkan hak dan kekuasaannya itu kepada organisasi (disebut negara) yang dibentuk bersama-sama dengan orang lain. Kepada negara tersebut diserahkan kemerdekaan alamiah dan di bawah organisasi negara, manusia mendapatkan kembali haknya dalam bentuk hak warga negara (civil rights)

Negara yang dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat harus dapat menjamin kebebasan dan persamaan serta menyelenggarakan ketertiban masyarakat. Adapun yang berdaulat dalam negara adalah rakyat sedangkan pemerintah hanya merupakan wakilnya saja, sehingga apabila pemerintah tidak dapat melaksanakan urusannya sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat dapat mengganti pemerintah tersebut dengan pemerintah yang baru karena pemerintah yang berdaulat dibentuk berdasarkan kehendak rakyat. Melalui teorinya tersebut, Jean Jacques Rousseau menghendaki bentuk negara yang berkedaulatan rakyat (negara demokrasi). 

Melalui pandangannya ini, Jean Jacques Roussaeu dikenal sebagai peletak dasar bentuk negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat melalui perwakilan organisasi politik mereka. Dengan kata lain, Jean Jacques Roussaeu juga sekaligus dikenal sebagai penggagas paham negara demokrasi yang bersumberkan pada kedaulatan rakyat, yakni rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanyalah merupakan wakil-wakil rakyat pelaksana mandat mereka.

Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dokrin teokritis. Teori ini ditemukan di dunia bagian timur maupun di belahan dunia barat. Teori ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada Abad Pertengahan yang menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan mutlak para raja. 

Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapat mandat Tuhan untuk bertakhta sebagai penguasa. Para raja mengklaim sebagai wakil Tuhan di dunia yang mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia. 

Praktik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach (penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari mahkotanya bahkan raja tersebut dapat dibunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat. 

Dasar pemikiran teori ini adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada atau terjadi di alam semesta ini adalah semuanya kehendak Tuhan, demikian pula negara terjadi karena kehendak Tuhan. Sisa-sisa perlambang teori theokratis nampak dalam kalimat yang tercantum di berbagai Undang-Undang Dasar Negara, seperti : 
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa atau By the grace of God"
Penganut teori theokrasi modern antara lain sebagai berikut : 
  1. Frederich Julius Stahl;
  2. Santo Agustinus; dan
  3. Thomas Aquinas.
Frederich Julius Stahl 
Dalam bukunya yang berjudul Die Philosophie des recht, Frederich Julius Stahl menyatakan bahwa negara secara berangsur-angsur tumbuh melalui proses evolusi : Keluarga-Bangsa-Negara. Negara bukan tumbuh disebabkan berkumpulnya kekuatan dari luar, melainkan disebabkan perkembangan dari dalam. Negara tidak tumbuh disebabkan kekuatan manusia, melainkan disebabkan kehendak Tuhan. 

Santo Agustinus
Kedudukan gereja yang dipimpin Sri Paus lebih tinggi dari kedudukan Negara yang di pimpin oleh raja, karena paus merupakan wakil dari tuhan. Agustinus membagi 2 (dua) macam Negara, yaitu :
  1. Civitate Dei (Kerajaan Tuhan); dan
  2. Civitate Diabolis/ Terrana (Kerajaan Setan) yang ada di dunia fana. 
Thomas Aquinas 
Negara merupakan lembaga alamiah yang lahir karena kebutuhan sosial manusia sebagai lembaga yang bertujuan menjamin ketertiban dan kehidupan masyarakat serta penyelenggara kepentingan umum, negara merupakan penjelmaan yang tidak sempurna. 

Kedudukan Raja dan Sri Paus sama tinggi, keduanya merupakan wakil Tuhan yang masing-masing mempunyai tugas berlainan yaitu raja mempunyai tugas di bidang keduniawian yaitu mengusahakan agar rakyatnya hidup bahagia dan sejahtera di dalam negara, sedangkan Paus mempunyai tugas di bidang kerohanian yaitu membimbing rakyatnya agar kelak dapat hidup bahagia di akhirat.

Dalam sejarah tata negara Islam, pandangan teokritis serupa pernah dijalankan Raja-Raja Muslim sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Dengan mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia (khalifatullah fi al-ard, dzilullah fi al-ard), Raja-Raja Muslim tersebut umumnya menjalankan kekuasaannya secara tiran serupa dengan para Raja-Raja di Eropa Abad Pertengahan, Raja-Raja Muslim merasa tidak harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat, akan tetapi langsung kepada Allah SWT. 

Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah). Pandangan ini berkembang menjadi paham dominan bahwa Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sama halnya dengan pengalaman teokrasi di barat, penguasa teokrasi Islam menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti kerajaan.

Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (raison d’etre) dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses pembentukan suatu negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan di mana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.

Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian di kalangan suku-suku primitif, di mana sang pemenang pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku yang dikalahkan. Bentuk penaklukan yang paling nyata di masa modern adalah penaklukan dalam bentuk penjajahan Barat atas bangsa-bangsa Timur. Setelah masa penjajahan berakhir di awal abad ke-20, dijumpai banyak negara-negara baru yang kemerdekaannya banyak ditentukan oleh penguasa kolonial. Negara Malaysia dan Brunei Darussalam bisa dikategorikan ke dalam jenis ini.

Demikian penjelasan singkat mengenai Teori Terbentuknya Negara yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: