BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hukum Perkawinan di Negara Barat

Hukum Perkawinan di Negara Barat
Keluarga di Barat merupakan satu kesatuan yang didasarkan atas monogamy dan perkawinan yang permanent dengan konsekuensi adanya pembedaan status yang rigid antara anak-anak yang sah dan yang tidak sah, namun, konsep ini telah berubah di masyarakat Barat. Prinsip dasar keluarga di Barat secara umum adalah suami dan istri yang diresmikan di bawah sanksi dan otoritas gereja.

Namun, saat ini sanksi formal terhadap sipil dilakukan oleha Negara. Dahulu, perkawinan yang tidak melalui sakramen pemberkatan di gereja dianggap dosa. Hubungan seksual di luar perkawinan mendapatkan sanksi sebagai pertanggungjawaban bagi pasangan tersebut dan anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut akan terhalang untuk mendapatkan status hukum yang sah.

Tantangan perkawinan yang permanent atau seumur hidup merupakan prinsip dasar dari ajaran keagamaan, yaitu ide tentang sakramen perkawinan yang diciptakan oleh Tuhan. Perkawinan adalah suci dan apa yang telah disatukan oleh Tuhan, maka manusia tidak dapat memisahkannya. Gereja Katolik yang mengatur orang-orang yang akan melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum agama. Dengan demikian, maka dapat diketahui perpisahan perkawinan hanya dapat karena kematian, selain daripada itu tidak diperbolehkan.

Konsep perkawinan tersebut masih kental dengan pengaruh St Agustinus. Dalam perkembangannya, terdapat pendekatan yang berbeda. Perpisahan perkawinan dapat dilakukan karena beberapa kondisi, ditengahkan oleh para penganut Katolik modern. Landasan filosofi yang mereka gunakan adalah hak individual untuk mendapatkan kebahagiaan. Manusia harus dapat menikmati kondisi tertentu yang menyebabkan mereka dapat mengembangkan kapasitasa dan potensi individunya. 

Bahkan, terdapat versi pendekatan yang lebih ekstrem yang membawa perkawinan kepada teori perjanjian sehingga interpretasi perkawinan adalah sebuah kontrak yang didasarkan atas kesepakatan. Menurut laporan komisi peradilan Inggris, perceraian berdasarkan perjanjian ini saat ini diakui di Bulgaria dan Portugal (untuk umat non Katolik) tahun 1968. Hukum Perkawinan Swedia tahun 1920 juga telah mengakui perpisahan perkawinan dengan perjanjian.

Perkawinan di Inggris yang menganut sistem hukum common law tidak mensyaratkan adanya persamaan agama bagi para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Pada awalnya, hukum perkawinan yang menggunakan hukum gereja, terutama di Inggris yang hanya dimonopoli oleh Gereja Inggris telah menuai banyak protes dari kelompok aliran lainnya. Sehingga, perkawinan dianggap tidak sekedar urusan keagamaan melainkan urusan publik.

Dengan adanya perkawinan gereja atau perkawinan secara agama perbedaan agama akan menjadi permasalahan dalam pelaksanaan perkawinan. Hal ini dapat disebabkan oleh lembaga baptis yang harus berlaku. Dengan kata lain, perkawinan di gereja hanya diperuntukkan bagi orang yang telah dibaptis sebagai Kristen. Namun, dalam perkembangannya, perkawinan bergeser menjadi perkawinan sipil. 

Perkawinan bukan sekedar urusan agama sehingga dengan cara ini agama apapun yang dianut para pihak tidak dihiraukan lagi. Orang yang beragama ataupun tidak beragama dapat melaksanakan perkawinan sipil dan dapat dicacatkan secara sah dengan memenuhi prosedur yang telah ditetapkan.

Di Inggris, perkawinan diatur oleh Gereja sebagaimana pada masa pertengahan abad XVII ditetapkan bahwa yang dapat melaksanakan perkawinan adalah yang perkawinannya diatur oleh gereja dan didaftarkan serta diselenggarakan di gereja. Namun, setelah reformasi, gereka mentolerir perkawinan yang didasarkan pada perjanjian antara kedua belah pihak.

Perkawinan seperti ini juga dianggap sah jika suatu pasangan sepakat untuk menjadi suami dan istri dengan menggunakan kalimat present tense (saat ini), maka mereka telah menjadi suami istri tanpa mengindahkan ada atau tidaknya saksi. Perkawinan seperti ini dikenal dengan perkawinan informal yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menginginkan upacara perkawinan yang cepat dan mudah. Namun, perkawinan seperti ini memiliki resiko yakni ketika ternyata salah satu pasangan telah melakukan perkawinan secara formal dengan pasangan lain dan kemudian pasangannya menggugat perkawinan informal tersebut seperti contohnya pada kasus Cochrane v. Campbell. 

Dengan adanya contoh kasus tersebut di atas, maka hukum perkawinan gereja di negara Inggris mulai diberlakukan kembali. Hal mana hukum perkawinan tahun 1753 menyatakan bahwa perkawinan harus diselenggarakan dengan syarat: 
  1. Perkawinannya dilakukan pemberkatan gereja;
  2. Perkawinannya dihadiri  2 (dua) orang saksi atau lebih; dan
  3. Perkawinannya harus dicatat secara formal.
Hukum perkawinan tahun 1836 menekankan kepada kepentingan negara untuk memberikan status sahnya perkawinan seseorang sehingga dalam hukum perkawinan tersebut terdapat 3 (tiga) proses pelaksanaan perkawinan yang harus dilalui para pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan, yaitu sebagai berikut: 
  1. Pertama, pasangan harus membuat pengumuman tentang kehendaknya untuk melangsungkan perkawinan, baik kepada orang tua maupun kepada orang-orang lainnya;
  2. Kedua, harus ada perayaan perkawinan itu sendiri; dan
  3. Ketiga, prosedur administrasi berupa pendaftaran dan pencatatan untuk status perkawinan suatu pasangan.
Hukum perkawinan Inggris tahun 1753 dan tahun 1836 tersebut dianggap diskriminatif. Hal mana di dalamnya dinyatakan bahwa perkawinan hanya bisa diselenggarakan di Gereja Inggris (England Church) sehingga dengan adanya ketentuan tersebut menimbulkan aksu protes dari Gereja Katolik Roma (Roman Church) dan aliran keagamaan yang lain karena agama Kristen bukan satu-satunya agama yang ada di negara Inggris. 

Terutama, muncul gerakan liberal Yahudi yang menuntut reformasi hukum perkawinan tersebut. Mereka merasa tidak mendapat kesetaraan dalam bidang perkawinan. Mereka menganggap bahwa perkawinan adalah masalah publik bukan sekedar urusan keagamaan. Hingga masa perang dunia kedua tahun 1939 tuntutan reformasi hukum perkawinan tersebut belum berhasil. 

Perubahan mendasar dalam hukum perkawinan Inggris ini dilakukan tahun 1970an. Tahun 1973 dibentuk tim dan konsultan untuk melakukan perubahan hukum perkawinan ini. Tim merumuskan bahwa perkawinan sipil menjadi satu-satunya jalan paling efektif untuk melaksanakan perkawinan. Namun, cara ini juga masih menuai protes dari kelompok gereja. 

Akhirnya, dirumuskan prosedur bahwa orang tua harus memberikan persetujuan atas perkawinan anaknya dengan datang sendiri ke petugas pencacat perkawinan untuk memberikan tanda tangan di hadapan para saksi karena harus ada penetapan dari petugas pencacat perkawinan bahwa tidak ada penolakan atas perkawinan tersebut dan harus membayar untuk lisensi pengesahan perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan tersebut tanpa memandang dimana perayaan perkawinan diselenggarakan baik di Gereja Inggris, Gereja Katolik ataupun di sekte atau aliran lainnya.

Sedangkan hukum perkawinan di Canada tidak menjadikan persamaan agama sebagai syarat sahnya suatu perkawinan sehingga perkawinan beda agama bukan menjadi penghalang. Adapun syarat sahnya perkawinan di negara Canada adalah sebagai berikut:
  1. Berbeda jenis kelamin;
  2. Memiliki kemampuan seksual;
  3. Tidak ada hubungan pertalian darah atau keturunan;
  4. Tidak terikat dengan perkawinan sebelumnya; dan
  5. Adanya perjanjian
Demikian penjelasan singkat mengenai Hukum Perkawinan di Negara Barat yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: