BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Ketentuan tentang Senjata Api

Ketentuan tentang Senjata Api
Sistem pengaturannya sangat bergantung pada bagaimana negara memandang ancaman keamanan itu sendiri. Keterlibatan institusi dalam pengelolaan dan pembuatan regulasi terkait senjata api mempengaruhi sejauhmana tingkat koordinasi dan penganggaran. Selama ini Indonesia menganut pembatasan pada pengelolaan oleh 2 (dua) institusi, yaitu militer dan polisi dengan preferensi legal dan perundang-undangan peninggalan kolonial yang batasannya hanya pada pemanfaatan senjata api.

Pengaturan mengenai senjata api tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini dapat diamati dari peraturan yang ada selama ini. Paling tidak terdapat 4 (empat) peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang mengatur mengenai senjata api, yaitu sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Senjata Api Tahun 1936;
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api;
  3. Undang-Undang Darurat Tahun 1951 Mengenai Peraturan Hukuman Istimewa Sementara; dan
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perijinan yang diberikan Menurut Undang-Undang Senjata Api.
Undang-Undang Senjata Api 1936
Memperhatikan tahun penetapannya, maka undang-undang ini disusun sebelum Indonesia Merdeka atau jaman Hindia Belanda. Secara sistematika, undang-undang ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu: 
  1. Bagian yang mengatur mengenai pemasukan, pengeluaran, penerusan dan pembongkaran yang terdiri dari 9 pasal; dan
  2. Bagian yang mengatur mengenai milik, perdagangan dan pengangkutan senjata api, mesiu dan munisi di Indonesia yang terdiri dari 19 pasal.
Tiga hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah mengenai senjata api, munisi dan kapal. Termasuk dalam pengertian senjata api menurut undang-undang tersebut adalah: 
  1. Bagian-bagian senjata api;
  2. Meriam-meriam dan penyembur api serta bagian-bagiannya;
  3. Senjata-senjata tekanan udara dan senjata tekanan per, pistol-pistol penyembelih dan pistol-pistol pemberi isyarat, senjata senjata api tiruan (seperti pistol-pistol tanda bahaya, pistol-pistol perlombaan, revolverrevolver perlombaan, pistol-pistol mati suri dan revolver-revolver mati suri serta benda-benda lain yang serupa yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau mengejutkan) demikian juga bagian-bagian senjata itu dengan pengertian bahwa senjata-senjata tekanan udara, senjata-senjata tekanan per dan senjata-senjata tiruan serta bagian-bagian senjata itu hanya dapat dipandang sebagai senjata api apabila dengan nyata tidak dipergunakan sebagai permainan anak-anak. 
Adapun termasuk pengertian munisi adalah bagian-bagian munisi, seperti selongsong-selongsong peluru, penggalak-penggalak, peluru-peluru palutan dan pemalut-pemalut peluru, demikian pula proyektil untuk menghamburkan gas-gas yang merusakkan kesehatan atau gas-gas yang mempengaruhi keadaan tubuh yang normal. 

Memperhatikan Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (6) bagian pemasukan, pengeluaran, penerusan dan pembongkaran, maupun Pasal 1 ayat (3), ayat (4) dan Pasal 13 ayat (2) bagian milik, perdagangan dan pengangkutan, maka yang mempunyai kewenangan dalam pemasukan, pengeluaran, penerusan dan pembongkaran, maupun bagian milik, perdagangan dan pengangkutan terhadap senjata api adalah Menteri Dalam Negeri. Ketentuan ini tentu saja sudah tidak relevan lagi apabila diterapkan karena tugas dan fungsi Kementerian Dalam Negeri pada saat ini sudah tidak lagi terkait dengan pengurusan mengenai senjata api.

UU No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api
Undang-Undang yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 1948 ini dibuat setelah Indonesia merdeka dan dimaksudkan untuk mengatur mengenai pendaftaran senjata api yang ada dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, adapun yang dimaksud senjata api dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 adalah: 
  1. Senjata api dan bagian-bagiannya;
  2. Alat penyembur api dan bagian-bagiannya;
  3. Mesiu dan bagian-bagiannya seperti patroonhulsen, slaghoeds dan lain-lainnya; dan
  4. Bahan peledak, termasuk juga benda-benda yang mengandung peledak seperti granat tangan, bom dan lain-lain. 
Berdasarkan pada ketentuan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 8 tahun 1948, pendaftaran terhadap senjata api dilakukan dengan cara: 
  1. Senjata api yang berada ditangan orang bukan anggota tentara atau polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Keresidenan (atau Kepala Kepolisian derah Istimewa) atau orang yang ditunjuknya;
  2. Senjata api yang berada di tangan anggota Angkatan Perang didaftarkan menurut instruksi Menteri Pertahanan; dan
  3. Senjata api yang berada di tangan Polisi di daftarkan menurut instruksi Kepala Pusat Kepolisian Negara. 
Sejalan dengan pendaftaran senjata api yang berada di tangan orang bukan anggota tentara atau polisi kepada Kepala Kepolisian Keresidenan, maka yang berhak memberikan izin pemakaian senjata api untuk orang bukan anggota tentara atau polisi adalah Kepala Kepolisian Keresidenan atau orang yang ditunjuknya. Demikian juga mengenai izin pemindahan senjata api ke pihak lain juga harus mendapatkan izin dari Kepala Kepolisian Keresidenan. Walaupun membuat defenisi yang berbeda mengenai senjata api, akan tetapi Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tidak mencabut berlakunya Undang-Undang Senjata Api Tahun 1936.

UU Darurat Mengenai Peraturan Hukuman Istimewa Sementara Tahun 1951
Aturan dalam Undang-Undang Darurat ini yang terkait dengan senjata api adalah Pasal 1, Pasal 3 dan Pasal 5. Ketentuan Pasal 1 mengatur mengenai ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang terkait dengan senjata api, munisi atau bahan peledak. Ketentuan ini merubah ketentuan mengenai ancaman hukuman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya. Adapun ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat tahun 1951 adalah sebagai berikut: 
"Barang siapa, tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun."
Pengertian senjata api dalam ketentuan pasal ini merujuk pada pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Senjata Api 1936. Sedangkan pengertian bahan peledak yang digunakan merujuk pada Ordonansi tanggal 18 September 1893 (Stbl. No. 234) yang telah diubah dengan Ordonansi tanggal 9 Mei 1931 (Stbl. No. 168). Sedangkan ketentuan Pasal 3 menggolongkan perbuatan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat 1951 sebagai kejahatan dan Pasal 5 mengatur mengenai perampasan terhadap barang-barang yang terkait dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut.

Perppu 20/1960 tentang Kewenangan Perijinan yang diberikan menurut UU 1936
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengatur mengenai kewenangan untuk mengeluarkan dan/ atau menolak permohonan perizinan senjata api diberikan kepada Menteri/ Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang dikuasakan. Sedangkan untuk kepentingan dinas angkatan perang, perizinan menjadi kewenangan oleh masing-masing departemen angkatan perang.

Apabila dibandingkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, maka esensi substansi dari kedua undang-undang tersebut tidak berbeda, kecuali pada nomenklatur jabatan dari pejabat yang berwenang.

Selain keempat undang-undang tersebut di atas, terdapat juga beberapa undang-undang yang harus diperhatikan dalam rangka pengaturan mengenai senjata api, yakni sebagai berikut:
  1. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;
  3. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia; dan
  4. Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
Pasal 15 ayat (2) huruf e menyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam. 

Apabila dicermati, kalimat sesuai dengan peraruran perundang-undangan lainnya dalam ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan kepolisian tersebut sangat tergantung pada ketentuan undang-undang lainnya attau dengan kata lain harus ada pemberian wewenang dari undang-undang lain. Oleh karena itu penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Senjata Api yang akan disusun harus memperhatikan hal tersebut termasuk juga mengenai kewenangan-kewenangan kepolisian terkait senjata api. 

Sebagai salah salah satu subyek yang dapat berwenang menggunakan senjata api untuk pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat dan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka proses penegakan hukum terhadap anggota polisi yang menyalahgunakan senjata api harus juga dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara yang merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Untuk melaksanakan fungsi pertahanan negara, maka penggunaan senjata api untuk kepentingan militer dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman bersenjata menjadi salah satu alternatif utama yang harus dilakukan. Hal ini karena komponen utama dalam pelaksanaan ancaman militer dan ancaman bersenjata adalah penggunaan senjata. 

Menurut penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menentukan yang dimaksud dengan ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer dapat berbentuk, antara lain: 
  1. Agresi berupa penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa atau dalam bentuk dan cara-cara, antara lain:
    • Invasi berupa serangan oleh kekuatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    • Bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara lain terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    • Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah udara Negara KesatuanRepublik Indonesia oleh angkatan bersenjata negara lain;
    • Serangan unsur angkatan bersenjata negara lain terhadap unsur satuan darat atau satuan laut atau satuan udara Tentara Nasional Indonesia;
    • Unsur kekuatan bersenjata negara lain yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian yang tindakan atau keberadaannya bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian;
    • Tindakan suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh Negara lain sebagai daerah persiapan untuk melakukan agresi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    • Pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran oleh Negara lain untuk melakukan tindakan kekerasan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melakukan tindakan seperti tersebut di atas.
  2. Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negara lain, baik yang menggunakan kapal maupun pesawat non komersial;
  3. Spionase yang dilakukan oleh negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia militer;
  4. Sabotase untuk merusak instalasi penting militer dan obyek vital nasional yang membahayakan keselamatan bangsa;
  5. Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau yang bekerja sama dengan terorisme dalam negeri atau terorisme luar negeri yang bereskalasi tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa;
  6. Pemberontakan bersenjata;
  7. Perang saudara yang terjadi antara kelompok masyarakat bersenjata dengan kelompok masyarakat bersenjata lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman bersenjata menurut penjelasan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 adalah berbagai usaha dan kegiatan oleh kelompok atau pihak yang terorganisasi dan bersenjata, baik dari dalam maupun luar negeri yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa.

Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Tentara Nasional Indonesia adalah adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. Dengan kata lain Tentara Nasional adalah subyek hukum yang boleh menggunakan senjata untuk kepentingan militer. Mendasarkan pada hal tersebut, kebutuhan Tentara Nasional Indonesia akan senjata api untuk kepentingan militer harus mendapat perhatian dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Senjata Api. Termasuk juga didalamnya pengaturan apabila terjadi penyalahgunaan senjata api oleh anggota Tentara Nasional Indonesia.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
Sebagai ketentuan yang mengatur industri nasional untuk menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2002 juga harus diperhatikan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Senjata Api.

Demikian penjelasan singkat mengenai Ketentuan tentang Senjata Api yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: