BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Penyelundupan Senjata di Filiphina

Penyelundupan Senjata di Filipina
Masalah penyelundupan senjata telah menjadi masalah yang serius di Filipina. Filipina dikenal sebagai negara pengimpor senjata karena sedikitnya persediaan persenjataan di negara tersebut, namun anehnya sebagian besar produksi senjata di Filipina di ekspor ke negara lain. Menurut Herman Joseph S. Kraft terdapat 3 (tiga) faktor yang mendorong terjadinya proliferasi senjata di Filipina (Herman Joseph S. Kraft, "Small Arms Proliferation and the Philippines", dalam Small Is (Not) Beautiful, The Problem of Small Arms in Southeast Asia, edited by Philips Jusario Vermonte, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2004, hlm. 78), yakni:
  1. Pertama, hal tersebut merupakan akibat dari kurangnya kepercayaan masyarakat Filipina terhadap negaranya dalam menjamin keamanan warga negaranya. Lemahnya kapasitas negara dalam melindungi warga negaranya cenderung mendorong masyarakat untuk memiliki senjata sendiri sebagai upaya untuk melindungi diri;
  2. Kedua, proliferasi senjata terutama dipengaruhi oleh konflik-konflik internal yang ada di Filipina; dan
  3. Ketiga, meskipun tekanan terhadap isu proliferasi senjata lebih difokuskan pada masalah senjata tanpa lisensi dan tak terdaftar, namun batas antara penggunaan secara legal dan ilegal tidak memberikan perbedaan yang jelas antara senjata terdaftar dan tidak terdaftar. Senjata yang dibeli dan dimiliki secara legal sering kali digunakan untuk tujuan yang bersifat ilegal sehingga masalah pembatasan ini masih belum jelas. 
Filipina dikenal memiliki skala yang mendekati Amerika Serikat mengenai kepemilikan senjata api oleh kaum sipil. Amerika Serikat sendiri merupakan penyuplai utama senjata kepada angkatan bersenjata di Filipina yang dikenal dengan Armed Forces of the Philippines (AFP). Dari tahun 1950 hingga 1970, jumlah persenjataan Filipina yang disuplai oleh Amerika Serikat tidak pernah berada di bawah angka 75 % (tujuh puluh lima persen) (Keke Viernia, "Tinjauan hukum internasional terhadap masalah penyeludupan senjata lintas negara", Skripsi, Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hlm. 64)

Amnesty International melaporkan bahwa Amerika Serikat memberi bantuan perlengkapan militer senilai US$ 100.000.000 (seratus juta USDollar) dan juga 30.000 (tiga puluh ribu) pucuk senjata jenis M-16 kepada pemerintah Filipina untuk menghadapi berbagai kelompok pemberontak di wilayahnya (Philips Jusario Vermonte, hlm. 64). Pada dasarnya, Filipina memiliki dua peran dalam masalah proliferasi senjata ini, yakni:
  1. Sebagai negara Sumber atau Pengirim (as Source); dan 
  2. Sebagai negara Tujuan (as End Point). 
Peran Filipina sebagai negara pengirim senjata terkait dengan besarnya industri senjata yang ada di Filipina sedangkan sebagai negara tujuan, Filipina juga memiliki potensi yang cukup besar mengingat banyaknya kelompok-kelompok pemberontak yang mendapatkan bantuan persenjataan dari pedagang senjata di berbagai negara melalui black market.

Government Arsenal (GA) yang merupakan penyuplai utama bagi Armed Forces of the Philippines (AFP) dan the Philippines National Police (PNP). Produksi resmi negara mengalami peningkatan sejak masa Presiden Marcos yang memperbesar jumlah tentara untuk menghadapi pemberontakan New People’s Army (NPA) dan Moro National Liberation Front (MNLF). 

Pada tahun 1986, Marcos memutuskan untuk menambah jumlah tentara Filipina dari 62.000 (enam puluh dua ribu) menjadi 160.000 (seratus enam puluh ribu) personel dan meluncurkan program untuk mempersenjatainya dengan produk domestik. Program ini difasilitasi oleh sebuah Dekrit Presiden Filipina bernomor 415 dengan judul The Self-Reliant Defence Posture Program (SRDP). Bedasarkan dekrit ini, Filipina mulai memproduksi senjata antara senjata di bawah lisensi Colt, M-16 dan lain-lain (Philips Jusario Vermonte, hlm. 65).

Sementara itu di sektor swasta, Filipina juga memiliki produsen senjata yang sangat besar. Salah satu produsen senjata terbesar di sektor swasta ini adalah The Arms Corporation of the Philippines (ARMSCOR) yang juga disebut-sebut sebagai produsen senjata terbesar di Asia Tenggara. The Arms Corporation of the Philippines (ARMSCOR) memproduksi senjata di sebuah pabrik yang terletak di Parang, Marikina City.

Produksi ini untuk memenuhi kebutuhan pemerintah dan juga untuk dijual di pasar senjata lokal. Selain memproduksi berbagai jenis senjata seperti MAK dan M1600 yang disebut-sebut sebagai replika dari M-16 dan AK47, The Arms Corporation of the Philippines (ARMSCOR) juga menandatangani perjanjian dengan Denel, sebuah perusahaan dari Afrika Selatan untuk memproduksi pistol Vektor SP-1 9 mm di bawah lisensi. 

Perusahaan swasta lainnya yang juga merupakan produsen senjata di Filipina, antara lain Shooter Arms Manufacturing Incorporated, Stronghand Incorporated, dan PB Dionisio & Co. Di Danao juga terdapat dua produsen senjata utama yang terdaftar (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 95), yakni:
  1. The Danao Arms Corporation (DAMCOR); dan
  2. The Workers League of Danao Multi-Purpose Cooperative (WORLD-MPC).
Senjata-senjata yang diproduksi secara ilegal ini kemudian didistribusikan kepada kelompok-kelompok pemberontak misalnya saja, hingga akhir tahun 1980an, Yakuza,sebuah kelompok Transnational Organized Crime (TOC) di Jepang membeli senjata langsung dari Danao, namun kemudian kelompok ini menggunakan broker dalam pembelian senjata mereka .

Bahkan, kelompok Transnational Organized Crime (TOC) di Jepang ditengarai juga lebih memilih untuk mengimpor pembuat senjata (gun makers) dari Filipina dari pada mengimpor produk-produk buatan gun makers ini. Sementara itu, di Filipina bagian selatan, para penyelundup senjata sangat aktif beraksi terutama di provinsi Agusan, Misamis, Surigao, Sulu, Basilan, Tawi-Tawi, dan Zamboanga. 

Senjata-senjata dari Filipina juga diketahui telah diselundupkan ke kelompok bersenjata Muslim di Maluku. Bahkan diberitakan bahwa senjata-senjata yang dibeli dari Mindanao diperdagangkan secara bebas di Maluku (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 96).

Kondisi Filipina yang dihadapkan dengan sejumlah kelompok-kelompok pemberontak semakin menyulitkan pemerintah untuk meminimalisir perdagangan senjata melalui black market. Sejumlah kelompok pemberontak yang cukup menonjol di Filipina, antara lain:
  1. Moro Islamic Liberation Front (MILF);
  2. The Abu Sayyaf Group (ASG);
  3. The New People’s Army (NPA); dan 
  4. The Revolutionary Proletarian Army Alex Boncayao Berigade (RPA-ABB). 
Kelompok-kelompok pemberontak ini terlibat perdagangan senjata ilegal, baik melalui black market maupun grey market. Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan The Abu Sayyaf Group (ASG) diketahui telah membeli sejumlah besar senjata melalui dealer di Phuket dan Ranong diThailand dan sebagian besar senjata tersebut diselundupkan kembali ke Mindanao melalui Sabah. 

Kelompok ini juga diduga memperoleh senjata dengan mengadakan penukaran sandera dan juga melalui perdagangan obat terlarang (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 98). 

Demikian penjelasan singkat mengenai Penyelundupan Senjata di Filiphina yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: