BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Urgensi Pembaharuan Peraturan tentang Senjata Api

Urgensi Pembaharuan Peraturan tentang Senjata Api
Kontroversi kepemilikan senjata api ilegal merupakan suatu permasalahan yang hangat dibicarakan. Ilegal yang dimaksud di sini adalah tidak legal atau tidak sah menurut hukum. Kepemilikan senjata api ilegal ini tidak hanya dilihat sebagai bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai suatu sarana kejahatan yang berbahaya oleh pelaku tindak pidana. Hal ini sejalan dengan meningkatnya dan maraknya tindak kejahatan di sekitar kita seperti penembakan oleh orang tidak dikenal, teror penembakan di sejumlah tempat-tempat umum hingga kejahatan yang diikuti oleh ancaman bahkan pembunuhan dengan senjata api tersebut. 

Masalah kepemilikan senjata api ilegal sebenarnya sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, hal mana terdapat ketentuan tersendiri mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil. Kepemilikan senjata api secara umum diatur dalam Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang bersifat pidana. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 disebutkan bahwa:
"Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun".
Dari ketentuan pasal di atas, terdapat cakupan yang luas mengenai kepemilikan senjata api yang diancam pidana dari membuat hingga mengeluarkan dari Indonesia suatu senjata api. Apabila kepemilikan senjata api di atas dilakukan tanpa hak (tanpa alas hak yang sah, digolongkan sebagai tindak pidana) maka dapat dijatuhkan sanksi pidana berupa: 
  1. Hukuman Mati;
  2. Hukuman Penjara Seumur Hidup; atau
  3. Hukuman Penjara hingga 20 tahun. 
Tanpa hak sebagai suatu kualifikasi pasal ancaman pidana di atas dapat diartikan juga sebagai perbuatan melawan hukum dalam pidana. Tanpa hak di sini berarti bahwa pemilik senjata api itu tidak mempunyai kewenangan untuk memilikinya atau tidak memiliki izin kepemilikan. 

Kepemilikan senjata api ini sendiri memang diatur secara terbatas. Di lingkungan kepolisian dan TNI sendiri terdapat peraturan mengenai prosedur kepemilikan dan syarat tertentu untuk memiliki senjata api. Di lingkungan masyarakat sipil juga terdapat prosedur tertentu untuk memiliki senjata api secara legal. Prosedur tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. 

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 mewajibkan setiap senjata api yang berada di tangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi haras didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan. Menurut Pasal 9 UU No. 8 Tahun 1948 menyebutkan bahwa setiap orang atau warga sipil yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Surat izin pemakaian senjata api ini diberikan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya. 

Ketentuan mengenai pejabat yang diberikan kewenangan pemberian izin kepemilikan senjata api ini diubah oleh Perpu No 20 Tahun 1960 untuk menyesuaikan penyebutannya. Pasal 1 Perpu No. 20 Tahun 1960 mengatur bahwa kewenangan untuk mengeluarkan dan/ atau menolak sesuatu permohonan perizinan diberikan kepada Menteri/ Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang dikuasakan olehnya untuk itu. Jadi penyebutannya bukan oleh Kepala Kepolisian Residen sebagaimana dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1948. 

Pengajuan izin kepemilikan senjata api non organik yang dilakukan oleh masyarakat yang biasa disebut dengan Izin Khusus Senjata Api (IKSHA) dilakukan sesuai ketentuan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. Pol: Skep/82/II/2004. Dapat dilihat bahwa kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil jelas memerlukan prosedur permohonan izin tertentu mencakup syarat keterampilan dan psikologis. Hal ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di atas. Surat izin tersebut harus diperpanjang per jangka waktu tertentu. 

Oleh karena itu, kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil bukanlah hal yang sembarangan. Kepemilikan tanpa hak atas senjata api dapat dijatuhkan sanksi pidana hingga hukuman mati. Hal ini terkait potensi besar penyalahgunaan senjata api ilegal yang bahkan dapat mengancam keamanan dan stabilitas negara. Kepolisian adalah pihak yang harus menindak tegas kepemilikan sejata api oleh masyarakat sipil ini. 

Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (vide: Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2002). Instrumen hukum yang lama dan tidak sesuai lagi juga harus diperbaharui yakni instrumen undang-undang tahun 1951 sebaiknya diajukan perubahan. Selain itu, tindakan preventif seperti razia senjata api juga huras terus diupayakan. Pengawasan peredaran senjata api ilegal haras ditangani serius agar tidak terjadi penyalahgunaan senjata api yang membahayakan masyarakat

Polisi yang berhak memegang senjata api sebenarnya telah melewati serangkaian tahapan dan ujian yang ketat. Ada 6 (enam) tahapan pertimbangan anggota Polri berhak memegang senjata api. Pertimbangan terscbut untuk menilai kelaikan anggota kepolisian dalam memegang dan membawa senjata api dalam bertugas, yaitu:
  1. Penilaian terhadap tugas anggota kepolisian tersebut apakah berorientasi untuk memegang senjata api atau tidak;
  2. Anggota yang bersangkutan harus mendapatkan rekomendasi dari pimpinannya sebagai pihak yang menilai kelaikan anggotanya untuk memegang senjata api;
  3. Anggota yang bersangkutan harus lulus uji psikologi;
  4. Anggota yang bersangkutan harus lulus uji kesehatan dan lulus uji kemahiran menembak; dan
  5. Rekam jejak.
Secara hukum positif, Indonesia sudah termasuk ke dalam Negara yang sudah menerapkan aturan tentang kepemilikan senjata api yang diperuntukan untuk kalangan sipil secara ketat. Undang-Undang yang mengatur tentang kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil ada di dalam UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api. Namun, dilihat dari pengaturan senjata api yang ada saat ini tersebut masih terdapat ketidakpastian hukum dalam pengaturannya sehingga dirasa perlu dilakukan pembaharuan mengenai pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api di Indonesia

Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 yang ketentuannya sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan mengatur ulang mengenai hak kepemilikan senjata api dan perbaikan sistem perizinan kepemilikan senjata api yang terintegrasi. Selain itu perubahan juga dapat mengatur mengenai mekanisme pengawasan dan pengendalian senjata api dikalangan masyarakat sipil. 

Selain upaya perubahan regulasi, langkah lain dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia khususnya pihak Polri adalah melakukan operasi penertiban kepemilikan senjata api. Hal tersebut dapat menjadi upaya preventif dengan keuntungan tersendiri yaitu data riil jumlah senjata api yang beredar dalam masyarakat sehingga kewenangan Polri dalam pengendalian jumlah senjata yang beredar di kalangan masyarakat sipil dapat lebih efektif dan angka penyalahgunaan senjata api dapat berkurang.

Senjata api dapat menghadirkan ancaman serius bagi keselamatan jiwa manusia. Seorang penembak jitu misalnya, dapat membunuh sasarannya dengan menggunakan senapan runduk dengan peluru berkaliber 7,62 mm dari jarak satu kilometer atau lebih. Kombinasi mematikan antara daya ledak, kemapanan teknologi dan efektifitas jarak tembak dapat menjadi dasar bagi pengkategorian jenis-jenis senjata api dan oleh karenanya menjustififikasi penyebarluasannya sebagai sebuah tindakan ilegal. 

Ada cukup banyak informasi dan referensi tentang jenis senjata api yang beredar atau dipasarkan kepada perusahaan swasta, individu maupun instansi keamanan. Publikasi-publikasi tahunan, antara lain:
  1. Jane's Infantry Weapons;
  2. Jane's Ammunition Handbook;
  3. Jane's World Armies; dan 
  4. IISS Military Balance
Terdapat juga publikasi khusus tentang pertahanan lainnya seperti Militay Technology's World Defence Almanac yang merinci berbagai jenis senjata api yang dimiliki oleh berbagai angkatan bersenjata di berbagai negara. Informasi tentang produk senjata api yang diperjualbelikan di kalangan sipil juga tersedia dari perusahaan produsen dan pemasarnya serta sejumlah publikasi komersial seperti: 
  1. Guns & Ammo;
  2. American Rifleman; dan 
  3. Small Arms Review. 
Kemajuan teknologi sebagai instumen senjata api sudah banyak berkembang, Undang-Undang Darurat sudah ketinggalan jaman dan sudah saatnya diperbaharui untuk menyesuaikan perkembangan jaman di bidang persenjataan. Undang-Undang Darurat hanya kurang lebih mengatur pengguna senjata api yang ilegal atau tidak sebagaimana mestinya. 

Orang yang membawa senjata api tanpa izin atau illegal saat ini sulit dideteksi jika tidak tertangkap basah seperti perkembangan saat ini sudah ada airsoftgun, blank gun yang membahayakan masyarakat. Penggunaan senjata yang diatas kaliber 5,5 mm sudah membahayakan dan sampai sekarang belum ada aturan yang tegas. Oleh sebab itu pemerintah sudah saatnya memperbaharui Undang-Undang Darurat sesuai dengan perkembangan jaman.

Sistem pengaturannya sangat bergantung pada bagaimana negara memandang ancaman keamanan itu sendiri. Keterlibatan institusi dalam pengelolaan dan pembuatan regulasi terkait senjata api mempengaruhi sejauhmana tingkat koordinasi dan penganggaran. Selama ini Indonesia menganut pembatasan pada pengelolaan oleh dua institusi, militer dan polisi dengan preferensi legal dan perundang-undangan peninggalan kolonial yang batasannya hanya pada pemanfaatan senjata api .

Pengaturan mengenai senjata api tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini dapat diamati dari peraturan yang ada selama ini.Paling tidak terdapat 4 (empat) peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang mengatur mengenai senjata api, yaitu: 
  1. UU Senjata Api Tahun 1936;
  2. UU No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api;
  3. UU Darurat Tahun 1951 Mengenai Peraturan Hukuman Istimewa Sementara; dan
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perijinan yang diberikan Menurut UU Senjata Api.
Selain keempat undang-undang tersebut, terdapat beberapa undangundang yang harus diperhatikan dalam rangka pengaturan mengenai senjata api: 
  1. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI;
  2. UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;
  3. UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia;
  4. UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Peraturan Kapolri yang ada saat ini karena masih merujuk pada Undang-Undang Darurat tentang penggunaa senjata api sudah sangat ketinggalan jaman, maka berbarengan dengan pembaharuan Undang-Undang Senjata Api, Perkap juga perlu disesuaikan. Untuk kepentingan darurat sebelum adanya pembaharuan, maka Perkap saat ini masih relevan untuk diberlakukan.

Dilihat dari pengaturan di dalam Undang-Undang Darurat atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948, belum jelas pengaturannya atau dapat dikatakan terdapat kekaburan norrna. Ketidakjelasan tersebut terletak pada tidak adanya syarat-syarat yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan dalam pasal tersebut. Tentunya hal tersebut merupakan kerugian bagi si pemilik izin karena disatu sisi negara memperbolehkan masyarakat yang bukan TNI atau Polisi untuk mendaftarkan dan memiliki izin senjata api, namun disisi lain negara seolah-olah mempunyai hak prerogatif dalam hal pencabutan izin dan perampasan senjata api dalam hal penyelahgunaan tanpa memberikan syarat-syarat yang dikategorikan sebagai penyalahgunaan senjata api. 

Selain ketidakpastian hukum seperti yang disebutkan di atas, berbagai kasus penyalahgunaan penggunaan senjata api yang terjadi selama ini seolah-olah menjadi penegas bahwa ketidakpastian hukum dalam pengaturan penyalahgunaan senjata api tersebut mengakibatkan terganggunya rasa aman publik sehingga perlu adanya klasifikasi ke dalam tiga kategori, yaitu: 
  1. Senjata api untuk kebutuhan pertahanan negara yang dikendalikan oleh Pemerintah atau TNI;
  2. Senjata api untuk aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya yang dikendalikan oleh pemerintah atau Polisi, dan
  3. Senjata api untuk kebutuhan khusus warga negara dan korporasi yang dikendalikan oleh pemerintah atau Polisi.
Oleh sebab itu pembaharuan hukum pidana harus segera dilakukan yang nantinya akan menimbulkan implikasi (akibat langsung dari hasil penemuan) yang positif terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Pembaharuan yang dimaksud adalah perlunya pengaturan mengenai penyalahgunaan senjata api ini diatur dalam satu kodifikasi hukum berbentuk Undang-Undang. 

Dalam perumusan norma pengaturan tindak pidana penyalahgunaan senjata api di masa mendatang, perlu adanya pengaturan klasifikasi pengguna dan teknis penggunaan senjata api. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan membedakan senjata api dari sisi pengguna dengan klasifikasi teknis tertentu.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang darurat No. 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api, amunisi, bahan peledak, dan senjata lain, maka aturan pemidanaan (pidana mati, pidana penjara, denda serta kurungan) berlaku sama dengan aturan pemidanaan dalam KUHP, kecuali apabila ditentukan tersendiri dalam Undang-Undang Darurat, maka aturan pemidanaan diberlakukan khusus (lex specialis derogat legi generalis). 

Guna membuat konsep KUHP yang akan datang mengenai Kepemilikan senjata api, maka didalamnya harus ada kualifikasi yuridis antara kejahatan dan pelanggaran yang jelas sehingga tidak menimbulkan permasalahan yuridis dalam penerapannya dan harus adanya permufakatan jahat (samenspanning, conspiracy) dan pengulangan (recidive) serta unsur-unsur yang termasuk kedalam pertanggungjawaban korporasi dikarenakan apabila tidak adanya kejelasan akan menimbulkan permasalahan yang konflik mengingat Undang-Undang Darurat yang berlaku sekarang sudah tidak layak lagi dalam penerapannya dikarenakan didalamnya hanya menerangkan secara universal saja. 

Pembaharuan hukum pidana dapat dimaknai sebagai perubahan terhadap hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana dilakukan secara sistemik, yaitu dengan pendekatan yang integral dan menyeluruh. Namun perlu menjadi catatan bahwa pendekatan sistemik tidak mengharuskan perubahan hukum pidana secara total, namun tetap mempertahankan yang masih dianggap baik, mengganti yang dianggap tidak sesuai dan menambah yang dianggap kurang.

Pembaharuan hukum pidana hendaknya tidak hanya dilakukan oleh orang yang duduk di pemerintahan, namun dibutuhkan juga peran dari akademisi. Para pakar hukum pidana harus merasa dirinya sebagai bagian dari sistem hukum pidana, tidak terbatas sebagai pengamat, namun sebagai kontributor dalam pembuatan dan penerapan hukum pidana. Objek pembaharuan hukum pidana meliputi hukum pidana dalam arti makro dan mikro. 

Pembaharuan hukum pidana secara makro meliputi pembaharuan pada struktur atau lembaga-lembaga sistem peradilan pidana, substansinya yang menyangkut harmonisasi atau sinkronisasi hukum pidana, serta pembaharuan aspek budaya masyarakat dan nilai-nilai filosofis kehidupan. Sedangkan secara mikro, pembaharuan hukum pidana menyangkut tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pidana

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pembaharuan hukum pidana tidak sekedar melakukan pembaharuan pada hukum pidana materil, namun juga secara makro dilakukan terhadap ruang lingkup yang lebih luas termasuk hukum pidana formil dan eksekutoriel, bahkan lebih dari itu hingga menyentuh kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Bukan merupakan pembaharuan hukum pidana apabila orientasi nilai yang dicita-citakan sama saja dengan hukum pidana yang telah ada sebelumnya. 

Dari penjelasan di atas, pembaharuan hukum pidana bukan hanya melakukan pembaharuan kebijakan dalam rangka mencapai kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum. Namun lebih dari itu, pembaharuan hukum pidana harus berorientasi pada nilai-nilai yang dicita-citakan. Dengan berorientasi pada nilai, maka pembaharuan hukum pidana bersifat jangka panjang, tidak pragmatis. Pembaharuan hukum pidana yang tanpa berorientasi pada nilai tidak akan menghasilkan produk yang bersifat jangka panjang. Problem inilah yang biasanya terjadi di Indonesia sehingga sering terjadi penggantian atau perubahan undang-undang. 

Demikian penjelasan singkat mengenai Urgensi Pembaharuan Peraturan tentang Senjata Api yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: