BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Dasar Penghapusan Pidana

Dasar Penghapusan Pidana
Sebelum kita membahas dasar penghapusan pidana atau istilah yang dikenal dalam kamus hukum yaitu Stref Uits Luitings Gronden, pada umumnya masyarakat akan bertanya apakah setiap orang yang melakukan kejahatan atau tindak pidana harus dan/ atau pasti dihukum ? Jawabannya yaitu TIDAK.

Adapun alasan orang tidak pasti dihukum jika melakukan kejahatan dikarenakan terdapat suatu asas yang tidak tertulis di dalam norma hukum pidana, akan tetapi berpengaruh terhadap penyelesaian pidana, yaitu asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan atau istilah yang dikenal dalam kamus hukum sebagai Geen Straf Zonder Schuld. (untuk penjelasan selengkapnya silahkan baca: disini).

Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh peraturan perundang-undangan pidana yang kemudian orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dihukum dikarenakan 2 (dua) hal, yaitu:
  1. Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
  2. Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.


Memorie van Toelichting (MvT) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dalam penjelasannya mengemukakan 2 (dua) alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang, yaitu sebagai berikut:
  1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig), yakni terdiri dari:
    • Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (vide: Pasal 44 KUHP)
    • Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan alasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
  2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitwendig), yaitu terdiri:
    • Daya paksa atau overmacht (vide: Pasal 48 KUHP);
    • Pembelaan terpaksa atau noodweer (vide: Pasal 49 KUHP);
    • Melaksanakan undang-undang (vide: Pasal 50 KUHP); dan
    • Melaksanakan perintah jabatan (vide: Pasal 51 KUHP).
Selain dari pada yang disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT), di dalam ilmu pengetahuan Hukum Pidana juga membuat perbedaan tersendiri mengenai dasar-dasar atau alasan-alasan penghapus pidana atau istilah yang dikenal dalam kamus hukum yaitu Stref Uits Luitings Gronden. Hal mana dasar penghapus pidana merupakan hal-hal atau keadaan-keadaan yang menyebabkan yang telah jelasjelas melakukan tindak pidana tetapi tidak dihukum sebagaimana menurut beberapa teori hukum pidana di bawah ini:
  1. Dasar penghapus pidana yang umum
    Dasar yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik yaitu semua tindak pidana yang dilakukan karena alasan sebagaimana yang disebutkan di bawah ini, yakni tidak dapat dihukum karena:
    1. Paksaan (vide: Pasal 48 KUHP); 
    2. Membela diri (vide: Pasal 49 KUHP);
    3. Perintah undang - undang  (vide: Pasal 50 KUHP); dan
    4. Perintah Jabatan (vide: Pasal 51 KUHP).
  2. Dasar penghapus pidana yang khusus
    Dasar ini hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja seperti ketentuan yang diatur dalam:
    • Pasal 44 KUHP 
      Dalam ketenttuan pasal ini menentukan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal atau jiwanya atau terganggu karena sakit sebagaimana dalam MvT menyebutkan sebagai tak dapat dipertanggungjawabkan karena sebab yang terletak di dalam si pembuat sendiri.
    • Pasal 166 KUHP 
      Dalam ketenttuan pasal ini menentukan bahwa ketentuan dalam Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang yang dengan memberitahukan itu mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi diri sendiri, bagi seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, bagi suami atau bekas suaminya, atau bagi orang lain yang jika dituntut berhubung dengan jabatan atau pencariannya dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut.
    • Pasal 221 ayat (2) KUHP
      Dalam ketenttuan pasal ini menentukan bahwa apabila menyembunyikan seseorang yang sedang mengalami pencarian pihak yang berwajib, maka akan dikenakan hukuman kecuali orang yang dicari tersebut memiliki hubungan darah atau hubungan keluarga.
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dari itu dibedakan 2 (dua) jenis alasan penghapus pidana, yakni sebagai berikut:
  1. Dasar atau alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund)  sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
    • Pasal 48 KUHP;
    • Pasal 49 ayat (1) KUHP;
    • Pasal 50 KUHP; dan 
    • Pasal 51 ayat (1) KUHP.
  2. Dasar atau alasan pemaaf (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund) sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
    • Pasal 44 Kitab KUHP; 
    • Pasal 48 KUHP, hal mana terdapat kemungkinan dapat dijadikan alasan pembenar dan / atau dapat pula merupakan alasan pemaaf.
    • Pasal 49 ayat (2) KUHP; dan
    • Pasal 51 ayat (2) KUHP.


Dasar atau Alasan Pembenar
Maksud dasar atau alasan pembenar dalam tindak pidana yang tidak dapat dihukum yaitu merupakan alasan atau dasar atau landasan yang menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan pelaku tindak pidana sehingga perbuatan yang dilakukan oleh pelaku menjadi perbuatan yang patut dan benar yang tidak mungkin dikenakan pemidanaan. Adapun contoh keadaan yang menjadi dasar atau alasan pembenar yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu sebagai berikut:
  1. Pasal 48 KUHP mengenai keadaan terpaksa (overmacht);
  2. Pasal 49 ayat (1) KUHP mengenai pembelaan terpaksa (noodweer);
  3. Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang;
  4. Pasal 51 ayat (1) KUHP tentang melaksanakan perintah jabatan atau perintah dari pihak atasan. 
Keadaan Terpaksa
Keadaan Terpaksa atau istilah yang dikenal dalam bahasa hukum sebagai overmacht sebagaimana yang dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hal mana paksaan dalam ketentuan pasal tersebut bersifat psikis, bukan fisik sebagaimana dilukiskan dalam M.v.T sebagai:
"setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan." 
Adapun dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) hal, yaitu sebagai berikut:
  1. Paksaan yang absolut (vis absoluta) yang disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam.
    Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan seperti contohnya ketika tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca yang kemudian mengakibatkan kaca tersebut menjadi pecah. Maka orang yang dipegang tadi tidak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 406 KUHP.
  2. Paksaan yang relatif (vis compulsive) yang terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
    • Daya paksa dalam arti sempit (overmacht in enge zin); dan
    • Keadaan darurat (noodtoestand), yang terdiri dari: 
      • Orang terjepit antara 2 (dua) kepentingan;
      • Orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban; dan
      • Ada konflik antara 2 (dua) kewajiban.
Mengenai overmacht (daya paksa) sebagaimana ketentuan Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah daya paksa relatif (vis compulsive) seperti contohnya ketika si A menodong si B dengan menggunakan pistol kemudian menyuruh si B untuk mengambil barang milik si C atau untuk memukul si C. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 48 KUHP, si B tidak dikenakan hukuman pidana. Akan tetapi, tidaklah dikatakan bahwa perbuatan tersebut halal, perbuatan itu tetap melanggar hukum hanya saja pelaku dapat dimaafkan (fait d’execuse).

Pembelaan Diri (Noodweer)
Adapun terpaksa dalam melakukan pembelaan ada 3 (tiga) pengertian, yaitu sebagai berikut:
  1. Harus ada serangan atau ancaman serangan, akan tetapi tidak semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut di bawah ini:
    • Melawan hukum;
    • Seketika dan langsung;
    • Ditujukan pada diri sendiri atau orang lain; dan
    • Terhadap badan atau tubuh, nyawa, kehormatan seksual dan harta benda.
  2. Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu dan harus masuk akal; dan
  3. Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan (proporsionalitas) dan tidak ada cara lain selain membela diri (subsidiaritas)
Sedangkan kepentingan-kepentingan yang dapat dilakukan pembelaan adalah:
  1. Tubuh atau badan orang.
  2. Kehormatan dan kesusilaan
  3. Harta benda orang.
Pembelaan diri atau istilah yang dikenal dalam bahasa hukum sebagai noodweer dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa tidaklah seorang yang melakukan suatu perbuatan yang diharuskan (geboden) untuk keperluan mutlak membela badan (lijf), kesusilaan (eerbaarheid) atau barang - barang (goed) dari dirinya sendiri atau orang lain terhadap suatu serangan (aanranding) yang bersifat melanggar hukum (wederrechtlijk) dan yang dihadapi seketika itu (ogenblikklijk) atau dikhawatirkan akan segera menimpa (onmiddelijk dreigend).

Contoh: A menyerang B dengan menggunakan tongkat untuk memukul B, kemudian B mengambil suatu tongkat pula, sehingga A kewalahan dengan pukulan si B. B mengambil tongkat karena B tidak sempat lari atau dalam keadaan yang sangat mendesak. Dengan alasan membela diri inilah seseorang tidak mendapat hukuman.

Melaksanakan Perintah Undang-Undang 
Melaksanakan perintah undang-undang sebagaimana yang dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan. Awal mulanya Hoge Raad menafsirkan secara sempit, hal mana yang dimaksud dengan undang-undang adalah undang-undang dalam arti formil yang merupakan hasil perundang-undangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan/ atau Raja. Akan tetapi kemudian pendapat Hoge Raad berubah dan diartikan dalam arti materiil yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. 

Dalam hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan. Dengan perkataan lain kewajiban atau tugas itu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. 

Dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat dijumpai adanya kewajiban dan tugas  atau wewenang yang diberikan pada pejabat atau orang untuk bertindak seperti untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Adapun agar dapat menggunakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ini maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.

Misalnya Pejabat polisi yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti setelah diberikan tanda berhenti melalui peluitnya. Dari kronolgis tersebut pejabat polisi tidak dapat berlindung di bawah ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) karena tindakannya tidak dapat dibenarkan menembak mati pengendara karena hanya kejengkelan pejabat tersebut.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar sehingga perbuatan orang yang menjalankan peraturan perundang-undangan tersebut tidak bersifat melawan hukum seperti yang diperbolehkan adalah tindakan eksekutor dalam melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati. Kadang-kadang dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan dapat bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini dipakai pedoman lex specialis derogate legi generaki atau lex posterior derogate legi priori. 

Melaksanakan Perintah Jabatan
Melaksanakan perintah jabatan merupakan alasan pembenar sebagaimana yang dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan bahwa tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Maka jika seorang melakukan perintah yang sah ini maka yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.

Contoh: seorang Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana, hal mana Kolonel polisi tersebut memiliki kewenangan untuk memerintahkannya sehingga dalam hal ini Letnan Polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah sebagaimana tugas, wewenang dan kewajibannya yang didasarkan kepada suatu peraturan. Antara orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan subordinasi yaitu hubungan atasan dan bawahan meskipun sifatnya sementara,



Dasar atau alasan Pemaaf
Dasar atau alasan pemaaf merupakan dasar atau alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa dengan kata lain terdakwa dimaafkan. Hal mana perbuatan yang dilakukan pelaku tindak pidana tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, akan tetapi pelaku tindak pidana tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Adapun contoh keadaan yang menjadi dasar atau alasan pembenar yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu orang yang terganggu jiwanya (kurang waras) sebagaimana yang termuat dalam ketentuan pada Pasal 44 KUHP.

Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat sehingga tidak mungkin pemidanaan.

Selain dari pada itu yang juga dipandang sebagai alasan pemaaf yakni ketentuan yang termuat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan yang melampaui batas dan yang dipandang sebagai alasan penghapus yakni sebagaimana yang termuat dalam ketentuan pada Pasal 51 ayat (2) KUHP mengenai penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wewenang. 

Adapun perbedaan hukum pidana dengan hukum yang lain adalah adanya sanksi yang tegas dan memiliki kelengkapan untuk memaksa aturan dan mengeksekusi putusan yang telah ditetapkan. Adapun kelengkapan sebagaimana yang dimaksud, yakni seperti di bawah ini:
  1. Jaksa (Prosecutor);
  2. Polisi (Police);
  3. Pengadilan (Court);
  4. Lembaga Permasyarakatan (penitentiary);
  5. Pamong Praja (Civil Service).
Sekian penjelasan singkat mengenai dasar penghapusan pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga yang disampaikan bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan mengenai artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan ini. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: