BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Pembagian Hukum Pidana

Pembagian Hukum Pidana
Adapun pembagian Hukum Pidana sebagai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
  1. Hukum Pidana dalam arti Objektif dan Subjektif;
  2. Hukum Pidana Materil dan Formil;
  3. Hukum Pidana Umum dan Khusus;
  4. Hukum Pidana Tertulis dan Tidak Tertulis; dan
  5. Hukum Pidana yang Dikodifikasi dan Tidak Dikodifikasi.


Hukum pidana dalam arti objektif dan subjektif 
Hukum Pidana Objektif
Hukum pidana objektif atau yang dikenal dengan istilah ius poenale merupakan hukum pidana yang dilihat dari sisi atau aspek larangan-larangan untuk melakukan suatu perbuatan, hal mana larangan tersebut disertai dengan ancaman sanksi berupa pemidanaan bagi orang yang melanggar larangan tersebut. Sehingga dengan kata lain, hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materiil sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa yang merumuskan ius poenale sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan, perintah dan keharusan. Hal mana terhadap pelanggarannya tersebut diancam dengan sanksi berupa pidana bagi orang yang melanggar peraturan hukum tersebut. 

Hukum Pidana Subjektif
Adapun hukum pidana subjektif  atau yang dikenal dengan istilah dalam bahasa belanda dengan sebutan ius poeniendi merupakan peraturan yang berisi atau mengenai tentang hak atau kewenangan negara untuk :
  1. Menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum;
  2. Memberlakukan hukum pidana yang sifat dan wujudnya memaksa dengan memberikan sanksi pidana kepada si pelanggar larangan tersebut; dan
  3. Menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tersebut.
Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang 3 (tiga) kekuasaan atau hak fundamental yang terdiri:
  1. Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana saja yang dilarang, bentuk serta berat ringannya ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar larangan tersebut;
  2. Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada orang yang melanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk; dan
  3. Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pelaku tindak pidana.
Walaupun negara mempunyai kewenangan atau kekuasaan sebagaimana disebutkan diatas, akan tetapi memiliki batasan-batasan tertentu. Hal ini dikarenakan jika tidak adanya batasan tersebut maka negara akan melakukan tindakan yang sewenang-wenang sehingga dapat menimbulkan rasa ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga negara. 

Mengenai pembatasan tersebut dilakukan melalui koridor-koridor hukum yang ditetapkan dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil sebagaimana untuk hukum pidana materil termuat dalam ketentuan yang diatur pada Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang larangan perbuatan mengambil benda milik orang lain dengan maksud memiliki benda tersebut secara melawan hukum (mencuri) yang diancam dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda dengan nilai denda maksimum sebesar Rp. 900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah) terhadap si pelanggar larangan ini. Adapun hak-hak negara yang diberikan batasan yakni negara tidak diperbolehkan menjatuhkan sanksi pidana:
  1. Selain pidana penjara dan denda; dan
  2. Jika penjara tidak boleh melebihi 5 (lima) tahun dan jika denda tidak diperkenankan di atas Rp.900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah).
Dal hal ini negara juga diberi batasan oleh hukum formil berupa pembatasan terhadap tindakan-tindakan nyata negara sebelum atau pada saat setelah menjatuhkan pidana serta dalam menjalankan pidana itu diatur dan ditentukan secara rinci dan cermat. Adapun tindakan-tindakan terhadap pelaku tindak pidana harus berdasarkan ketentuan atau peraturan yang sudah ditetapkan dalam hukum pidana formil yang pada garis besarnya berupa tindakan:
  1. Penyelidikan; 
  2. Penyidikan;
  3. Penuntutan; 
  4. Persidangan dengan Pembuktian; 
  5. Pemutusan (vonis); dan
  6. Eksekusi. 
Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Adapun beberapa pendapat dari para ahli yang memberikan penjelasan mengenai hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagaimana yang dikemukakan oleh van Hammel yang memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum pidana formil. 

Adapun van Hammel menyatakan pendapatnya bahwa hukum pidana materil itu merupakan hukum pidana yang menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman sedangkan hukum pidana formil merupakan hukum pidana yang menunjukkan bentuk dan jangka waktu yang mengikat berkenaan dengan pemberlakuan hukum pidana materil.

Menurut van Hattum yang memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum pidana formil, yakni sebagai berikut:
  1. Hukum pidana materil terkadang disebut juga sebagai hukum pidana abstrak yang merupakan segala ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang menunjukkan tentang:
    • Tindakan apa saja yang merupakan tindakan-tindakan yang dapat diberi hukuman;
    • Siapa orang yang dapat diminta pertanggungjawabannya terhadap tindakan-tindakan tersebut; dan 
    • Bagaimana penjatuhan hukuman terhadap orang yang melakukan tindakan -tindakan tersebut.
  2. Sedangkan hukum pidana formil, yakni memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata. Adapun biasanya orang menyebut hukum pidana formil itu sebagai hukum acara pidana.


Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum Pidana Umum
Hukum pidana umum merupakan hukum pidana yang pemberlakuannya ditujukan kepada semua warga negara selaku subjek hukum tanpa membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu sehingga setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan yang diatur dalam hukum pidana umum.

Hukum Pidana Khusus
Adapun hukum pidana khusus merupakan hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang pemberlakuannya hanya dikhususkan pada subjek hukum tertentu saja sebagaimana contoh di bawah ini:
  1. Ketentuan hukum pidana yang diatur dan dimuat pada BAB XXVIII Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kejahatan Jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi orang-orang atau warga penduduk negara yang memiliki jabatan sebagai pegawai negeri; atau 
  2. Ketentuan hukum pidana yang diatur dan dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai subjek hukum.
Adapun jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka hukum pidana dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal sebagaimana penjelasan di bawah ini:

Hukum Pidana Umum
Hukum pidana umum merupakan hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang pemberlakuannya pada subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. 

Salah satu contohnya dapat diketahui pada ketentuan hukum pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku untuk seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana asas yang dianut yaitu asas territorial sebagaimana dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Hukum Pidana Lokal
Hukum pidana lokal merupakan hukum pidana yang dibuat dan disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda) baik pemerintahan di tingkat propinsi maupun pemerintahan kabupaten atau kota yang pemberlakukannya bagi subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan yang menurut hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintah daerah, baik pemerintahan di tingkat propinsi maupun pemerintahan kabupaten atau kota itu dilarang. Adapun hukum pidana lokal tersebut dapat dilihat di dalam Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat.

Adapun P.A.F. Lamintang menyatakan pendapatnya bahwa penjatuhan-penjatuhan hukum seperti telah diancamkan terhadap setiap pelanggar dan peraturan-peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan. Dengan kata lain untuk pembuktian seseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap Peraturan Daerah (Perda) atau tidak, maka yang memiliki kewenangan untuk memutuskannya adalah Pengadilan. Begitu pun juga terkait jenis hukuman yang akan dijatuhkan kepada si pelanggar dan juga yang berkaitan dengan akibat hukum lainnya seperti:
  1. Perampasan barang-barang bukti untuk keuntungan negara;
  2. Pengembalian barang-barang bukti kepada terhukum dan hal-hal lainnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hanya Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk memutuskan bersalah atau tidaknya seseorang yang melakukan pelanggaran dan tidak ada seorangpun termasuk Pemerintah Daerah (Pemda) beserta alat-alat kekuasaannya boleh menahan dan memeriksa orang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran terhadap barang-barangnya tanpa terlebih dahulu mengajukan permohonan ke pengadilan untuk diadili. 

Hal ini dikarenakan Pemerintah Daerah (Pemda) berikut alat-alat kekuasaannya dalam melakukan penahanan, pemeriksaan, dan penyitaan terikat pada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dan dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang dikenal saat ini dengan sebutan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disingkat KUHAP

Hal mana mereka tidak berwenang atas setiap tindakan yang diambil oleh alat-alat negara dengan maksud menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan-peraturan daerah atau terhadap ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang tanpa melalui atau dibantu oleh pengadilan.

Pada hakikatnya tindakan sebagaimana disebutkan di atas merupakan suatu perbuatan main hakim sendiri atau yang dikenal dengan istilah dalam bahasa belanda dengan sebutan eigenrichting yang dilarang oleh hukum yang berakibat dapat menimbulkan perbuatan melanggar hukum atau yang dikenal dengan istilah dalam bahasa belanda dengan sebutan onrechtmatige daad dan jika dilakukan oleh penguasa maka disebut dengan istilah onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum oleh penguasa) sebagaimana diungkapkan oleh Hazewinkel Suringa yang menyatakan bahwa di dalam hukum pidana baik negara maupun badan yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainnya tidak memiliki kewenangan untuk main hakim sendiri.



Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum Pidana Tertulis
Hukum pidana tertulis merupakan hukum pidana atau undang undang yang bersumber dari:
  1. Hukum pidana yang terkodifikasi, yaitu:
    • Kitab Undang-undang Hukum Pidana disingkat KUHP; dan 
    • Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disingkat KUHAP.
  2. Hukum pidana yang di luar kodifikasi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.
Hanya hukum tertulis yang berlaku dalam hukum pidana yang dijalankan oleh negara. Hal ini disebabkan karena pemberlakuan hukum pidana yang tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada dasarnya menyatakan bahwa tidak dapat dipidana suatu perbuatan kecuali sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada ketentuan perundang-undangan pidana yang mengatur.

Hukum Pidana Tidak Tertulis
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan, namun demikian ada 1 (satu) daar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana tidak tertulis seperti hukum pidana adat yang memiliki arti yang sangat terbatas berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 5 ayat (3b) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 1 tahun 1951 tentang tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.

Hukum Pidana yang Dikodifikasi dan Tidak Dikodifikasi
Hukum Pidana yang dikodifikasi
Hukum pidana yang dikodifikasi (codificatie) merupakan hukum pidana yang telah disusun secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang seperti:
  1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana disingkat KUHP;
  2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disingkat KUHAP; dan
  3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer disingkat KUHPM. 
Hukum Pidana yang tidak Terkodifikasi
Sedangkan hukum pidana yang tidak terkodifikasi sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh van Hattum yang menyatakan bahwa hukum pidana yang tidak terkodifikasi merupakan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan pidana yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan-peraturan yang bersifat khusus.

Demikian penjelasan singkat mengenai pembagian hukum pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian dalam memahami hukum pidana. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membantu kami dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: