BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Prosedur Penyelesaian Sengketa Medis oleh MKDKI

Prosedur Penyelesaian Sengketa Medis Oleh MKDKI
Mahkamah Agung melalui Surat Edarannya (SEMA) tahun 1982 telah memberikan arahan kepada para Hakim bahwa penanganan terhadap kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan atau pelayanan medis agar jangan langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan dulu pendapat dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).

Saat ini Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) fungsinya digantikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) suatu lembaga independen yang berada dibawah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Ketentuan pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatakan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. 

Dalam penjelasannya tidak disebutkan dengan jelas ke badan apa mediasi itu akan diselesaikan, namun Undang-Undang Praktik Kedokteran mengamanatkan terbentuknya lembaga penyelesaian disiplin dokter yang kemudian dikenal dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). 



Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) bukan lembaga mediasi (dalam konteks mediasi penyelesaian sengketa), namun Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga Negara yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan menetapkan sanksi bagi dokter atau dokter gigi yang dinyatakan bersalah.

Tata cara penanganan kasus oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) telah diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi. Penanganan kasus dugaan pelanggaran tersebut dilakukan setelah adanya pengaduan sebagaimana syarat pengaduan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 3 Perkonsil Nomor 2 Tahun 2011. 

Setelah pengaduan terdaftar di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), maka pihak pengadu dapat memberikan data pendukung pengaduan yang berupa alat bukti yang dimiliki dan pernyataan tentang kebenaran pengaduan. Setelah itu akan dilakukan klarifikasi oleh petugas khusus dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). 

Selanjutnya masuk pada penanganan kasus yang berupa Pemeriksaan Awal sebagaimana tahap pemeriksaan awal dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Konsil Nomor 2 Tahun 2011. Pada tahap pemeriksaan ini pihak Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) memeriksa apakah pengaduan tersebut diterima, tidak diterima atau ditolak. 

Jika pengaduan diterima maka Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) yang anggotanya ini berasal dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). 

Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) dapat memutuskan pengaduan tersebut tidak dapat diterima, ditolak atau penghentian pemeriksaan. Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) selanjutnya melakukan investigasi, hal mana investigasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan alat bukti yang berkaitan dengan peristiwa yang diadukan dan setelah dilakukan investigasi, barulah dilakukan sidang pemeriksaan disiplin. 

Jika sidang pemeriksaan disiplin dokter atau dokter gigi selesai, maka Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) akan menetapkan keputusan terhadap teradu, hal mana keputusan tersebut dapat berupa:
  1. Dinyatakan tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi;
  2. Pemberian sanksi disiplin, berupa:
    • Peringatan tertulis;
    • Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan yang dapat dilakukan dalam bentuk:
      • Re-edukasi formal di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang terakreditasi;
      • Re-edukasi non formal yang dilakukan dibawah supervise dokter atau dokter gigi tertentu di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang terakreditasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan jejaringnya atau fasilitas pelayanan kesehatan lain yang ditunjuk sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun
      • Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Register (STR) atau Surat Izin Praktek (SIP) yang bersifat:
        1. Sementara paling lama 1 (satu) tahun;
        2. Tetap atau selamanya; dan/ atau
        3. Pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada suatu area ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran 


Apabila terbukti melakukan pelanggaran disiplin, maka setelah keputusan dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya. 

Dalam hal menjamin netralitas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), ketentuan pada Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 PraktikKedokteran disebutkan bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terdiri atas berbagai unsur untuk menghindari kekhawatiran dari pengadu bahwa pihak dokter akan membela rekan sejawatnya. Adapun unsur anggota dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), yakni terdiri dari:
  1. 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi masing-masing;
  2. Seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi Rumah Sakit; dan 
  3. 3 (tiga) orang sarjana hukum.
Dokter yang telah melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional berhak mendapatkan perlindungan hukum. Dalam melaksanakan praktek kedokteran, dokter harus memenuhi Informed Consent dan Rekam Medik sebagai alat bukti yang bisa membebaskan dokter dari segala tuntutan hukum apabila terjadi dugaan malpraktek. 

Dalam transaksi terapeutik, dokter hendaknya menjalin komunikasi yang baik dengan pasien dan melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional. 

Bagi masyarakat dan aparat penegak hukum hendaknya lebih memahami perbedaan malpraktek medik dan resiko medik begitupun juga dengan pemerintah hendaknya membuat aturan hukum yang khusus mengatur tentang malpraktek medis dengan jelas sehingga dengan adanya peraturan perundang-undangan yang sistematis dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap dokter maupun pasien.

Dokter dan pasien yang terlibat sengketa medis hendaknya menyelesaikan terlebih dahulu dengan cara mediasi atau kekeluargaan, apabila diperlukan pembuktian adanya malpraktek dapat melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan pelanggaran disiplin dokter. 

Terkait lembaga ini pemerintah hendaknya dapat membantu program sosialisasi pengenalan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) kepada masyarakat agar sengketa medis yang terjadi cukup diselesaikan melalui jalur non litigasi yakni melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Demikian penjelasan singkat mengenai Prosedur Penyelesaian Sengketa Medis oleh MKDKI yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami untuk menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Apeldoorn. L. J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, cet ke-30, Jakarta, 2004. 
  2. Daldiyono, Pasien Pintar & Dokter Bijak, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. 
  3. Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987. 
  4. Isfandyarie, Anny, Malpraktek & Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005. 
  5. Kan J. van dan Beekhuis. J. H, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1977. 
  6. Machmud, Syahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Karya Putra Darwati, Bandung, 2012.
  7. Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineke Cipta, Jakarta, 2005. 
  8. Syah, Mudakir Iskandar, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktek, Permata Aksara, Jakarta, 2011. 
  9. Syahrizal, Darda & Nilasari, Senja, UndangUndang Praktik Kedokteran & Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta, 2013. 
  10. Wahjoepramono, Eka Julianta J, Konsekuensi Hukum Dalam Dalam Profesi Medik, Karya Putra Darwati, Bandung, 2012. 
  11. Wiradharma, Danny, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996. 
  12. Yunanto, Ari, Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan Dan Perspektif Medikolegal, ANDI, Yogyakarta, 2010.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: