BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Asas-Asas dalam Perjanjian Terapeutik

Asas-Asas dalam Perjanjian Terapeutik
Perjanjian terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, sehingga dengan adanya hubungan hukum tersebut maka terdapat 7 (tujuh) asas hukum yang mendasari yang terdiri dari: 
  1. Asas Legalitas;
  2. Asas Keseimbangan;
  3. Asas Tepat Waktu;
  4. Asas Itikad Baik;
  5. Asas Kejujuran;
  6. Asas Kehati-hatian; dan
  7. Asas Keterbukaan.


Asas Legalitas
Di dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menentukan bahwa tenaga kesehatan yang berwenang melakukan pelayanan kesehatan harus sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki serta sudah mendapat izin dari pemerintah. 

Sebagaimana ketentuan yang disebutkan di atas, maka dapat diartikan bahwa pelayanan kesehatan akan terselenggara apabila tenaga kesehatan yang dibutuhkan telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan dan telah memperoleh izin dari pemerintah. 

Asas legalitas merupakan salah satu asas pokok yang melekat pada perjanjian terapeutik ini karena asas ini memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pelaksanaan "otonomi profesional" seorang dokter dalam memberikan pelayanan medik kepada pasien. 

Adapun yang dimaksud dengan otonomi profesional merupakan bentuk kebebasan bertindak seorang dokter yang dilakukan secara profesional dalam bidang kedokteran seperti menentukan keputusan yang akan diambil sesuai dengan rencananya untuk menyembuhkan seorang pasien yang keputusannya tersebut berdasarkan dengan:
  1. Keahlian;
  2. Keterampilan; dan
  3. Ketelitian.
Asas Keseimbangan
Pada asas ini, penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan secara seimbang antara:
  1. Kepentingan individu dan masyarakat;
  2. Fisik dan mental; dan
  3. Spiritual dan material. 
Asas keseimbangan ini berhubungan dengan keadilan karena dalam penyelengaraan pelayanan medis semuanya harus dilakukan secara adil dan merata. Hal ini dikarenakan setiap subyek hukum yang melakukan pelayanan medis memiliki hak dan kewajiban yang masing-masing harus dipenuhi. 

Asas Tepat Waktu
Asas tepat waktu ini berhubungan dengan ketanggapan seorang dokter dalam memberikan pertolongan kepada pasien pada saat dibutuhkan. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang harus segera dilakukan dalam pelayanan medis guna untuk menolong atau membantu pasien.

Selain dari pada itu, jika seorang dokter tidak dengan tepat waktu memberikan pertolongan atau pelayanan medis kepada pasien maka akan menimbulkan risiko kerugian pada pasien. 

Asas Itikad Baik
Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) telah disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dari para pihak yang artinya masing-masing pihak harus berbuat:
  1. Baik;
  2. Jujur;
  3. Tidak dengan tujuan tertentu; dan
  4. Pantas dalam membuat suatu perjanjian. 
Adapun hubungannya dengan pelayanan medis adalah dokter memiliki keahlian dan keterampilan di bidang kedokteran yang tidak dimiliki oleh pasien sehingga pasien memberikan kepercayaannya kepada dokter untuk menyembuhkannya. 

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka itikad baik dari seorang dokter adalah memberikan pertolongan atau pelayanan secara profesional kepada pasien yang membutuhkan sesuai dengan standar profesi dokter.



Asas Kejujuran 
Asas ini juga berhubungan dengan asas itikad baik karena dalam itikad baik juga terdapat sikap jujur dari para pihak. Dalam asas ini disebutkan juga bahwa dokter dituntut untuk:
  1. Melaksanakan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dokter; dan
  2. Penggunaan segala sarana yang tersedia pada lembaga pelayanan medis digunakan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan. 
Selain itu, asas ini merupakan landasan terciptanya penyampaian informasi yang benar, baik dari pihak pasien maupun pihak dokter dalam menjalin komunikasi. Hal ini dikarenakan sikap jujur sangat dibutuhkan ketika seorang pasien melakukan pelayanan medis.

Salah satu contohnya seperti dokter akan menanyakan ke pasien gejala apa yang dirasakan selama sakit, sudah berapa lama sakit dan pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan diagnosa penyakit yang diderita pasien dan bentuk serta jenis pengobatan yang akan dilakukan dokter terhadap pasien. 

Apabila pasien tidak jujur dalam memberikan informasi kepada dokter maka dapat merugikan dirinya sendiri sebagai pasien begitu pula sebaliknya apabila dokter melakukan pengobatan kepada pasien tidak sesuai dengan standar profesi, maka akan merugikan dirinya sendiri sebagai dokter. 

Asas Kehati-hatian
Asas kehati-hatian juga sangat diperlukan dalam melakukan pelayanan medis. Hal ini dikarenakan jika pasien menderita kerugian maka dapat berakibat fatal bagi dokter yang memberikan pelayanan medis. Oleh sebab itu seorang dokter dalam memberikan pelayanan medis tidak hanya dituntut memiliki keahlian dan keterampilan saja, melainkan juga ketelitian dan kecermatan. 

Asas Keterbukaan
Pelayanan medis antara dokter dan pasien dapat berjalan dengan baik apabila terdapat kerja sama dan sikap saling percaya di antara keduanya. Oleh sebab itu, asas keterbukaan diperlukan dalam pelayanan medis karena sikap saling percaya dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien. Dengan adanya keterbukaan ini, pasien akan memperoleh informasi dari dokter dan sebaliknya dokter juga akan memperoleh informasi dari pasien mengenai sakit yang dideritanya.

Persetujuan Medis (Informed consent)
Dalam perjanjian terapeutik juga terdapat persetujuan medis atau informed consent yakni persetujuan pasien untuk dilakukan perawatan atau pengobatan oleh dokter setelah pasien tersebut diberikan penjelasan yang cukup oleh dokter dan dimengerti pasien mengenai berbagai hal seperti:
  1. Diagnosis; dan
  2. Terapi. 
Adapun persetujuan medis (Informed consent) dimuat dan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa: 
"Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan."
Informasi yang dimaksud pada ketentuan pasal di atas dimuat dan diatur dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mencakup: 
  1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
  2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
  3. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
  4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
  5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.


Persetujuan medis (informed consent) ini bisa dilakukan secara lisan dan tertulis seperti yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juncto Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan. 

Walaupun demikian dalam praktiknya sering kali pasien memberikan persetujuan medis (informed consent) hanya secara lisan saja apabila tindakan medis yang diterimanya tidak memiliki resiko yang tinggi. 

Apabila tindakan medis yang diterima pasien mengandung resiko tinggi seperti pembedahan maka pasien wajib membuat persetujuan secara tertulis yang harus ditandatangani oleh pasien atau keluarganya.

Kewajiban tersebut dimuat dan diatur dalam Pasal 45 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juncto Pasal 68 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

Selain dari pada disebutkan di atas, terdapat pula persetujuan pasien yang dilakukan secara diam-diam atau tersirat. Adapun diam-diam atau tersirat adalah adanya gerakan yang diberikan oleh pasien dan diyakini oleh dokter sebagai isyarat.

Sa;ah satu gerakan yang biasa dilakukan yaitu anggukan kepala yang diartikan pasien setuju apabila dilakukan tindakan medis ataupun pasien membiarkan dokter untuk memeriksa bagian tubuhnya yang mengalami sakit. 

Dengan sikap pasien yang diam atau membiarkan atau tidak melakukan gerakan penolakan terhadap tindakan dokter pada saat memeriksa bagian tubuhnya, maka dokter menganggap hal itu sebagai suatu persetujuan dari pasien. 

Informed consent atau persetujuan medis mendapat pengecualian jika dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal jika terjadi keadaan gawat darurat yang tidak memungkinkan untuk meminta persetujuan pasien terlebih dahulu, maka dokter memiliki kewajiban untuk segera memberi pertolongan dan melakukan tindakan medis kepada pasien.

Dengan adanya persetujuan medis (informed consent) ini, maka dokter bisa melakukan tindakan medis dengan aman karena telah diketahui dan disetujui oleh pasien atau keluarganya serta dengan adanya persetujuan medis ini dapat digunakan oleh dokter sebagai pembelaan diri apabila adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya. 

Sedangkan bagi pasien dengan adanya persetujuan medis (informed consent) dapat melindungi hak-haknya sebagai pasien serta dapat dijadikan sebagai alasan gugatan terhadap dokter jika dokter tersebut melakukan penyimpangan dalam pelayanan medis.  

Demikian penjelasan singkat mengenai Asas-Asas dalam Perjanjian Terapeutik yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: