BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Penyelesaian Sengketa Medik

Penyelesaian Sengketa Medik
Jika ditinjau dari para pihak yang bersengketa dalam sengketa medik antara pasien dengan dokter atau pasien dengan Rumah Sakit, maka sengketa medik masuk kedalam ranah hukum Perdata (Wila Chandrawila 2001: 7), namun tidak dipungkiri bahwa sengketa medik pun berada di ranah hukum pidana ataupun hukum administrasi. Penyelesaian sengketa terbagi menjadi dua, yaitu: 
  1. Penyelesaian sengketa melalui Litigasi; dan 
  2. Penyelesaian sengketa melalui Non Litigasi. 
Penyelesaian sengketa melalui litigasi terbagi dibeberapa lingkup peradilan. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi:
  1. Badan Peradilan Umum (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum);
  2. Badan Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama);
  3. Badan Peradilan Militer (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer);
  4. Badan Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Adapun cara penyelesaian sengketa dalam Hukum Acara Perdata terdapat asas-asas di dalamnya (Sudikno, 1993 :10), yaitu : 
  1. Asas Hakim Bersifat Menunggu;
  2. Asas Hakim Pasif;
  3. Asas Sifat Terbukanya Persidangan;
  4. Asas Mendengar Kedua Belah Pihak;
  5. Asas Putusan Harus Disertai Alasan;
  6. Asas Beracara Dikenakan Biaya; dan
  7. Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan 
Hukum Acara Pidana yang disebut juga sebagai Hukum Pidana Formal lebih mengatur bagaimana cara pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material. Adapun asas-asas dalam hukum acara pidana (Andi Hamzah, 1987: 20-33) adalah sebagai berikut:
  1. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan;
  2. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence);
  3. Asas oportunitas;
  4. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;
  5. Asas semua orang diperlakukan sama didepan hakim;
  6. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap;
  7. Asas tersangka atau terdakwa berhak atas bantuan hukum;
  8. Asas akusator, inksitor; dan
  9. Asas pemeriksaan hakim langsung dan lisan.
Sengketa medik yang terjadi antara pasien dengan dokter dan/ atau dokter gigi serta Rumah Sakit dapat diselesaikan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui jalur litigasi dan non litigasi. Adapun proses penyelesaian sengketa menurut Suyud Margono  (2010: 18-25) dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu terdiri dari:
  1. Proses Adjudikatif
    Adapun yang masuk dalam proses ini adalah penyelesaian sengketa melalui Litigasi dan melalui Arbitrase. Kedua cara penyelesaian sengketa tersebut ditempuh dengan proses administrasi dan peradilan.
  2. Proses Konsensual
    Dalam proses ini, penyelesaian sengketa ditempuh dengan melalui Ombudsman, Pencari Fakta Bersifat Netral (Neutral Fact-Finding), Negosiasi, Mediasi dan Konsiliasi. 
  3. Proses Adjudikasi Semu
    Proses ini, penyelesaian sengketa ditempuh dengan melalui Mediasi Arbitrase, Persidangan Mini (Mini Trial), Pemeriksaan Juri Secara Sumir (Summary Jury Trial) dan Evaluasi Netral Secara Dini (Early Netral Evaluation).
Dalam situasi sengketa, perbedaan pendapat dan berdebatan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan (Suyud Margono, 2010: 28). Begitu juga dengan sengketa medik yang terjadi antara pasien dengan dokter dan/ atau dokter gigi serta Rumah Sakit. Keduanya merasa memiliki hak yang sama-sama harus dipenuhi. 

Salah satu penyelesaian sengketa secara non litigasi adalah melalui Mediasi (Eddi Junaedi 2011: 16). Sedangkan litigasi adalah sebuah proses dimana pengadilan menjatuhkan keputusan yang mengikat para pihak yang berselisih dalam suatu proses hukum yang terdapat dalam suatu tingkatan. Proses litigasi dilakukan pada masing-masing tingkatan peradilan, baik peradilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga tingkat kasasi. Proses antara litigasi maupun mediasi sama sekali berbeda, walaupun demikian kedua cara tersebut merupakan bentuk penyelesaian sengketa medik. 

Litigasi banyak digunakan untuk penyelesaian sengketa medik, walaupun demikian saat ini mediasi mulai dikenal efektif dalam menyelesaikan sengketa medik. Perlu diingat bahwa kedua cara tersebut sebenarnya saling bergantung dimana sebelum melakukan proses litigasi harus menempuh dengan cara mediasi terlebih dahulu. Proses litigasi memiliki ciri yang paling menonjol yaitu biaya yang cukup tinggi, waktu yang lama, beban psikologis yang tinggi, ditambah formalitas dan kompleksitas dari proses litigasi (Eddi Juanedi 2011: 17). 

Pengertian yang dipaparkan oleh Eddi Junaedi menyadarkan bahwa kerugian dalam proses litigasi bagi dokter dan/ atau dokter gigi dan juga Rumah Sakit adalah dari sisi dampak reputasi yang menurun bagi Rumah Sakit dan biaya premi asuransi dokter dan/ atau dokter gigi yang meningkat. Hal tersebut menyebabkan secara psikologis pada masyarakat tetap akan menilai citra buruk pada Rumah Sakit atau dokter dan/ atau dokter gigi yang sedang menjalankan proses Litigasi.

Berkaitan dengan masing-masing hak yang harus dipenuhi, maka terdapat salah satu metode penyelesaian sengketa yang memberikan win win solution bagi kedua belah pihak yaitu salah satunya dengan cara mediasi. Medisi dalam penyelesaian sengketa kesehatan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa:
"Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi". 
Mediasi antara pasien dengan dokter dan/ atau dokter gigi serta Rumah Sakit dilakukan oleh mediator. Pasien yang memiliki keluhan atas pelayan kesehatan dapat melaporkan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) apabila berkaitan dengan dokter dan/ atau dokter gigi ataupun oleh lembaga non struktural seperti Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) yang memiliki fungsi dan wewenang untuk mengawasi kinerja Rumah Sakit.  

Perihal pembuktian dalam litigasi dalam hal ini ini lebih mengarah dalam ranah hukum perdata, hal mana prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata sangat sederhana yakni apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatan, maka gugatannya akan ditolak sedangkan apabila penggugat berhasil membuktikan dalil-dalilnya, maka gugatannya akan dikabulkan (Retnowulan, 1995: 58). 

Hakim sendirilah yang akan menentukan pihak mana yang memikul beban pembuktian. Dalam hukum acara perdata, untuk memenangkan seseorang tidak perlu adanya keyakinan hakim yang terpenting adalah alat-alat bukti yang sah dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa saja yang menang dan siapa yang kalah. Dengan kata lain dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja. Alat bukti yang sah dalam hukum Perdata dimuat dan diatur dalam Pasal 164 HIR (Retnowulan 1995: 61), yaitu:
  1. Bukti Surat
    Dalam hukum acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dan paling utama dibanding yang lain yang terdiri dari surat biasa (bukan akta), akta otentik dan akta dibawah tangan.
  2. Bukti Saksi
    Saksi adalah seseorang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian (atau peristiwa hukum) yang diperkarakan. 
  3. Persangkaan
    Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. 
  4. Pengakuan
    Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara.Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Keterangan itu merupakan pengakuan, bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian. 
  5. Sumpah
    Sumpah sebagai alat bukti adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan dengan tujuan agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu takut atas murka Tuhan apabila dia berbohong. Dalam hal ini takut kepada murka atau hukuman Tuhan dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.
Pembuktian dalam persidangan diranah hukum perdata tertulis pada Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHper) yang menentukan bahwa:
"Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut". 
Dengan kata lain dalam sengketa medik harus dibuktikan dahulu adanya kesalahan atau kelalaian dari dokter dan/ atau dokter gigi yang bersangkutan dan kerugian yang diderita pasien. Cara pembuktian ini akan cenderung lebih membebani pasien dianggap berada dalam posisi yang lemah karena sudah mengalami kerugian baik secara fisik, psikis, waktu dan biaya. Adapun pembuktian dalam sengketa medik dapat menggunakan prinsip dalam hukum perlindungan konsumen yaitu adanya prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumtion of liability principle) (Celina Tri, 2009: 54). 

Prinsip ini memiliki arti bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, maksudnya pelaku usaha selalu dianggap bertanggung jawab terhadap konsumen, pengecualiannya pelaku usaha akan tidak dinyatakan bertanggung jawab apabila dapat membuktikan kesalahannya. Hal ini menganut adanya pembebanan pembuktian terbalik (omkering van bewiklat). 

Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 

Kemudian diperjelas dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Terlihat bahwa dalam aturan tersebut mengangkat prinsip pembuktian terbalik dan cenderung lebih meringankan beban pasien dalam sengketa medik.

Selain dengan adanya prinsip pembuktian terbalik di persidangan dalam sengketa medik, adapun pasien juga mempunyai hak atas isi rekam medik (vide: Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 52 yang menentukan bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: 
  1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
  2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; 
  3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 
  4. Menolak tindakan medis; dan 
  5. Mendapatkan isi rekam medis.
Hak pasien atas isi rekam medis juga tidak boleh diabaikan apabila dibutuhkan untuk pembuktian dipersidangan. Sehingga berdasarkan peraturan hukum yang ada, pihak penyelenggara pelayanan kesehatan baik dokter dan/ atau dokter gigi dan rumah sakit tidak dibenarkan apabila ada pasien ataupun keluarga pasien yang meminta isi rekam medis tersebut tidak diberikan oleh rumah sakit ataupun dokter dan/ atau dokter gigi yang bersangkutan.

Tata cara penyelesaian dalam proses penyelesaian sengketa secara non litigasi (alternative despute resolution) ialah berawal dari kesepakatan para pihak untuk ditempuh melalui penyelesaian sengketa alternatif dengan dibantu dengan bantuan lembaga ADR (penasihat ahli, mediator, negosiator ataupun konsiliator) melalukan proses penyelesaian sengketa alternatif yang telah dipilih, kemudian menghasilkan keputusan yang mengikat para pihak. 

Perbedaan dari hasil akhir antara penyelesaian sengketa melalui litigasi dan non litigasi ialah dalam litigasi (khusus dalam hukum acara perdata) sifat putusan hakim bersifat akhir, memberikan sanksi bagi yang terbukti melakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, sedangkan dalam non litigasi keputusan terkhir adalah kesepakatan masing-masing pihak yang bersengketa. 

Penyelesaian sengketa yang dituliskan di atas memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sengketa medik yang dialami pasien dengan dokter dan/ atau dokter gigi serta Rumah Sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan salah satu cara penyelesaian sengketa tersebut, apakah melalui jalur litigasi atau arbitrase yang memberikan win and lose solution ataukah melalui jalur penyelesaian sengketa alternatif seperti mediasi, negosiasi dan konsiliasi yang juga memberikan win win solution. 

Demikian penjelasan singkat mengenai Penyelesaian Sengketa Medik yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan Sarannya dibutuhkan untuk menjadikan kami lebih baik dalam menerbitkan artikel baru. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: