BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Sengketa Medik

Sengketa Medik
Pengertian sengketa medik tidak dapat ditemukan dalam peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan seperti dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa: 
"Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia".
Secara implisit Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun2004 tentang Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Definisi kata sengketa adalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2001: 1037), sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, pertikaian dan perselisihan.

Perbedaan antara konflik dengan sengketa (Eddi Junaidi, 2011: 2), konflik memiliki pengertian yang lebih luas dan perselisihan yang terjadi akan berlangsung lama dan jarang mengemuka sedangkan perselisihan tersebut mengemuka, maka dapat dikatakan sebagai sengketa. Perselisihan mulai mengemuka, dimana salah satu pihak atau para pihak yang terlibat telah melakukan tindakan-tindakan yang membuat pihak yang tidak terlibat mengetahui atau menyadari adanya suatu permasalahan (Takdir Rahmadi, 2010: 1-2). 

Menurut Hariyani S (2005), konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puasnya atau keprihatinannya baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. Jadi konflik dapat berubah atau berlanjut menjadi sengketa yang berarti pula bahwa sebuah konflik yang tidak terselesaikan akan berubah menjadi sengketa.

Suatu sengketa khususnya dalam ranah perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak penggugat yang mengajukan gugatan dan pihak tergugat (Sudikno 1993 ; 51). Hubungan antara dokter dengan pasien atau hubungan Rumah Sakit dengan pasien adalah hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum sehingga diatur dalam kaidah hukum Perdata (Wila Chandrawila 2001: 7). Pihak yang bersengketa dalam sengketa medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien dengan dokter dan/ atau dokter gigi serta pasien dengan Rumah Sakit. 

Contoh sengketa medik yaitu pada kasus Alfonsus Budi Susanto pemilik The Jakarta Consulting Group. Kasus yang dialami oleh Alfonsus Budi terkait adanya dugaan malpraktek dan pelayanan keadilan hukum yang tidak obyektif antara Ruamh Sakit Siloam Internasional dengan dirinya yang dirasa terdapat keganjilan yang membuatnya mengalami kerugian. Adapun kasus tentang sengketa medik juga dialami oleh Dorkas Hotmian Silitonga dimana ada dugaan malpraktek yang dilakukan oleh pelayanan medik RS Bhakti Yudha Depok, Jawa Barat. 

Kasus mengenai sengketa medik pun tidak hanya sebatas yang dialami oleh Alfonsus Budi dan Dorkas yang menduga adanya malpraktek terhadap dokter yang menanganinya. Kasus sengeketa medik yang berkaitan dengan pelayanan Rumah Sakit pun juga menjadi perhatian seperti yang dialami bayi Naila. Kasus bayi Naila menyangkut persoalan mengenai pengelola RSU Lasinrang, Pinrang, Sulawesi Selatan, yang diduga telah menelantarkan atau tidak memberikan penanganan medis bagi bayi Naila hanya karena persoalan administrasi sehingga berujung pada kematian tragis. 

Pengelolaan pelayanan Rumah Sakit Umum Lasinrang dianggap melalaikan pasien darurat sehingga menyebabkan kematian, bayi Naila menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan ibunya karena tak segera mendapat pertolongan dari pihak Rumah Sakit. Mustari, ayah Naila, malah diminta mengambil nomor antrean meskipun sudah bercerita kondisi anaknya yang kritis. Saat itu, Naila mendapat antrean nomor 115 sedangkan pasien yang dipanggil baru nomor 95. Mustari coba kembali mendatangi loket untuk mendapatkan prioritas tapi malah ditanya berbagai surat miskin. Hingga akhirnya tepat pukul 10.00 waktu setempat, Naila tak lagi bernyawa. Contoh kelalaian yang menimbulkan sengketa medik tersebut hingga saat ini, belum ada penyelesaian yang dapat memberikan keadilan bagi kedua belah pihak, yaitu pasien dengan tenaga medis ataupun dengan Rumah Sakit.

Hubungan antara pasien dengan dokter dan/ atau dokter gigi serta Rumah Sakit bersifat terapertik, yaitu tidak menjanjikan kesembuhan namun berkaitan dengan usaha atau proses yang dilakukan sesuai standard operational procedure (SOP). Dalam hubungan ini dimungkinkan adanya kelalaian atau kesalahan yang dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Menurut Riati Anggriani,SH,MARS,MHum, kelalaian dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: 
  1. Malfeasance;
  2. Misfeasance; dan 
  3. Nonfeasance. 
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat atau layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.

Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips dan lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk.

Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis dan sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. 

Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang perorang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi 4 (empat) unsur di bawah ini, yaitu: 
  1. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu;
  2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut;
  3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan atau kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan; dan
  4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: 
"medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient".
World Medical Association mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik. 
"An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability". 
Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse events (peristiwa merugikan) dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan dapat pula disebabkan oleh error

Efek samping atau adverse events akibat error dianggap dapat dicegah (preventable), apabila efek samping yang dapat dicegah tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua unsur kelalaian medis menurut hukum sehingga disebut sebagai negligent adverse events. Suatu efek samping dari hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
  1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter;
  2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable) atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat atau tidak mungkin dihindari (unavoidable) karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Risiko tersebut harus diinformasikan terlebih dahulu;
  3. Hasil dari suatu kelalaian medik; dan
  4. Hasil dari suatu kesengajaan.
Penjelasan mengenai unsur kelalaian dalam dunia medis bila dihadapkan ke dalam ranah hukum akan menyebabkan benturan yaitu berupa ketidakadilan yang dirasa oleh salah satu pihak yang bersengketa dalam sengketa medik. Dunia medis yang memang tidak dapat menjanjikan suatu hal yang pasti akan dituntut oleh prosedur yang menuntut kepastian melalui jalur hukum sehingga dalam penyelesaian sengketa medik yang dilakukan melalui jalur hukum akan cenderung tidak menemukan titik temu. 

Tidak ditemukannya titik temu dimaksudkan bahwa apabila penyelesaian sengketa medik tersebut tidak ditinjau dari beberapa aspek dalam penyelesaiannya maka yang ada hanyalah rasa ketidakadilan baik yang dirasa oleh pasien dan keluarganya sebagai pihak awam yang dirugikan dan dirasakan juga oleh para pelaksana pelayanan kesehatan seperti dokter dan/ atau dokter gigi serta rumah sakit yang merasa pihaknya dirugikan pula. 

Sehingga sengketa medik berdasarkan dari penjelasan yang telah dipaparkan memiliki arti bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluaga pasien dengan dokter dan/ atau dokter gigi sebagai tenaga kesehatan maupun rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dikarenakan adanya kesalahan prosedur pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien maupun kelalaian yang dilakukan tenaga ahli kesehatan yang dalam hal ini adalah dokter dan/ atau dokter gigi. Perlu adanya kajian bahwa bagaimanakah penyelesaian sengketa medik nantinya yang memang dapat memberikan jawaban serta rasa adil bagi para pihak yang bersengketa dalam sengketa medik.  

Demikian penjelasan singkat mengenai Sengketa Medik yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan Sarannya dibutuhkan untuk menjadikan kami lebih baik dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: