BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hak Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Hak Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Sejak akhir abad ke-19 telah terjadi pergeseran pada kriminalisasi pelaku tindak pidana dari offender oriented kepada victim oriented. Pergeseran ini dengan dua argumentasi yaitu negara ikut bersalah sehingga ikut menanggungjawabi dengan memberikan restitusi dan kompensasi. Sebenarnya konsepsi restitusi atau ganti kerugian merupakan pendekatan tertua yang kembali dihidupkan termasuk dalam hukum pidana adat Indonesia. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia, seseorang telah dirampas hak untuk bebas dan kemerdekaannya, maka hal itu termasuk dalam viktimisasi politik yang merupakan pemerkosaan atau kejahatan terhadap hak asasi manusia. 

Dalam memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk restitusi dikenal dua model pendekatan model hak-hak prosedural dan model pelayanan (Barda Nawawi Arief, 2009). Dalam konsepsi hak-hak prosedural, koban aktif membela kepentingannya mulai dari proses penyidikan, kejaksaan hingga pengadilan, korban juga harus hadir dan didengar kesaksiaannya dalam setiap proses peradilan, korban punya hak untuk menuntut ganti kerugian bahkan mengadakan perdamaian dengan pelaku, korban punya hak yuridis kuat untuk mengejar hak-haknya yang dirampas oleh pelaku. 

Sementara itu, model pelayanan melihat korban sebagai sasaran umum untuk dilayani. Pemberian sanksi pidana yang bersifat restitutif dan kompensasi kepada korban. Adanya pusat-pusat pelayanan adalah untuk korban yang disediakan negara atau civil society.

Manfaat dan kegunaan viktimologi mencerminkan keadilan, hal mana keadilan disini jika dilihat dari sudut pandang hubungan pelaku dan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban yang dibebankan kepada pelaku atas perbuatannya yang mengakibatkan kerugian materiil dan/ atau immateriil yang dirasakan oleh korban. 

Bila dirujuk secara teoretis, Siegel (2000) mengatakan bahwa pemberian restitusi sebenarnya bagian dari pada pendekatan restorative justice, yaitu mengembalikan hak-hak korban yang hilang akibat daripada terjadinya kejahatan, hak-hak korban yang hilang tersebut harus segera dipulihkan. Pendekatan ini menekankan adanya pemulihan kerugian fisik, keamanan, harkat dan martabat dan kepuasan bagi korban kejahatan serta pelaksanaan dari keadilan itu sendiri. 

Restorative justice yang dikemukan Siegel ini juga diarahkan untuk memperbaiki pelaku kejahatan dengan melakukan rehabilitasi dan penyembuhan. Menurut Galeway (2000), tujuan pemberian restitusi adalah untuk meringankan penderitaan korban, sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan, sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana, mempermudah proses peradilan dan dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.

Dimensi ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah Hak Restitusi Korban. Korban dapat mengajukan permohonan hak Restitusi kepada pengadilan yang menangani terdakwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan dalam permohonan tersebut wajib memberikan keterangan mengenai kerugian yang dialami korban serta biaya pengobatan yang diperlukan. 

Ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Hukuman pidana denda pada pasal tersebut dibebankan kepada perilaku dan harus dibayar oleh pelaku kepada negara akibat dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pada pasal ini, kerugian yang dialami oleh korban telah terabaikan, padahal kerugian korban baik secara materiil atau immateriil sangatlah besar. Akibat dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), korban pada umumnya mengalami kecacatan, sakit pada anggota tubuh korban, penderitaan psikis berupa depresi, trauma, kehilangan semangat untuk hidup. Penderitaan tersebut membutuhkan biaya dan waktu untuk penyembuhannya sehingga diperlukan sebuah ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku atas penderitaan korban akibat perbuatannya.

Jika pengadilan menetapkan dan menyetujui permohonan tersebut maka hak Restitusi korban terpenuhi, pelaku wajib bertanggung jawab membayar Restitusi tersebut. Nilai Restitusi tersebut berupaya untuk merestorasi atas kerugian fisik, psikis, ekonomi, sosial korban akibat tindak pidana. Ganti rugi tersebut harus dibayar oleh pelaku berupa uang. Salah satu penyebab kenapa munculnya hak Restitusi korban adalah dengan adanya bentuk kerugian tersebut diharapkan korban dapat menjalani pemulihan kerugiannya sampai mencapai pada tahapan sebagaimana mestinya korban sebelum terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).  

Demikian penjelasan singkat mengenai Hak Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: