BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Sebab, Fungsi dan Tujuan Restitusi

Sebab, Fungsi dan Tujuan Restitusi
Seseorang yang menjadi korban tindak pidana harus menghadapi masalah hukum yang krusial. Setelah merasakan pengalaman sebagai korban tindak pidana, ia harus mengalami viktimisasi lanjutan akibat adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana. Penolakan tersebut terjadi karena adanya pandangan posisi korban telah diambil alih oleh negara, sehingga keterlibatan korban lebih jauh dalam proses peradilan untuk memperjuangkan hak-haknya dinilai akan membebani jalannya sistem yang ada. Selain itu juga dianggap akan berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi kerja aparat penegak hukum.  

Dasar munculnya pemenuhan Hak Restitusi di Indonesia karena sebelum adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kerugian yang dialami para korban kurang mendapat perhatian sehingga para korban harus menanggung kerugian yang dialami sendiri, padahal para korban tidak hanya mengalami kerugian secara materiil tapi juga secara immateril.

Korban sebagai pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana biasanya hanya dilibatkan sebatas pada memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Akibatnya sering terjadi korban merasa tidak puas dengan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan/ atau putusan yang dijatuhkan oleh Hakim karena dianggap tidak sesuai dengan nilai keadilan korban. Hal tersebut disebabkan karena sistem peradilan pidana diselenggarakan untuk mengadili pelaku tindak pidana, bukan untuk melayani kepentingan korban tindak pidana karena tindak pidana merupakan tindakan pelakunya melawan negara. 

Keberadaan sistem peradilan pidana ditujukan untuk kepentingan negara dan masyarakat, bukan untuk kepentingan personal warga masyarakat. Hal ini menyebabkan kerugian akibat tindak pidana yang diderita oleh korban tindak pidana merupakan musibah yang harus ditanggung korban itu sendiri karena bukan merupakan fungsi sistem peradilan pidana untuk menanggungnya. 

Menurut Muladi dalam rangka konsep pengaturan terhadap perlindungan korban tindak pidana, hal pertama yang harus diperhatikan yakni esensi kerugian yang diderita korban. Esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau penderitaan fisik saja tetapi juga yang bersifat psikologis. Hal ini dalam bentuk trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum. Simptom dari sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi, kesepian dan perilaku penghindaran lainnya.

Kerugian yang diderita oleh korban tindak pidana dapat dimintakan ganti rugi sebagai salah satu hak korban tindak pidana. United Nations Declaration on The Prosecution and Assistance of Crime Victims pada butir 4 Part I General Principles telah menegaskan kewajiban tiap-tiap negara dalam pemenuhan hak-hak korban tindak pidana.
"Reparation by the offender to the victim shall be an objective of the process justice. Such reparation may include (1) the return of stolen property, (2) monetary payment for loss, damages, personal injury and psychological trauma, (3) payment for suffering, and (4) service to the victim. Reparation should be encouraged by the correctional process".
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai entitas internasional, PBB menghendaki ganti rugi oleh pelaku tindak pidana kepada korbannya seharusnya menjadi tujuan dari proses peradilan. Ganti rugi tersebut meliputi pengembalian harta benda yang dicuri, pembayaran sejumlah uang atas kehilangan, kerusakan, dan luka serta trauma psikis yang dialami korban, pembayaran untuk penderitaan dan bantuan kepada korban.

Salah satu bentuk ganti rugi terhadap korban tindak pidana yakni restitusi. Restitusi sesuai dengan Prinsip Pemulihan dalam Keadaan Semula (restutio in integrum) adalah suatu upaya bahwa korban kejahatan haruslah dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadimeski didasari bahwa tidak akan mungkin korban kembali pada kondisi semula. Prinsip ini menegaskan bahwa bentuk pemulihan kepada korban haruslah selengkap mungkin dan mencakup berbagai aspek yang ditimbulkan dari akibat kejahatan. 

Dengan restitusi, maka korban dapat dipulihkan kebebasan, hak-hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan kewarganegaraan, kembali ke tempat tinggalnya, pemulihan pekerjaannya, serta dipulihkan asetnya. Dalam praktik hampir di banyak negara konsep restitusi ini dikembangkan dan diberikan pula kepada korban kejahatan atas penderitaan mereka sebagai korban tindak pidana. Dalam konsep ini maka korban dan keluarganya harus mendapatkan ganti kerugian yang adil dan tepat dari orang bersalah atau pihak ketiga yang bertanggung jawab. Ganti kerugian ini akan mencakup pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban, penyediaan jasa dan hak-hak pemulihan

Oleh sebab itu dibutuhkan Restitusi dalam pemulihan atas kerugian yang dialaminya, contoh kerugian materiil adalah luka atau cacat pada anggota dan/ atau organ tubuh yang membutuhkan biaya untuk penyembuhan. Kerugian immateriil yaitu penderitaan secara psikis, gangguan mental yang juga perlu membutuhkan biaya lebih tinggi untuk pemulihan. Kehilangan kekayaan, biaya pengobatan fisik dan psikis perlu dimasukan kedalam hak perlindungan hukum bagi korban sehingga hal tersebut menjadi dasar dalam penerapan ganti rugi yang harus dibebankan kepada pelaku yang telah mendapat keuntungan yang besar dari penderitaan korban.

Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) menentukan orang yang menderita kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain yang melawan hukum memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian. Apabila orang tersebut menderita kerugian akibat suatu tindak pidana, untuk memudahkan orang tersebut, negara memberikan jalan untuk mendapat ganti kerugian tanpa harus melalui proses gugat perdata biasa dengan melalui penggabungan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Zulkifli (2011) mengutip Stephen Scafer menjelaskan bahwa restitusi bersifat pidana (penal in character) yang muncul berdasarkan putusan pengadilan pidana untuk dibayarkan oleh terpidana sebagai wujud pertanggungjawaban pidana. Kristine (2012) menambahkan untuk mendukung berjalannya restitusi perlu adanya peran dari aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Baik dari pihak penyidik dalam hal menelaah kerugian korban sehingga bisa dimasukan ke dalam berkas pidana, kemudian penuntut sebagai perwakilan korban dalam peradilan penting untuk memastikan korban mau restitusi masuk ke dalam tuntutan, termasuk besaran restitusinya dan peran hakim sebagai pengambil sebuah putusan pengadilan dimana salah satu syarat restitusi adalah adanya putusan pengadilan.

Selanjutnya negara semakin memberikan ruang bagi para korban tindak pidana untuk mendapatkan haknya mendapatkan ganti rugi dengan jangkauan yang lebih luas dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentangPerlindungan Saksi dan Korban yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang PerlindunganSaksi dan Korban.

Namun praktek restitusi di Indonesia masih menemui kendala. Imanuddin (2011) melihat ada 3 (tiga) faktor yang menyebabkan pelaksanaan restitusi melalui institusi peradilan pidana kurang berjalan baik, yakni: 
  1. Faktor perundangundangan yang kurang kuat dan jelas;
  2. Faktor sumber daya manusia pada aparat penegak hukum; dan 
  3. Faktor kekurang tahuan korban. 
Rizvan menyarankan adanya penyempurnaan peraturan perundang-undangan dimana setiap undang-undang harus segera diikuti dengan aturan turunan seperti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sehingga restitusi bisa dijalankan atau dieksekusi. Untuk pembenahan sumber daya aparat penegak hukum, Rizvan menyampaikan perlunya dimasukan materi restitusi secara lebih mendalam pada kegiatan-kegiatan pendidikan dan latihan aparat penegak hukum. Selain tentunya perlu sosialisasi terkait aturan yang mengatur restitusi. Untuk pengetahuan korban akan restitusi, Rizvan menyarankan perlunya sosialisasi mendalam akan restitusi dan institusi yang terkait dengan upaya restitusi

Fungsi Restitusi adalah dengan adanya hak Restitusi dengan jumlah nilai denda yang diberikan oleh pelaku dapat membantu para korban dalam langkah penyembuhan luka dan gangguan mental, dan juga pemulihan terhadap kehilangan kekayaan. Upaya pemulihan diharapkan dapat mengembalikan keadaan korban seperti semula sebelum terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adanya pemahaman yang baik terkait restitusi akan mendorong korban untuk meminta dimasukannya restitusi kepada penuntut umum. Tentunya dengan semangat tulus dari penuntut umum sehingga restitusi tidak menjadi ajang penuntut umum mencari uang dari restitusi.

Tujuan adanya pemenuhan hak Restitusi diharapkan dapat memberikan efek jera kepada para pelaku sehingga dapat mengurangi angka Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia dan juga memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang yang semakin marak terjadi saat ini. Sesuai sifatnya, pidana harus memiliki bentuk pemberian derita, penderitaan, atau nestapa yang sengaja dijatuhkan untuk orang yang terbukti bersalah melakukan tindakan pidana. Penjatuhan pidana restitusi kepada pelaku kejahatan tentunya memberikan dampak derita berupa kewajiban pembayaran ganti rugi dengan jumlah tertentu kepada korban.

Bagi korban sendiri, penerimaan ganti rugi tentunya lebih berarti ketimbang pidana hanya berupa pemenjaraan kepada pelaku. Khusus untuk korban yang mengalami trauma medis dan psikologis, restitusi bisa menjadi pengganti biaya rehabilitasi medis dan psikologis mereka. Pada beberapa kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang berkedok penyaluran tenaga kerja, restitusi bisa menjadi bentuk kompensasi mereka saat diperdagangkan. Meski begitu perlu menjadi catatan bahwa masyarakat, termasuk korban tindak pidana masih belum begitu paham terkait adanya restitusi sehingga korban tindak pidana tidak jarang luput meminta restitusi atas tindak pidana yang dialaminya.

Potensi restitusi menjadi pidana yang bermanfaat bagi pelaku maupun korban tindak pidana. Bagi pelaku, tentunya bisa menjadi pidana yang dapat menghindarkan pelaku kejahatan terhindar dari dampak buruk pemenjaraan. Hal ini juga sesuai dengan mazhab penghukuman de-institusionalisasi yang menjadi kritik beberapa mazhab penghukuman sebelumnya, termasuk mazhab resosialisasi dan mazhab reintegrasi sosial.

Restitusi sangat potensial sebagai pidana alternatif dimana tujuan pemidanaan sesuai mazhab-mazhab yang mulai dipengaruhi Utilitarian movement yakni mazhab rehabilitatif, mazhab resosialisasi, mazhab reintegrasi sosial, dan mazhab deinstitusionalisasi tetap terpenuhi karena dalam restitusi peluang untuk tetap dilaksanakannya rehabilitasi, resosialisasi, reintegrasi sosial. hingga deinstitusionalisasi pidana.

Demikian penjelasan singkat mengenai Sebab, Fungsi dan Tujuan Restitusi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: