BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Korban Perdagangan Orang

Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Korban Perdagangan Orang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum. Hal yang penting dalam perlindungan terhadap korban atau calon korban menurut undang-undang ini adalah jaminan perlindungan yang berupa restitusi sebagai akibat dari perdagangan orang yang harus diterima dan diberikan oleh pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang. 

Adapun hak retribusi dari korban atau calon korban berupa jaminan medis, jaminan sosial, reintegrasi, dan pemulangan bagi korban yang mengalami penderitaan fisik, psikis dan sosial akibat Tindak Pidana Perdagangan Orang (Dikdik M. Arief dan Elisatris, 2010: 166). 

Perlindungan bagi korban yang juga diberikan oleh negara adalah berupa pembentukan lembaga yang akan membantu pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dimana menurut Pasal 58 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ditugaskan untuk melakukan pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, kerja sama, memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban (rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi sosial), memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum serta melakukan pelatihan dan evaluasi (Wahyu Riadi: 12).

Perlindungan korban kejahatan sebagai bagian dari perlidnungan kepada masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasai, pelayanan medis dan bantuan hukum. Beberapa bentuk perlindungan terhadap korban menurut Prof. Dr. Barda nawawi Arief, S.H. (2011), yaitu sebagai berikut:
  1. Ganti rugi
  2. Restitusi
  3. Kompensasi
Ganti rugi
Istilah ganti kerugian digunakan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban. Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti kerugian terkandung 2 (dua) manfaat yaitu :
  1. Pertama, untuk memenuhi kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan; dan 
  2. Kedua, merupakan pemuasan emosional korban. 
Sedangkan dilihat dari sisi pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diberbuat.

Restitusi
Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan pengertian Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/ atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

Pengertian Restitutsi juga dijelaskan pada Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menjelaskan pengertian Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Kompensasi
Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 tahun 2008 memberikan definisi kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Beberapa pokok penting mekanisme pemberian kompensasi menurut ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2008, yaitu: 
  1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat memiliki hak untuk memperoleh Kompensasi;
  2. Permohonan untuk memperoleh kompensasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 tahun 2008 diajukan oleh korban, keluarga atau kuasanya dengan surat kuasa khusus;
  3. Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 tahun 2008 diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang melaksanakan mekanisme pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan terhadap korban.
Pelayanan kepada korban adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam rangka respon terhadap viktimisasi dengan maksud untuk mengurangi penderitaan dan memfasilitasi pemulihan terhadap korban termasuk dalam aktifitas pelayanan korban adalah memberikan informasi melakukan tindakan pemeriksaan melakukan intervensi individual (Dr. Laden Marpaung, 2010).

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan rumusan secara konkret dan langsung mengenai pemberian penasehat hukum kepada saksi dan korban, Perlindungan hukum yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap korban hanya dalam bentuk pemberian ganti kerugian melalui penggabungan perkara dan tidak mengatur mengenai bentuk perlindungan hukum lainnya. Tidak diaturnya secara khusus perlindungan hukum untuk korban kejahatan khususnya korban perdagangan manusia telah menimbulkan ketidakadilan karena sering kali jaksa penuntut umum yang mewakili korban hanya menjatuhkan tuntutan atau hakim hanya memberikan hukuman yang relatif ringan terhadap pelakunya. 

Oleh sebab itu, pemerintah haruslah memberikan sebuah rumusan mengenai peraturan dalam hal pemberian perlindungan hukum lebih terhadap saksi dan hingga pemberian perlindungan terhadap saksi dan dapat secara optimal diberikan guna mengurangi tindak pidana perdagangan orang yang memang banyak terjadi di masyarakat. Perlindungan hukum terhadap hak-hak korban tindak pidana perlu dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh dengan memperhatikan asas Perlindungan Saksi dan Korban yaitu: 
  1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia
  2. Rasa aman;
  3. Keadilan;
  4. Tidak diskriminatif; dan
  5. Kepastian hukum. 
Pemerintah perlu melakukan pemantauan, evaluasi dan pelaporan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang telah diberlakukan termasuk pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan terhadap korban tindak pidana sebagai bagian dari pemenuhan perlindungan terhadap hak-hak korban tindak pidana. 

Mekanisme pemberian ganti rugi, kompensasi dan restitusi terhadap korban tindak pidana memerlukan peningkatan kinerja dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sesuai kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Diharapkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat menjalankan kewenangannya sesuai dengan prosedur pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan termasuk memperpanjang atau menghentikan pemberian bantuan setelah mendengarkan keterangan dokter, psikiater, atau psikolog. Pemberian kompensasi dan restitusi hendaknya diupayakan setelah semua dokumen yang diperlukan memenuhi persyaratan dengan memperhatikan rasa keadilan, tidak diskriminatif dan kepastian hukum bagi korban tindak pidana.

Demikian penjelasan singkat mengenai Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Korban Perdagangan Orang yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: