BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Pengertian dan Jenis Putusan

Pengertian dan Jenis Putusan
Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan suatu aspek penting dan sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana, dalam hal ini putusan hakim tersebut sangat berguna bagi terdakwa dalam memperoleh kepastian hukum perihal statusnya sebagai terdakwa dan juga sekaligus dapat mempersiapkan langkah - langkah apa yang akan ditempuh selanjutnya. 

Adapun dalam sistem peradilan pidana modern seperti pada Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai kaidah hukum formil tidak diperkenankan untuk main hakim sendiri. Dalam Pasal 1 ayat (11) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Hal mana pada putusan pengadilannya tersebut dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum menurut cara yang di atur dalam ketentuan perundang - undangan.

Jenis - Jenis Putusan
Dengan melakukan perumusan Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada dasarnya putusan hakim atau putusan pengadilan dapat diklarifikasikan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: 
  1. Putusan akhir; dan
  2. Putusan yang bukan putusan akhir.
Putusan Akhir 
Putusan ini dalam praktik lazim disebut dengan istilah“eind vonis” dan merupakan jenis putusan yang bersifat materi. Putusan ini terjadi apabila setelah majelis hakim memeriksa terdakwa sampai dengan berkas pokok perkara selesai diperiksa. Secara teoritik putusan akhir berupa : 
  1. Putusan bebas pada umumnya dikenal dengan putusan “vrijspraak” sebagaimana aturan hukum putusan bebas di Indonesia dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan pada dasarnya bahwa terdakwa diputus bebas apabila Majelis Hakim di pengadilan mengeluarkan pendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah menurut hukum dan meyakinkan. Adapun penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimaksud sebagai perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan yakni menerangkan bahwa tidak cukupnya bukti menurut penilaian hukum atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan yang diatur pada hukum perundang - undangan pidana tersebut.
  2. Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (vide: Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
    Secara umum putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menerangkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti. Akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana maka hakim memutuskan terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Apabila dikonsultasikan dan dijabarkan lebih lanjut secara teoritik pada ketentuan Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap penjelasan dari segala tuntutan terjadi jika : 
    • Dari hasil pemeriksaan didepan sidang pengadilan perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana;
    • Karena adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar;
    • Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. 
  3. Putusan pemidanaan (vide: Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)), pada dasarnya putusan pemidanaan diatur oleh ketentuan Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang isinya menerangkan bahwa pengadilan dapat menjatuhkan pidana jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Apabila dijabarkan lebih mendalam putusan pemidanaan dapat terjadi jika dari hasil pemeriksaan di persidangan Majelis Hakim berpendapat : 
    • Perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa atau penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang didakwakan;
    • Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana atau pelanggaran
    • Dipenuhi ketentuan alat - alat bukti dan fakta - fakta di persidangan (vide: Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)).
Putusan yang bukan Putusan Akhir 
Pada praktik peradilan bentuk putusan awal dapat berupa :
  1. Penetapan; dan 
  2. Putusan Sela
Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Pada putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, akan tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Hal mana pada putusan sela dibuat seperti putusan biasa, akan tetapi tidak dibuat secara terpisah melainkan ditulis dalam berita acara persidangan yang harus diucapkan di depan persidangan yang terbuka untuk umum serta ditandatangani oleh majelis hakim yang memimpin persidangan dan panitera yang turut ikut dalam persidangan.

Pada dasarnya putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir, hal ini dikarenakan putusan sela tidak berdiri sendiri yang kemudian akhirnya menjadi dasar pertimbangan majelis hakim pada putusan akhir. Hal ini disebabkan karena Majelis Hakim tidak terikat pada putusan sela yang bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinan dari Majelis Hakim. Oleh sebab itu, Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali pengajuan bandingnya diajukan bersama - sama dengan putusan akhir.

Adapun terhadap putusan sela tersebut, para pihak yang bersengketa dapat meminta kepada pengadilan supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan menggunakan biaya sendiri.

Pada jenis putusan tersebut di atas mengacu pada ketentuan yang diatur pada Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan kekerabatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada hakekatnya putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa : 
  1. Penetapan yang menentukan bahwa tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara karena murapakan kewenangan pengadilan negeri yang lain sebagaimana ketentuan yang diatur pada Pasal 143 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
  2. Putusan menyatakan dakwaan jaksa atau penuntut umum batal demi hukum. Hal mana dikarenakan dakwan tersebut tidak memenuhi ketentuan yang diatur pada Pasal 143 ayat (2) huruf (b) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan dinyatakan batal demi hukum menurut ketentuan yang diatur pada Pasal 143 ayat (3) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
  3. Putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa atau penuntut umum tidak dapat diterima sebagaimana ketentuan yang diatur pada Pasal 156 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hal mana disebabkan oleh materi hukum perkara tersebut telah lewat waktu (daluwarsa) baik dari materi perkara maupun materi hukum perdata dan sebagainya. 
Adapun putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap - tahap pemeriksaan, akan tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu terdiri dari :
  1. Putusan gugur;
  2. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet;
  3. Putusan tidak menerima; dan
  4. Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa.
Putusan gugur
Putusan gugur merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan atau permohonan yang diajukan itu gugur. Hal tersebut dinyatakan gugur karena penggugat atau pemohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat atau termohon hadir dalam persidangan yang kemudian mengajukan permohonan putusan. Adapun putusan gugur dijatuhkan pada persidangan pertama atau sebelum tahapan pembacaan gugatan atau permohonan. Adapun putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah memenuhi syarat, yakni :
  1. Penggugat atau pemohon telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir dalam persidangan yang telah ditentukan;
  2. Penggugat atau pemohon ternyata tidak hadir dalam persidangan dan tidak pula diwakilkan atau memberikan kuasa kepada orang lain untuk menghadiri persidangan;
  3. Tergugat atau termohon hadir dalam persidangan;
  4. Tergugat atau termohon mengajukan permohonan keputusan; dan
  5. Dalam hal penggugat atau pemohon lebih dari 1 (satu) orang dan kesemuanya tidak hadir, maka dapat pula diberikan putusan gugur.
Adapun salah satu keputusan dalam putusan gugur, yaitu penggugat atau pemohon dihukum membayar biaya perkara. Adapun terhadap putusan gugur dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru lagi.

Putusan Verstek
Verstek memiliki arti bahwa pihak tergugat tidak hadir. Adapun mengenai putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan karena tergugat atau termohon tidak pernah hadir dalam persidangan meskipun yang bersangkutan telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir di dalam persidangan dan selama persidangan penggugat atau pemohon hadir dan mengajukan permohonan putusan.

Mengenai putusan verstek, putusan dapat dijatuhkan dalam persidangan pertama atau sesudahnya yang dalam artian sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban dari tergugat dengan ketentuan sepanjang tergugat atau para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal yang bersangkutan telah dipanggil secara resmi dan patut. Walaupun demikian, putusan verstek dapat dijatuhkan apabila telah memenuhi syarat sebagaimana berikut di bawah ini :
  1. Tergugat atau termohon telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir dalam persidangan;
  2. Tergugat atau termohon tidak hadir dalam persidangan dan tidak pula diwakilkan atau memberikan kuasa kepada orang lain untuk hadir dalam persidangan;
  3. Tergugat atau termohon tidak mengajukan eksepsi mengenai kewenangan mengadili;
  4. Penggugat atau pemohon hadir dalam persidangan;
  5. Penggugat atau pemohon mengajukan permohonan keputusan; dan
  6. Dalam hal tergugat atau termohon lebih dari 1 (satu) orang dan semuanya tidak hadir, maka dapat pula diberikan putusan verstek.
Putusan verstek hanya bernilai secara formil yang dalam artian hanya pada surat gugatan dan belum menilai secara materiil mengenai kebenaran dalil - dalil tergugat atau termohon. Apabila gugatan atau permohonan yang diajukan beralasan dan gugatan tersebut tidak melawan hak, maka pada isi putusan verstek tersebut dapat mengabulkan gugatan penggugat atau pemohon yang dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian. Sedangkan apabila gugatan atau permohonan itu tidak beralasan dan/ atau melawan hak, maka pada isi putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat atau pemohon dengan verstek

Terhadap putusan verstek ini, tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet) yang dalam hal ini sebagai jawaban dari tergugat. Jika tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Sehingga berdasarkan hal tersebut, tergugat tidak dapat mengajukan banding sebelum tergugat menggunakan hak verzetnya terlebih dahulu. 

Apabila perlawanan (verzet) tergugat diterima dan dibenarkan oleh majelis hakim berdasarkan hasil pemeriksaan atau pembuktian dalam persidangan, maka majelis hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila perlawanan (verzet) itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan putusan verstek.

Terhadap putusan verstek dapat mengajukan banding, adapun jika penggugat mengajukan banding terhadap putusan verstek maka tergugat tidak boleh mengajukan perlawanan (verzet). Walaupun demikian, setelah penggugat mengajukan banding, maka secara otomatis tergugat memiliki hak juga untuk mengajukan banding.

Jika putusan verstek tidak diajukan perlawana (verzet) dan tidak pula diajukan banding, maka dengan sendirinya putusan tersebut menjadi putusan akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Khusus untuk perkara perceraian, majelis hakim wajib membuktikan terlebih dahulu kebenaran dalil - dalil tergugat atau termohon dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek.

Putusan tidak menerima
Putusan tidak menerima adalah putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat atau permohonan pemohon. Dengan kata lain gugatan dari penggugat atau pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan atau permohonan tidak memenuhi syarat baik persyaratan formil maupun persyaratan materiil.

Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh majelis hakim, maka majelis hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat. Jika tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak diterima. sebagaimana putusan tersebut, jika ternyata tidak memenuhi syarat atau terdapat hal - hal yang dijadikan alasan eksepsi.

Adapun putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstek yang gugatannya ternyata tidak beralasan dan/ atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban. Pada putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugatan), melainkan baru menilai syarat - syarat gugatan saja yang apabila syarat gugatan tidak terpenuhi, maka gugatan pokok (dalil gugatan) tidak dapat diperiksa. Mengenai putusan ini berlaku sebagai putusan akhir dan tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru baik dari pihak penggugat maupun pihak tergugat.

Sebagaimana dijelaskan di atas pada dasarnya semua putusan dapat dimintakan akhir kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang - undangan.

Demikian penjelasan singkat mengenai pengertian dari putusan beserta jenis - jenisnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca dalam mencari informasi. Jikalau ada pertanyaan atau tanggapan atas tulisan ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: