BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Perkembangan Teori Perbuatan Melawan Hukum

Perkembangan Teori Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) dalam perdata mengarah kepada pemaknaan yang meluas (ekstensif), yakni dengan mengartikan hukum tidak sama dengan undang-undang (wet). Sehingga, onrechtmatig dibedakan pengertiannya dengan onwetmatig

Adapun perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang secara historis memiliki kesamaan makna dengan Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (BW) negeri Belanda.

Konsep perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) dalam lingkup hukum perdata di dalam sistem civil law memiliki persamaan dan perbedaan dengan konsep tort yang dikenal dalam sistem common law. Ada banyak aspek dalam perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) dan tort yang dapat diharmonisasikan agar hak-hak warga sipil untuk mempertahankan kepentingan mereka tidak terkendala hanya karena perbedaan sistem hukum.

Aspek kerugian menjadi perihal yang cukup berat untuk dibuktikan karena dampak kerugian bersifat material dalam skala besar dapat dihitung seperti tertundanya jadwal penerbangan atau hilangnya sumber daya hutan. Lain halnya pada warga sipil yang menggantungkan inisiasi gugatannya pada otoritas negara.

Salah satu contohnya negara Malaysia atau Singapura yang mendapati cuaca di wilayahnya dalam keadaan berkabut akibat kiriman asap dari Indonesia. Hal ini dapat saja warganya mengajukan gugatan terhadap perusahaan-perusahaan yang terdata sebagai pelaku pembakaran lahan di Indonesia. Kemudian pertanyaan yang muncul Apakah mungkin warga sipil di Singapura menggugat atas dasar kerugian mereka karena turunnya kualitas udara yang mereka hirup selama kabut asap melanda negaranya?

Sekilas hal ini terdengar cukup masuk akal, namun pihak negara Indonesia pun dapat saja berkilah bahwa kerugian yang berlangsung dalam hitungan harian tersebut tidak ada artinya dibandingkan dengan suplai oksigen dari hutan-hutan Indonesia yang dinikmati oleh warga Singapura dari waktu ke waktu.



Menurut L.C. Hoffmann menyatakan bahwa ketentuan pada Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (BW) dapat diturunkan setidaknya ke dalam 4 (empat) unsur, yaitu: 
  1. Harus ada yang melakukan perbuatan;
  2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
  3. Perbuatan atau tindakan tersebut harus menimbulkan kerugian pada orang lain; dan
  4. Perbuatan atau tindakan tersebut karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.
Kemudian Mariam Darus Badrulzaman (Agustina, 2003: 49-50) merinci perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) ini menjadi 5 (lima) unsur, yang terdiri dari :
  1. Harus ada perbuatan, baik perbuatan positif maupun perbuatan negatif;
  2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
  3. Ada kerugian;
  4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; dan
  5. Ada kesalahan.
Hal mana pada rumusan norma dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sangat unik dan tidak seperti ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma ketentuan yang diatur pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) lebih merupakan struktur norma daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap. 

Oleh karena itu, substansi ketentuan yang termuat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) senantiasa memerlukan materialisasi di luar Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). 

Berdasarkan hal tersebut, perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) melalui putusan-putusan pengadilan dan melalui undang-undang mengalami perkembangan. Perbuatan Melawan Hukum (onrechmatige daad) dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) diatur dalam Buku III tentang Perikatan. 

Adapun perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) yang berasal dari Eropa Kontinental dimuat dan diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) sampai dengan ketentuan Pasal 1380 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

Pada ketentuan pasal-pasal tersebut mengatur tentang bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) walaupun pada awalnya memang mengandung pengertian yang sempit dikarenakan pengaruh dari ajaran legisme. Ada hal yang menarik untuk membedakan antara ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan ketentuan Pasal 1366 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). 

Secara redaksional ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) menggunakan kata-kata karena salahnya (schuld) yang berbeda dengan bunyi Pasal 1366 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berbunyi karena kelalaian atau ketidakhati-hatian (nalatigheid; onvoorzichtigheid). Kata melawan hukum memiliki makna dan arti sebagai suatu perbuatan atau tindakan aktif dan perbuatan atau tindakan pasif.

Adapun C. Asser (1991) juga menekankan tentang hal ini. Menurut C. Asser, jika Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menekankan pada perbuatan aktif, maka Pasal 1366 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) menekankan pada aspek pembiaran (tidak berbuat). Kedua pasal ini diinspirasi dari hukum pidana, yaitu:
  1. Kesengajaan; dan
  2. Kelalaian.
Dengan demikian, segala perbuatan yang disebabkan oleh kesengajaan maupun kelalaian atau ketidakhati-hatian dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad). Sepanjang perbuatan itu salah atau melanggar hukum dalam arti luas dan oleh karenanya si pelakunya layak diberikan beban untuk mengganti kerugian.

Hal tersebut sebenarnya bertentangan dengan doktrin yang dikemukakan oleh para ahli pada waktu itu seperti Molengraaff yang menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum (onrechmatige daad) tidak hanya melanggar undang - undang, akan tetapi juga melanggar kaidah kesusilaan dan kepatutan.


Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut peraturan perundang-undangan dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang.

Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad tanggal 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara ini bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit merek Singer yang telah disempurnakan, padahal mesin itu sama sekali bukan produk buatan Singer. Kata-kata Singer ditulis dalam ukuran yang besar sedangkan kata-kata yang lain ditulis dalam ukuran kecil-kecil sehingga jika dilihat secara sepintas, maka yang terbaca adalah Singer saja.

Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan, Hoge Raad mengatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha yang bertentangan dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.

Pada putusan berikutnya, Hoge Raad berpendapat sama dalam kasus Zutphense Juffrouw pada perkara yang diputuskan pada tanggal 10 Juni 1910. Perkara tersebut bermula dari sebuah gudang di Zutphen, hal mana pada saat itu, iklimnya sangat dingin sehingga menyebabkan pipa air dalam gudang tersebut pecah. 

Adapun kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas. Namun penghuni di tingkat atas tersebut tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk tersebut sekalipun kepadanya telah dijelaskan bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam gudang karena tergenang air.

Adapun perusahaan asuransi telah membayar ganti kerugian atas rusaknya barang-barang tersebut dan selanjutnya mereka menggugat penghuni tingkat atas di muka pengadilan. Hal mana Hoge Raad kemudian memenangkan tergugat dengan alasan bahwa tidak terdapat suatu ketentuan dalam perundang-undangan yang mewajibkan penghuni tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk guna kepentingan pihak ketiga. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) secara legistis.

Pemandangan legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen v. Lindenbaum yang dikenal sebagai drukkers arrest. Pada perkara ini Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum. 

Hal ini terlihat dalam pendapat Hoge Raad pada Arrestnya tanggal 18 Februari 1853 yang dalam pertimbangannya menyatakan dari hubungan satu dengan lainnya dan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan ketentuan Pasal 1366 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) masing-masing kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu perbuatan dapat berupa perbuatan yang rechtmatig dan dibolehkan. Walaupun demikian karenanya yang bersangkutan harus bertanggung jawab, apabila yang bersangkutan dalam hal tersebut tidak hati-hati dalam melakukan perbuatan.

Dalam perkara ini, Cohen seorang pengusaha di bidang percetakan membujuk salah satu karyawan dari percetakan milik Lindenbaum. Hal mana cohen membujuk untuk diberikan salinan (copy) pesanan dari langganan-langganan percetakan Lindenbaum. Setelah itu Cohen memanfaatkan informasi yang diberikan oleh karyawan Lindenbaum yang kemudian atas tindakan dari karyawannya tersebut mengakibatkan Lindenbaum mengalami kerugian yaitu para langganannya tersebut pindah ke perusahaan Cohen.

Setelah Lindenbaum mengetahui hal tersebut, dia kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen kepadanya. Terhadap gugatan tersebut kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (rechtbank), akan tetapi Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri (rechtbank) tersebut.

Adapun pertimbangan dari Pengadilan Tinggi (Hof) menyatakan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban hukum, akan tetapi pelanggaran tersebut tidak berlaku bagi Cohen. Hal ini dikarenakan dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan yang melarang dengan tegas bahwa perbuata mencuri dalam hal informasi merupakan sebuah perbuatan yang melanggar hukum. 

Kemudian pada Hoge Raad membatalkan putusan dari Pengadilan Tinggi (Hof) dengar dasar pertimbangan bahwa dalam keputusan Pengadilan Tinggi makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dipandang secara sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh undang-undang.

Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang oleh undang-undang sekalipun perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan keharusan dan kepatutan atau yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).

Dengan adanya arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis saja seperti:
  1. Perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban hukum; dan
  2. Pelanggaran terhadap hak subyektif orang lain.
Akan tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah-kaidah yang mengatur tentang:
  1. Tata susila;
  2. Kepatutan;
  3. Ketelitian; dan 
  4. Kehati-hatian.
Hal mana kaidah-kaidah tersebut di atas seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat. Adapun penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, akan tetapi perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Pemaknaan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) setidaknya dapat dihubungkan dengan 4 (empat) hal, yaitu perbuatan tersebut harus:
  1. Melanggar hak orang lain;
  2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
  3. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik; atau
  4. Bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat.
Adapun fakta tentang seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan majelis hakim untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut telah sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama masyarakat.

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan sudah secara otomatis atau dengan sendirinya bertentangan dengan kesusilaan. Adapun yang dikenal sebagai bertentangan dengan kepatutan jika: 
  1. Perbuatan atau tindakan tersebut menimbulkan kerugian kepada orang lain tanpa adanya kepentingan yang layak; dan 
  2. Perbuatan atau tindakan tersebut tidak berguna atau menimbulkan bahaya pada orang lain. 
Perbuatan penyalahgunaan hak atau yang dikenal dengan istilah misbruik van recht yang pernah terjadi dalam sebuah kasus terkenal yakni kasus cerobong asap palsu yang diputus oleh Pengadilan Colmar tanggal 2 Mei 1855 membuktikan bahwa perbuatan yang sia-sia dan merugikan orang lain juga merupakan pelanggaran hukum.

Demikian penjelasan singkat dari Penulis yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca dalam mengetahui perkembangan teori perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad). Jika ada pertanyaan atau tanggapan atas tulisan atau artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: