BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hambatan Penyelesaian Perkara Desersi Pada Peradilan Militer

Hambatan Penyelesaian Perkara Desersi
Ciri utama tindak pidana desersi ditunjukkan dengan perbuatan ketidakhadiran tanpa izin seorang militer pada suatu tempat yang ditentukan baginya, dimana yang bersangkutan seharusnya berada untuk melaksanakan kewajiban dinas. Di luar organisasi militer, perbuatan ketidakhadiran ini tidak ditentukan sebagai suatu kejahatan, akan tetapi dalam kehidupan militer ditentukan sebagai kejahatan dan kepada pelakunya dapat dijatuhi pidana penjara bahkan sampai pemidanaan yang paling berat yakni penjatuhan pidana pemecatan dari dinas militer. Pemberian sanksi tersebut sesuai dengan hakikat dan akibat dari tindak pidana desersi, dimana kesatuan yang bersangkutan tidak dapat mendayagunakan tenaga dan pikiran personel tersebut untuk melaksanakan tugas pokok.

Pelaksanaan persidangan tindak pidana desersi sering menemui hambatan dikarenakan pelakunya tidak kembali atau tidak berhasil ditangkap sehingga Terdakwa tidak bisa dihadirkan di persidangan. Akibatnya terjadi tunggakan penyelesaian perkara dan bagi kesatuan dapat berpengaruh terhadap pembinaan satuan dan pencapaian tugas pokok satuan sebagaimana dalam praktek peradilan, tindak pidana tersebut kerap menimbulkan kesulitan yang berkenaan dengan penentuan locus dan tempus delicti yang ada kaitannya dengan kompetensi pengadilan.

Adapun contohnya seperti seorang Kapten X anggota Kodam A mendapat perintah untuk mutasi ke Kodam Jayapura. Kemudian yang bersangkutan berdasarkan surat perintah dari Pangdam A telah melapor kepada atasannya untuk melaksanakan perintah mutasi ke Kodam Jayapura. Namun dalam kenyataannya, Kapten X tidak segera berangkat ke Kodam Jayapura, baru setelah lewat waktu enam bulan, Kapten X berangkat ke Makassar dan melapor kepada Komandan Satuan di Kodam Makasar. Selanjutnya Kapten X oleh atasannya diserahkan kepada Penyidik Polisi Militer karena diduga tidak hadir tanpa izin lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari.

Persoalan yang timbul dari posisi kasus tersebut adalah apakah Kapten X diduga melakukan desersi ? dimana locus delicti ? dan sejak kapan menentukan tempos delicti ? atau apakah yang bersangkutan melakukan tindak pidana insubordinasi ? (pembangkangan terhadap perintah dinas atau tidak melaksanakan perintah pindah kesatuan). 

Dilihat dari sudut tugas dan kewajiban Kapten X untuk berada di kesatuan guna melaksanakan tugas kewajibannya sebagai Perwira di Kodam Makassar, maka kepadanya dapat diterapkan tindak pidana desersi. Akan tetapi apabila penekanannya terhadap pelaksanaan surat perintah yang dikeluarkan Kodam A untuk melaksanakan mutasi, ternyata yang bersangkutan tidak melaksanakannya atau melaksanakan dengan semaunya, maka kepadanya dapat diterapkan pembangkangan atau insubordinasi. Demikian pula dari aspek tempos delicti, yakni sejak kapan Kapten X melakukan ketidakhadiran ? apakah setelah yang bersangkutan melapor kepada atasannya di Kodam A ?

Adapun untuk penerapan tindak pidana desersi, penentuan tempos delicti ini perlu diperhatikan untuk menentukan lama ketidakhadiran seorang prajurit di kesatuan. Demikian pula, harus ditentukan dimana kesatuan yang ia tinggalkan karena yang bersangkutan belum melapor ke tempat satuan baru. Kesulitan dalam praktek untuk menghadirkan para pelaku tindak pidana desersi ke muka sidang telah disadari oleh pembuat undang - undang. Oleh karena itu, pembuat undang - undang telah merumuskan secara limitatif dalam sebuah pasal untuk menyidangkan perkara desersi secara in absensia.

Persidangan Perkara Desersi secara in absensia
Ketentuan ini dimuat dan diatur dalam Undang - Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer atau dikenal dengan Kitab Undang - undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) merumuskan ke dalam beberapa pasal, yakni terdiri dari :

Pasal 124 ayat (4) Undang - Undang (UU) No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa dalam hal berkas perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, hal mana dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka bukan merupakan persyaratan lengkapnya suatu berkas perkara. Adapun substansi dari rumusan ketentuan Pasal 124 ayat (4) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yaitu :
  1. Bahwa pemeriksaan Tersangka bukan merupakan syarat formal; dan
  2. Pemberkasan perkara desersi yang dilaporkan oleh Satuan kepada Penyidik dapat dilakukan meskipun Tersangka tidak ada.
Dengan demikian dari substansi tersebut dapat disimpulkan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana desersi ini dilakukan tanpa hadirnya Tersangka sehingga dinamakan penyidikan perkara desersi in absensia.

Kemudian terhadap berkas hasil penyidikan ini akan disidangkan secara in absensia. Ketentuan formalitas tersebut terdapat permasalahan, yakni mengenai penentuan tempos delicti karena sampai kapan waktu desersi tersebut, apakah berakhirnya tindak pidana desersi ditentukan pada saat kasusnya dilakukan penyidikan atau pada saat perkaranya disidangkan meskipun pelaku tindak pidana desersi belum kembali.

Pasal 141 ayat (10) Undang - Undang (UU) No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa dalam perkara desersi yang Terdakwanya tidak diketemukan pemeriksaan dilaksanakan tanpa hadirnya Terdakwa. Apabila kita mencermati rumusan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa rumusannya bersifat imperatif yang artinya perintah yang tidak bisa dimaknai lain agar pengadilan menyidangkan perkara desersi secara in absensia

Dari rumusan ketentuan Pasal 141 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terdapat 2 (dua) hal pokok yang substansial, yakni :
  1. Terdakwanya tidak diketemukan; dan 
  2. Persidangan dilaksanakan secara in absensia.
Apabila kita cermati rumusan kata - kata "Terdakwanya …….", maka dapat dipahami bahwa untuk berkas tersebut Terdakwanya tidak ada ketika perkaranya akan disidangkan, maka persidangan dilaksanakan secara in absensia

Berbeda dengan rumusan Pasal 124 ayat (4) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menegaskan Tersangkanya yang tidak diketemukan maka penyidikan dilakukan secara in absensia. Permasalahannya, bagaimana apabila Terdakwa hadir di persidangan apakah pemeriksaan perkara tersebut bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan desersi biasa (bukan in absensia) atau harus dihentikan ?

Pasal 143 Undang - Undang (UU) No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Perkara tindak pidana desersi sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang Terdakwanya melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam waktu 6 (enam) bulan berturut - turut serta sudah diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturu t- turut secara sah, akan tetapi tidak hadir di persidangan tanpa suatu alasan dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa.

Adapun pada penjelasan Pasal 143 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merumuskan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan tanpa hadirnya Terdakwa dalam pengertian in absensia adalah pemeriksaan yang dilaksanakan supaya perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cepat demi tetap tegaknya disiplin prajurit dalam rangka menjaga keutuhan pasukan, termasuk dalam hal ini pelimpahan perkara yang Terdakwanya tidak pernah diperiksa karena sejak awal melarikan diri dan tidak diketemukan lagi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut - turut, untuk keabsahannya harus dikuatkan dengan surat dari keterangan Komandan atau Kepala Satuannya. 

Penghitungan tenggang waktu 6 (enam) bulan berturut - turut terhitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke Pengadilan. Adapun substansi dari rumusan ketentuan Pasal 143 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer memberikan persyaratan untuk Persidangan desersi secara in absensia, yaitu :
  1. Batas waktu berkas perkara adalah 6 (enam) bulan dihitung tanggal pelimpahan ke Pengadilan;
  2. Telah dipanggil menghadap persidangan sebanyak 3 (tiga) kali;
  3. Dapat dilaksanakan terhadap perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in absensia.
Apabila dicermati, persyaratan yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 143 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sudah bersifat limitative dan imperative, sehingga pengadilan hanya melaksanakan yang diperintahkan oleh undang - undang. 

Ternyata dalam prakteknya terdapat banyak permasalahan, terutamanya dihadapkan pada tuntutan satuan yang menghendaki percepatan penyelesaian agar cepat mendapatkan kepastian hukum karena dengan pertimbangan bahwa secara nyata prajurit tersebut sudah tidak ada lagi di kesatuan. Oleh karenanya ada pemikiran untuk menyimpangi ketentuan acara demi untuk percepatan, yakni:
  1. Apakah batas waktu 6 (enam) bulan dan pemanggilan sidang 3 (tiga) kali secara berturut - turut bersifat imperatif atau bersifat tentatif ?
  2. Bagaimana kemungkinan penyelesaian perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in absensia dengan perkara desersi yang Terdakwanya tidak hadir saja dalam sidang dikaitkan dengan ketentuan waktu ?
  3. Bagaimana untuk menentukan akhir dari pelaksanaan waktu desersi, apakah sampai pada saat perkara disidik atau ketika perkara disidangkan ?
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan inventarisasi permasalahan yang berkenaan dengan persidangan perkara desersi secara in absensia, yakni:
  1. Mengenai batasan tindak pidana desersi in absensia. Apakah desersi in absensia sebagai perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in absensia atau juga perkara desersi yang Terdakwanya tidak hadir dipersidangan ?
  2. Perkara desersi yang disidik secara in absensia, akan tetapi Terdakwa hadir di persidangan, dapatkah pemeriksaannya dilanjutkan ?
  3. Penerapan limit waktu 6 (enam) bulan dan tenggang waktu pemanggilan 3 (tiga) kali dalam penyelesaian perkara desersi in absensia apakah dapat disimpangi untuk alasan percepatan dan kepentingan pembinaan satuan ?
Upaya mengatasi masalah Desersi Secara in absensia
Untuk kesamaan pendapat dalam memecahkan perbedaan pendapat selama ini mengenai ketentuan pelaksanaan sidang perkara desersi secara in absensia dapat diketahui dari pendapat di bawah ini untuk dijadikan pedoman sebagai berikut :

Mengenai batasan tentang tindak pidana desersi in absensia
Pada awal penerapan Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, ada pihak yang berpendapat bahwa untuk perkara yang dapat disidangkan secara in absensia adalah tindak pidana desersi yang pelakunya tidak diketemukan lagi, sehingga penyidikan perkara tersebut dilakukan tanpa hadirnya Tersangka. Sehingga dengan berdasarkan pada penyidikan tersebut maka persidangannya juga dilakukan secara in absensia karena memang dari sejak awal sudah merupakan perkara in absensia.

Sebagaimana penjelasan tersebut berdasarkan ketentuan yang diatur pada Pasal 124 dan Penjelasan Pasal 143 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Konsekuensi yuridis dari pendapat ini yakni  apabila ternyata Terdakwa yang disidik secara in absensia hadir di persidangan, maka pemeriksaan harus ditunda dan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan secara in absensia tersebut di kembalikan kepada penyidik untuk memeriksa ulang Tersangka secara biasa. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapat ini menegaskan bahwa perkara desersi yang bisa disidangkan secara in absensia hanya perkara desersi yang disidik secara in absensia.

Adapun pendapat lainnya menegaskan bahwa persidangan perkara desersi secara in absensia dapat juga dilaksanakan terhadap perkara - perkara desersi yang penyidikannya tidak dilakukan secara in absensia, akan tetapi Terdakwanya setelah itu tidak diketemukan lagi sehingga tidak bisa dihadirkan di persidangan. Dengan demikian, menurut pendapat kedua ini, bahwa terhadap semua perkara desersi baik yang penyidikannya dilakukan secara in absensia maupun yang penyidikannya dilakukan secara biasa dapat disidangkan secara in absensia, apabila Terdakwanya tidak bisa dihadirkan di persidangan. Pendapat ini mendasarkan pemahamannya terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 141 ayat (10) dan Penjelasan Pasal 143 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

Persidangan perkara desersi yang disidik secara in absensia dalam kenyataan Terdakwa hadir.
Permasalahan ini apabila dihadapkan dengan pendapat yang kedua tidak ada permasalahan karena pendapat ini meletakkan persoalan pada ketidakhadiran Terdakwa pelaku desersi di persidangan. Sehingga dengan hadirnya Terdakwa di persidangan, maka sidang dapat dilanjutkan karena sebelumnya Terdakwa pernah diperiksa pada saat penyidikan. 

Lain halnya dengan pendapat pertama yang menimbulkan persoalan menjadi lain karena sebelumnya ketika dilakukan penyidikan Tersangka belum pernah diperiksa. Oleh karena Terdakwa hadir di persidangan ketika perkaranya akan diperiksa, maka persidangan harus dihentikan. Dalam keadaan ini apabila sidang belum dimulai maka Kepala Pengadilan membuat penetapan untuk mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Kaotmil dengan permintaan penyidik melakukan pemeriksaan Tersangka yang bersangkutan. Namun apabila sidang sudah dibuka, maka Hakim Ketua membuat penetapan pengembalian berkas perkara tersebut kepada Oditur dengan permintaan diteruskan kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan kepada Tersangka.

Tentang penerapan tenggang waktu selama 6 (enam) bulan, dan pemanggilan sebanyak 3 (tiga) kali
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 143 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan penjelasannya telah merumuskan secara tegas persyaratan untuk dapatnya tindak pidana desersi disidangkan secara in absensia yakni sebagai berikut :
  1. Terdakwanya tidak diketemukan lagi dalam waktu 6 (enam) bulan berturut - turut.
  2. Sudah dilakukan pemanggilan sebanyak 3 (tiga) kali berturut - turut secara sah.
Sebagai penjelasan dari syarat yang pertama bahwa tenggang waktu 6 (enam) bulan tersebut dihitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke pengadilan. Selanjutnya untuk membuktikan kebenaran bahwa benar Terdakwa sudah tidak diketemukan lagi harus dikuatkan dengan surat keterangan dari Komandan Kesatuannya. Mengenai syarat formalitas yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 143 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Milite terdapat perbedaan pendapat, yaitu :
  1. Pendapat pertama menyatakan bahwa syarat tersebut dapat diterobos sebagaimana aliran progresif ini menekankan bahwa efektifitas dan efisiensi suatu percepatan penyelesaian perkara menjadi pertimbangan utama sebagaimana pernyataan dari Komandan Kesatuan yang telah menyatakan Terdakwa sejak pergi meninggalkan kesatuan tidak pernah kembali lagi dan pada kenyataannya juga Terdakwa tidak kembali. Apabila persidangan lebih cepat, akan memberikan kepastian hukum dan juga kemudian kesatuan diuntungkan karena persoalan tersebut sudah tidak menjadi beban lagi. Oleh Karena itu, tenggang waktu 6 (enam) bulan dipandang sebagai hal yang berlarut - larut dan tidak efektif sebagaimana adagium yang menyatakan bahwa Menunda - nunda keadilan sama dengan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied).
  2. Pendapat kedua menyatakan bahwa rumusan Pasal 143 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan penjelasannya sudah sangat jelas, yakni rumusan tersebut bersifat limitative dan imperative karenanya kita hanya melaksanakan apa yang dinyatakan dan diperintahkan oleh undang - undang. Pendapat ini dilandasi pemikiran bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dan juga muaranya pada keadilan, maka hakim dan penegak hukum harus melaksanakan undang - undang. Penafsiran baru bisa dilakukan dalam rangka Rechts Vinding atau Rechts Schepping apabila undang - undangnya tidak jelas atau belum ada hukum yang mengaturnya. 
Ketentuan batas waktu 6 (enam) bulan berlaku juga bagi perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in absensia. Dengan demikian, pemeriksaan perkara desersi secara in absensia yang dilakukan tidak sesuai ketentuan perundang - undangan apapun alasan dan pertimbangannya tidak dibenarkan. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut bertentangan dengan persyaratan formal yang dirumuskan dalam peraturan perundang - undangan.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan pemanggilan yang ditentukan harus 3 (tiga) kali adalah apakah dimungkinkan melakukan pemeriksaan kepada saksi atau para saksi yang ternyata hadir dalam panggilan pertama atau kedua. Pertanyaan ini, sering disampaikan oleh hakim dari beberapa pengadilan militer yang pernah melakukan pemeriksaan saksi pada saat panggilan pertama.

Terhadap persoalan ini, ada yang memberikan pendapat sekaligus penekanan bahwa pemeriksaan perkara desersi secara in absensia adalah sama dengan pemeriksaan perkara - perkara lainnya. Adapun yang membedakan adalah sidang dilakukan tanpa kehadiran Terdakwa sehingga dapat dikatakan telah sesuai dengan hukum acara bahwa pemeriksaan saksi harus didengarkan oleh Terdakwa karena Terdakwa mempunyai hak untuk menyangkal keterangan dari saksi tersebut.

Dalam hal pemeriksaan perkara desersi secara in absensia, pemeriksaan Saksi dilaksanakan tanpa kehadiran Terdakwa, tentunya setelah sidang dinyatakan secara in absensia dan karenanya pemeriksaan saksi tersebut dibenarkan pelaksanaannya oleh hukum acara. Kapan hakim ketua menyatakan bahwa pemeriksaan perkara desersi dilakukan secara in absensia ? tentu saja sesudah Oditur melakukan pemanggilan 3 (tiga) kali secara sah. 

Oleh karena itu, dalam sidang pemanggilan yang pertama dan kedua bahwa sidang tersebut belum bisa dinyatakan sebagai pelaksanaan sidang secara in absensia. Dengan demikian, pemeriksaan Saksi tersebut tidak bisa dilaksanakan pada sidang pertama dan kedua. Hal yang dapat berakibat fatal apabila Saksi di periksa pada panggilan pertama adalaa jika ternyata pada panggilan yang kedua Terdakwa hadir di persidangan. Ada contoh kasus yang berkenaan dengan ketentuan pemanggilan 3 (tiga) kali ini, yaitu kasus desersi seorang Bintara suatu batalyon yang disidangkan pada Pengadilan Militer Bandung. 

Dalam panggilan sidang pertama, Terdakwa tidak hadir dan saat itu mendapat penjelasan dari Kasi Pers Batalyon bahwa Terdakwa masih desersi. Setelah lama tertunda pada sidang kedua Oditur tidak melakukan pemanggilan ulang dengan anggapan bahwa keadaan Terdakwa masih desersi dan karenanya mohon kepada Majelis Hakim agar perkara desersinya disidangkan secara in absensia. Kemudian majelis menyidangkan perkara tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa. 

Putusan tersebut disampaikan oleh Oditur kepada kesatuan Terdakwa dan tanpa disangka mendapat penjelasan dari Kesatuan bahwa Terdakwa sudah lama kembali dan pada saat sidang dilaksanakan Terdakwa saat itu sedang melaksanakan tugas operasi militer sementara putusan telah berkekuatan hukum tetap.

Mengenai penghitungan jangka waktu desersi
Terhadap permasalahan ini ada pendapat yang mengatakan bahwa penentuan waktu batas akhir desersi ketika perkara tersebut dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. Pendapat lainnya adalah menentukan batas waktu akhir desersi berdasarkan waktu ditandatanganinya Surat Keputusan penyerahan perkara (Skeppera) oleh Papera. Sedangkan pendapat ketiga, menyatakan bahwa batas waktu penentuan akhir desersi adalah pada saat pemeriksaan di Pengadilan.

Demikian penjelasan singkat mengenai hambatan penyelesaian perkara desersi pada peradilan militer, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih.

Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: