BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Pengertian dan Jenis-Jenis Kealpaan (Culpa)

Pengertian dan Jenis-Jenis Kealpaan (Culpa)
Di dalam peraturan perundang - undangan untuk menyatakan kealpaan digunakan berbagai macam istilah seperti :
  1. Schuld;
  2. Culpa;
  3. Onachtzaamhid;
  4. Emstige raden heef om te vermoeden
  5. Redelijkerwijs moetvermoeden; dan
  6. Moest verwachten.
Mengenai kealpaan ini, istilah yang sering digunakan yaitu schuld dan culpa yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti kesalahan. Adapun definisi kealpaan dalam arti sempit yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak sederajat seperti kesengajaan atau dapat dikatakan perbuatan yang kurang berhati - hati sehingga mengakibatkan terjadinya sesuatu yang tidak disengaja.

Penjelasan tentang culpa termuat dalam Memory van Toelichthing (MvT) sewaktu Menteri Kehakiman Belanda (Land Raad) mengajukan rancangan undang - undang hukum pidana, hal mana dalam pengajuan rancangan itu terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kelalaian sebagaimana berikut di bawah ini :
  1. Kekurangan pemikiran yang diperlukan;
  2. Kekurangan pengetahuan atau pengertian yang diperlukan; dan
  3. Kekurangan dalam kebijaksanaan yang disadari.
Adapun beberapa penafsiran mengenai kealpaan (culpa) dalam ilmu pengetahuan dan yurisprudensi menafsirkan sebagai een tekortaan voorzienigheid atau een manco aan voorzichtigheid yang jika ditafsirkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai suatu kekurangan untuk melihat jauh ke depan tentang kemungkinan timbulnya akibat - akibat atau suatu kekurangan akan sikap berhati - hati.

Beberapa para ahli dan pakar hukum menggunakan istilah yang berbeda - beda untuk menyebutkan pengertian yang sama dengan kekurang hati - hatian dan/ atau kurangnya perhatian sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan di atas seperti Pompe yang menggunakan istilah onachtzaamheid, kemudian Simmons menggunakan istilah gemis aan voorzichtigheid dan gemis aan voorzienbaarheid dan Van Bemmlen menggunakan istilah roekeloos yang kemudian menentukan bahwa kealpaan mengandung 2 (dua) syarat, yaitu :
  1. Tidak mengadakan penduga - duga sebagaimana diharuskan oleh hukum; dan
  2. Tidak mengadakan penghati - hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Adapun Sactohid Kartanegara (Sri Widyastuti 2005 : 40) merumuskan delik culpa seiring dengan Culpose Delicten yaitu sebagai suatu tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang hati - hati yang hukumannya tidak seberat seperti hukuman terhadap tindak pidana yang memiliki unsur kesengajaan (doleuse delicten). Adapun culpose delicten merupakan delik yang mempunyai unsur culpa atau kesalahan (schuld) sebagaimana contohnya dapat dilihat pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana di bawah ini :
  • Ketentuan Pasal 359 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa :
"Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama - lamanya 5 (lima) tahun atau kurungan selama - lamanya 1 (satu) tahun."
  • Ketentuan Pasal 188 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa :
"Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah), jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati."
Lamintang (1997 : 204) lebih lanjut mengemukakan pendapatnya mengenai delik culpa sebagai culpose delicten atau delik yang oleh pembentuk undang - undang telah disyaratkan bahwa delik tersebut terjadi dengan sengaja agar pelakunya dapat dihukum.

Adapun Hazenwinkel Suringa menentukan bahwa dalam ilmu pengetahuan hukum dan yurisprudensi mengartikan schuld, culpa (kealpaan) sebagai:
  1. Kekurangan penduga - duga; atau
  2. Kekurangan penghati - hati.
Adapun seperti diketahui terhadap delik culpa memiliki delik - delik yang berdiri sendiri sebagaimana ketentuan yang diatur dalam  Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang sering disebut juga sebagai delict culpoos yang sesungguhnya, yaitu delik - delik yang dirumuskan dengan perbuatan kealpaan yang menimbulkan suatu akibat tertentu seperti ketentuan yang termuat dalam :
  1. Ketentuan Pasal 188 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  2. Ketentuan Pasal 231 ayat (4) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  3. Ketentuan Pasal 232 ayat (3) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  4. Ketentuan Pasal 334 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  5. Ketentuan Pasal 359 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  6. Ketentuan Pasal 360 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  7. Ketentuan Pasal 409 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  8. Ketentuan Pasal 426 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  9. Ketentuan Pasal 427 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP); dan
  10. Ketentuan Pasal 477 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Sedangkan dalam menghadapi delict culpoos yang tidak sesungguhnya atau yang dikenal dengan istilah delict pro parte dolus pro parte culpa memakai unsur diketahui atau sepatutnya harus diduga, sehingga apabila salah satu dari bagian unsur tersebut sudah terpenuhi, maka sudah cukup untuk menjatuhkan pidana delict dolus. Walaupun demikian, persoalan yang terjadi di dalam delik culpa (kealpaan) yang tidak sesungguhnya menyebut dengan istilah elemen culpa yang ditempatkan sesudah opzet dengan ancaman pidana yang tidak berbeda seperti contoh pasal yang termuat dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) di bawah ini :
  1. Ketentuan Pasal 283 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  2. Ketentuan Pasal 287 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  3. Ketentuan Pasal 288 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  4. Ketentuan Pasal 290 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  5. Ketentuan Pasal 292 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  6. Ketentuan Pasal 293 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  7. Ketentuan Pasal 418 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  8. Ketentuan Pasal 480 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  9. Ketentuan Pasal 483 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP); dan 
  10. Ketentuan Pasal 484 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Jika dasar adanya suatu kealpaan adalah merupakan kelakuan terdakwa yang tidak sengaja dengan kurang memperhatikan terhadap objek yang dilindungi oleh hukum, maka dasar hukum untuk memberikan pidana terhadap delik culpa (kealpaan) yaitu kepentingan penghidupan masyarakat yang mengharapkan setiap anggota memasyarakatkan dalam melakukan perbuatan untuk berusaha sedemikian rupa dalam memperhatikan kepentingan hukum sesama anggota masyarakat sehingga tidak berbuat lagi dan jika tidak maka yang bersangkutan harus bertanggung jawab dengan bentuk pertanggungjawabannya yaitu pidana. Sehingga dapat dikatakan dalam delik culpa (kealpaan) diartikan sebagai :
  1. Suatu perbuatan yang tidak dengan sengaja yang karena kurang perhatian terhadap objek yang dilindungi hukum;
  2. Suatu perbuatan yang tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh hukum;
  3. Suatu perbuatan yang tidak mengindahkan larangan peraturan hukum;
  4. Suatu jenis kesalahan menurut hukum pidana; dan
  5. Delik yang bagi pembuatnya mempunyai pertanggungjawaban yang berdiri sendiri.
Dibandingkan dengan bentuk kesengajaan, dapat dikatakan bahwa bentuk kealpaan itu merupakan jenis kesalahan yang mempunyai dasar yang sama dengan bentuk kesengajaan yaitu harus terjadi perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana), dan harus adanya kemampuan bertanggungjawab dengan tanpa adanya alasan penghapus kesalahan berupa pemaaf.

Jenis - Jenis Kealpaan (Culpa)
Kealpaan (culpa) dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
  1. Culpa Levissima; dan 
  2. Culpa Lata.
Culpa Levissima
Culpa levissima atau lichtste schuld memiliki arti sebagai kealpaan yang ringan. Adapun mengenai culpa levissima ini sering dijumpai dalam beberapa jenis kejahatan karena sifatnya yang ringan, akan tetapi culpa levissima dapat juga ditemukan di dalam Buku III Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai pelanggaran. Perlu diketahui juga terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa culpa levissima tidak diperhatikan oleh undang - undang sehingga tidak diancam pidana.

Culpa Lata
Adapun culpa lata atau merkelijke schuld atau grove schuld memiliki arti sebagai kealpaan berat, hal mana culpa lata dipandang tersimpul di dalam kejahatan karena kealpaan.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara pengertian kealpaan pada umumnya dengan kealpaan menurut hukum pidana  yang memiliki arti lebih khusus dan relevan dengan hukum pidana walaupun dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan arti dari pada kealpaan. Para ahli kemudian memberikan doktrin tentang kealpaan sebagaimana dikemukakan oleh Vos (Bambang Poerrnomo 1992 : 174) yang menyatakan bahwa culpa memiliki 2 (dua) elemen yang terdiri dari :
  1. Tidak mengadakan penduga - duga terhadap akibat bagi si pembuat (voorzien-baarheid);
  2. Tidak mengadakan penghati - hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat (onvoorzictigheid).
Mengenai isi kealpaan yang pertama bahwa mengadakan penduga - duga terhadap akibat, berarti disini harus diletakkan adanya hubungan antara batin terdakwa dengan akibat yang timbul, bahkan perlu dicari hubungan kasual antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang dilarang.

Mengenai kurang atau tidak mengadakan penghati - hati apa yang diperbuat itu oleh Vos (Bambang Poenormo 1992 : 175) diadakan perincian adanya 2 (dua) hal yang diperlukan yaitu :
  1. Pembuat tidak berbuat secara hati- hati menurut yang semestinya seperti contohnya tukang cat yang membersihkan pakaian kerja dengan bensin dekat dapur);
  2. Pembuat telah berbuat dengan hati - hati, akan tetapi perbuatannya pada pokoknya tidak boleh dilakukan seperti contohnya seseorang yang membuat mercon dengan sangat hati-hati, namun tetap terjadi kebakaran.
Tidak mengadakan penghati - hati ini yang menjadi pusat perhatiannya mengenai penilaian tentang apa yang dilakukan oleh pembuat bahwa apa yang diperbuat dicocokkan dengan penginsyafan batin terdakwa terhadap aturan - aturan hukum. 

Tugas untuk menentukan syarat yang kedua dari culpa ini lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan untuk menentukan syarat pertama. Di dalam praktek syarat tidak mengadakan penghati - hati dalam pengertian sub a atau sub b tersebut di atas itulah mudah dilihat sebagai hubungan yang erat atau yang paling dekat dengan culpa, oleh karena itu bagi jaksa sudah selayaknya harus menuduhkan dan membuktikan tentang tindak mengadakan penghati - hati dari terdakwa. Jadi ada 2 (dua) jalan yang dapat diikuti di dalam praktek yaitu : 
  1. Lebih memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati - hati dalam pengertian pembuat tidak berbuat secara hati - hati menurut yang semestinya atau pembuat telah berbuat dengan hati - hati akan tetapi perbuatannya itu sesungguhnya tidak boleh dilakukan karena hal itu lebih mudah dilihat sebagaimana hubungan yang erat atau paling dekat dengan culpa sehingga lebih mudah menuduhkan dan membuktikan;
  2. Syarat tidak mengadakan penghati - hati lebih penting guna menentukan adanya culpa karena barang siapa melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati - hati yang seperlunya maka ia juga tidak mengadakan penduga - duga akan terjadinya akibat yang tertentu dari kelakuannya. 
Perbedaan antara 2 (dua) jalan itu dalam praktek untuk yang pertama bagi terdakwa masih dapat membuat tangkisannya bahwa tidak mungkin untuk mengadakan penduga - duga sedangkan yang kedua, kalau sudah terbukti berarti implicit tidak mengadakan penduga - duga dalam hal karena tidak mengadakan penghati - hati. Jalan yang pertama masih mengenal hak asasi terdakwa. Timbul pertanyaan sampai dimana adanya kurang berhati - hati sehingga si pelaku harus dihukum. Hal kesengajaan tidak menimbulkan pertanyaan ini karena kesengajaan adalah berupa suatu keadaan batin yang tegas dari seorang pelaku. Lain halnya dengan kurang berhati - hati yang sifatnya bertingkat - tingkat. Ada orang yang dalam melakukan sesuatu pekerjaan sangat berhati - hati, ada juga yang tidak berhati-hati, ada juga kurang berhati-hati, sehingga menjadi serampangang atau ugal - ugalan.

Menurut Memorie van Toelichting (MvT) atau risalah penjelasan undang - undang, culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan sedangkan Rusli Effendy (1989 : 85) menginterprestasikan culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati - hati. Demikian penjelasan singkat mengenai pengertian dan jenis - jenis kealpaan (culpa) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: