BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Persangkaan

Persangkaan
Pada dasarnya persangkaan merupakan salah satu alat bukti yang dipergunakan dalam sistem peradilan di Negara Indonesia yang memiliki sifat tidak langsung seperti contohnya dapat kita ketahui dari pembuktian ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu yang kemudian membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama di tempat lain. Adapun menurut ilmu pengetahuan menentukan bahwa persangkaan sebagai bukti yang tidak langsung yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yang terdiri dari :
  1. Persangkaan berdasarkan Kenyataan; dan
  2. Persangkaan berdasarkan Hukum.


Persangkaan berdasarkan Kenyataan
Persangkaan berdasarkan kenyataan atau yang dikenal dengan istilah feitelijke atau rechterlijke vermoedens atau paesumptiones facti. Dalam hal ini hakim lah yang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah mungkin dan seberapa jauh kah kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain.

Persangkaan berdasarkan Hukum
Persangkaan berdasarkan hukum atau yang dikenal dengan istilah wettelijke atau rechts vermoedens atau praesumptiones juris. Adapun dalam hal ini ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undanganlah yang memiliki kewenangan untuk menetapkan hubungan yang harus dibuktikan antara suatu peristiwa yang diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.

Sedangkan persangkaan berdasarkan hukum ini dibagi ke dalam 2 (dua) bagian yang terdiri dari:
  1. Persangkaan dengan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan atau yang dikenal dengan istilah Praesumptiones juris tantum; dan
  2. Persangkaan dengan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan atau yang dikenal dengan istilah Praesumptiones juris et de jure.
Adapun ketentuan pasal yang mengatur tentang persangkaan dalam peraturan perundang - undangan Indonesia adalah sebagai berikut :
  1. Ketentuan Pasal 173 Herzien Inlandsch Reglement (HIR);
  2. Ketentuan Pasal 310 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg); dan
  3. Ketentuan Pasal 1915 sampai dengan ketentuan Pasal 1922 Burgerlijk Wetboek (BW).
Pengertian alat bukti persangkaan terdapat dalam Pasal 1915 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1915 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), klasifikasi persangkaan terdiri dari:
  1. Persangkaan menurut undang-undang; dan 
  2. Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 1915 Burgerlijk Wetboek (BW) yang pada dasarnya menyatakan bahwa persangkaan merupakan suatu kesimpulan - kesimpulan yang oleh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata ke arah peristiwa lain yang terang kenyataannya. 



Menurut Yahya Harahap dalam bukunya "Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan" (hlm. 688), persangkaan terdiri dari:
  1. Persangkaan Menurut Undang-Undang; dan
  2. Persangkaan Hakim atau Persangkaan yang Tidak Berdasarkan Undang-Undang;
Persangkaan Menurut Undang-Undang
Disebut juga persangkaan hukum (rehtsvermoeden) atau persangkaan undang-undang (wettelijke vermoeden). Dalam penulisan sering juga disebut presumtiones juris (presumption of law). Bentuk persangkaan undang-undang terbagi menjadi 2 (dua), yakni:
  1. Persangkaan menurut undang-undang yang tidak dapat dibantah atau irrebuttable presumption of law; dan
  2. Persangkaan menurut undang-undang yang dapat dibantah atau rebuttable presumption of law.
Menurut Subekti sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap dalam buku yang sama (hlm. 688-689), pengertian persangkaan dalam undang-undang digariskan pada Pasal 1916 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yakni Persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu.

Lebih lanjut kemudian dijelaskan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1916 Burgerlijk Wetboek (BW) menyatakan bahwa persangkaan-persangkaan yang oleh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang diantaranya yaitu:
  1. Perbuatan yang oleh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dinyatakan batal karena dari sifat dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
  2. Peristiwa-peristiwa yang menurut ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat dijadikan kesimpulan guna mendapatkan hak kepemilikan atau bebas dari hutang;
  3. Kekuatan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada keputusan hakim (res judicata); dan
  4. Kekuatan yang diberikan peraturan perundang-undangan oleh pengakuan atau sumpah dari salah satu pihak.
Persangkaan Hakim atau Persangkaan yang Tidak Berdasarkan Undang-Undang
Pengaturan tentang Persangkaan Hakim terdapat dalam Pasal 1922 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim yang dalam hal ini tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan yang lain.

Persangkaan-persangkaan yang demikian hanya boleh diperhatikan apabila peraturan perundang-undangan memberikan izin untuk pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila terhadap suatu perbuatan atau suatu akta diajukan suatu bantahan dengan alasan-alasan adanya itikad buruk atau penipuan.

Persangkaan hakim merupakan lawan dari persangkaan undang-undang, yaitu persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dalam Common Law disebut presumption of fact atau provisional presumption yang keadaannya tidak lain daripada circumstantial evidence, yakni bukti dari suatu fakta dan kejadian. 

Misalnya, menyimpulkan seseorang berada di suatu tempat atau tidak berdasarkan keadaan atau fakta tertentu. Merujuk pada ketentuan Pasal 173 HIR dan Pasal 1922 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), pengertian persangkaan hakim adalah:
  1. Persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta (fetelijke vermoeden) atau (presumptiones facti) yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak menyusun persangkaan;
  2. Hal ini dilakukan oleh hakim karena undang-undang sendiri memberi kewenangan kepadanya berupa kebebasan menyusun persangkaan.


Dari penjelasan di atas, undang-undang menyerahkan kepada pendapat dan pertimbangan hakim untuk mengkonstruksi alat bukti persangkaan yang bertitik tolak atau bersumber dari suatu alat bukti yang telah ada dalam persidangan. Dari mana atau dari pihak mana data atau fakta itu diambil hakim adalah bebas. 

Boleh dari fakta yang dikemukakan penggugat, bisa juga dari fakta yang diajukan oleh tergugat. Adapun yang jadi syarat patokan, fakta atau data yang dijadikan sumber menarik alat bukti persangkaan itu sudah terbukti dalam persidangan.

Sebagai contoh, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1137 K/Pdt/1984 yang dalam persidangan hakim menemukan fakta-fakta keingkaran pada Tergugat menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, yaitu dari 13 (tiga belas) kali persidangan, Tergugat II hanya satu kali hadir sedangkan sidang-sidang selebihnya para Tergugat tidak hadir. 

Berdasarkan fakta yang telah terbukti itu, hakim menarik persangkaan bahwa tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang sah dianggap sebagai pengakuan atas dalil penggugat dan sekaligus juga menguatkan persangkaan atas kebenaran keingkaran para Tergugat menyerahkan objek barang terperkara.

Jadi persangkaan itu adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan hakim merupakan jenis dari persangkaan sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Perdata. 

Adapun yang membedakan keduanya adalah asal dari mana kesimpulan atau persangkaan tersebut ditarik. Kalau persangkaan undang-undang berdasarkan ketentuan khusus dari undang-undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu, sedangkan persangkaan hakim adalah persangkaan yang ditarik oleh hakim berdasarkan fakta atau kenyataan atau bersumber dari fakta yang telah terbukti dalam persidangan.

Adapun mengenai persangkaan menurut peraturan perundang-undangan yang tidak menguntungkan pembuktian lawan dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 1921 ayat (2) Burgerlijk Wetboek (BW) yakni yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu (vide: Pasal 184, Pasal 911 dan Pasal 1618 Burgerlijk Wetboek).

Perlu diketahui bahwa persangkaan yang tidak memungkinkan bukti lawan pada hakikatnya bukanlah sebuah persangkaan seperti contohnya pada persangkaan menurut ketentuan yang dimuat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan pembuktian lawan misalnya:
  1. Ketentuan Pasal 159 Burgerlijk Wetboek (BW);
  2. Ketentuan Pasal 633 Burgerlijk Wetboek (BW);
  3. Ketentuan Pasal 658 Burgerlijk Wetboek (BW);
  4. Ketentuan Pasal 662 Burgerlijk Wetboek (BW);
  5. Ketentuan Pasal 1394 Burgerlijk Wetboek (BW);
  6. Ketentuan Pasal 1439 Burgerlijk Wetboek (BW);
  7. Ketentuan Pasal 42 Peraturan Kepailitan; dan
  8. Ketentuan Pasal 44 Peraturan Kepailitan.
Demikian penjelasan singkat tentang persangkaan yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga artikel ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.

Pengunjung juga membaca:
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: