BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Dampak Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law)

Dampak Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law)
Dengan ditetapkannya rancangan undang - undang cipta kerja (omnibus law) menimbulkan polemik dan pertentangan di kalangan masyarakat luas terkhususnya bagi kalangan buruh yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya undang - undang tersebut, berikut beberapa ketentuan yang menuai tanggapan dari para buruh terhadap pemberlakuan undang - undang tersebut di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dirangkum di bawah ini :
  1. Jam Kerja Lembur
    Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 78 ayat (1) huruf (b) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menentukan bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh melebihi waktu kerja (lembur) hanya dapat dilakukan paling lama 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Jika dibandingkan dengan ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 78 ayat (1) huruf (b) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menentukan bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh melebihi waktu kerja (lembur) hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu, hal mana terdapat penambahan maksimal jam lembur untuk para pekerja atau buruh.
  2. Waktu Istirahat 
    Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 79 ayat (2) huruf (b) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menentukan bahwa istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Jika dibandingkan dengan ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 79 ayat (2) huruf (b) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menentukan bahwa istirahat mingguan para pekerja atau buruh yaitu 1 (satu) hari dalam 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, hal mana pada rumusan pasal tersebut mengalami perubahan yakni ketentuan istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu dihapuskan. 
  3. Dasar Pemberian Upah
    Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 88 B Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menentukan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/ atau satuan hasil, hal mana ketentuan ini mengatur standar pengupahan yang menimbulkan potensi adanya pemberian upah kerja per jam yang dilakukan pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh atau pekerja.
  4. Penentuan Upah Minimum
    Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 88 C ayat (1) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menentukan bahwa Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman yang merupakan upah minimum provinsi, hal mana pada ketentuan yang diatur dalam pasal ini menimbulkan potensi dihapusnya Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/ Kota (UMSK) karena penetapan upah minimum buruh atau pekerja pada rancangan undang - undang ini berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP).
  5. Pekerja Waktu Tertentu
    Dalam Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 59 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengatur tentang perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau yang dikenal pada umumnya dengan istilah pekerja kontrak itu dihapus sehingga dengan dihapusnya ketentuan pasal ini dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) ini, maka menurut beberapa pihak menyatakan bahwa sudah tidak ada lagi batas waktu sampai kapan buruh atau pekerja dikontrak untuk dapat diangkat menjadi karyawan tetap atau dengan kata lain pengangkatan buruh atau pekerja tergantung sepenuhnya terhadap kebijakan pengusaha atau pemberi kerja. Potensi lain yang akan timbul kemudian menurut beberapa pihak juga tidak adanya kepastian akan jaminan pensiun yang diberikan oleh pemberi kerja atau pengusaha kepada buruh atau pekerja akibat tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian kerja waktu tertentu dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) ini.
  6. Uang Penghargaan Masa Kerja
    Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 156 ayat (3) Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menentukan besaran uang penghargaan untuk masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih yakni para buruh atau pekerja mendapatkan uang penghargaan sebesar 8 (delapan) bulan upah, hal mana pada ketentuan yang diatur dalam Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja ini menurunkan uang penghargaan masa kerja yang harus diterima oleh para buruh atau pekerja. Hal ini disebabkan karena dihapusnya ketentuan yang diatur pada Pasal 156 ayat (3) poin (h) yang menentukan  uang penghargaan masa kerja untuk masa kerja selama 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih yang seharusnya buruh atau pekerja mendapatkan uang penghargaan sebesar 10 (sepuluh) bulan upah.
  7. Tenaga Kerja Asing
    Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 42 Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) banyak menyatakan bahwa pada ketentuan ini memberikan kemudahan kepada para pekerja asing yang bekerja di Indonesia, hal mana menurut pendapat beberapa pihak bahwa dalam ketentuan tersebut terdapat perubahan yakni setiap pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) diwajibkan memiliki pengesahan rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Pemerintah Pusat. Adapun ketentuan pada Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) ini berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang memerlukan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Selain pada bidang ketenagakerjaan yang menuai polemik dan kontroversi di masyarakat luas beredar juga informasi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada bidang lingkungan hidup mendapatkan sorotan dan pertentangan dari beberapa pihak sebagaimana dirangkum di bawah ini :
  1. Proteksi lingkungan tidak ditegaskan sebagai bagian dari keputusan industri;
  2. Tak ada lagi Komisi Penilai Amdal;
  3. Izin lingkungan untuk perusahaan dihapus dan diganti dengan persetujuan lingkungan dari pemerintah;
  4. 9 (sembilan) kriteria usaha berdampak penting dihapuskan;
  5. Penilaian amdal di monopoli pemerintah, bukan lagi pihak ketiga yang independen;
  6. Aktivis atau pengamat atau ahli lingkungan tidak lagi terlibat dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal);
  7. Tidak ada penegasan informasi kelayakan lingkungan hidup dalam investasi mudah diakses masyarakat;
  8. Pengawasan dan sanksi administratif terhadap industri menjalanakan proteksi lingkungan sepenuhnya oleh pemerintah pusat;
  9. Jenis sanksi administratif ditiadakan; dan
  10. Tertutup pintu gugatan akibat kerusakan lingkungan.
Adapun jika ingin melihat dan membaca isi Rancangan Undang - Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tersebar di media, para pembaca dapat melihat atau mendownload file rancangannya : disini

Demikian penjelasan singkat mengenai Dampak Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: