BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP

Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP.
  1. Grasi (Gratia);
  2. Amnesti; dan
  3. Abolisi.
Grasi (Gratia)
Perlu diketahui bahwa pemberian grasi tidak menghilangkan putusan hakim kepada orang yang menjalani pidana (terpidana), akan tetapi keputusan hakim tetap ada hanya saja pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi atau diringankan. Adapun pemberian grasi (gratia) yang diberikan oleh presiden dapat berupa :
  1. Tidak mengeksekusi seluruhnya;
  2. Hanya mengeksekusi sebagian saja; dan
  3. Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti misalnya seperti :
    • Pidana penjara diganti dengan pidana kurungan;
    • Pidana kurungan diganti dengan pidana denda; dan
    • Pidana mati diganti dengan pidana penjara seumur hidup.
Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan dan yang apabila secara memadai sebelumnya diketahui akan mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi sekalipun. Grasi (gratia) dapat dikabulkan mana kala hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri.

Perihal prosedur grasi (gratia) diatur dalam Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, hal mana pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2002 tentang grasi menentukan kriteria - kriteria orang yang dapat mengajukan grasi (gratia) bahwa yang dapat mengajukan grasi adalah :
  1. Orang yang dijatuhi putusan pidana mati;
  2. Orang yang dijatuhi putusan pidana penjara seumur hidup; dan
  3. Orang yang dijatuhi putusan pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. 
Dalam ketentuan yang diatur pada Pasal 2 ayat (3) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang grasi menentukan bahwa permohonan grasi (gratia) hanya dapat diajukan oleh orang yang menjalankan pidana sebanyak 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
  1. Terpidana atau orang yang sementara menjalani masa pidananya yang sebelumnya pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;
  2. Terpidana atau orang yang sementara menjalani masa pidananya yang pernah diberikan grasi (gratia) dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Sementara itu, ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi menentukan bahwa permohonan grasi (gratia) tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan yang dijatuhkan pidana mati. Adapun permohonan grasi (gratia) sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi dapat diajukan oleh :
  1. Terpidana itu sendiri (vide: Pasal 6 ayat (1) Undang - Undang Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi)
  2. Kuasa hukum dari terpidana (vide: Pasal 6 ayat (1) Undang - Undang Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi)
  3. Keluarga terpidana dengan persetujuan dari terpidana dan jika terpidana dijatuhi pidana mati, maka dapat diajukan tanpa persetujuan dari terpidana (vide: Pasal 6 ayat (2) dan (3) Undang - Undang Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi)
Adapun permohonan grasi (gratia) diajukan secara tertulis oleh salah satu yang disebutkan di atas kepada Presiden, hal mana salinan permohonannya disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi. 

Permohonan grasi (gratia) dan salinannya dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) tempat terpidana menjalani pidana sebagaimana diatur pada Pasal 8 ayat (3) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi kemudian Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi (gratia) tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi (gratia) dan salinannya.

Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi (gratia), pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung (MA) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi dan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung (MA) mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi. 

Presiden kemudian memberikan keputusan atas permohonan grasi (gratia) tersebut setelah memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA). Adapun jangka waktu pemberian atau penolakan grasi (gratia) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 22 tahun 2002 tentang Grasi. Adapun pada Keputusan Presiden terhadap permohonan grasi (gratia) tersebut dapat berupa :
  1. Pemberian grasi; atau 
  2. Penolakan grasi.
Amnesti
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum yang diterbitkan dalam suatu aturan perundang - undangan yang memuat pencabutan semua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataup bukan, mereka yang identitasnya diketahui atau tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. 

Oleh karena itu, amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi). Perlu diketahui juga dalam prakteknya amnesti diberikan kepada terpidana salah satunya alasan yaitu karena alasan politik.

Abolisi
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Adapun abolisi mengandung pengertian sebagai penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang dalam hal ini mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman, seluruh akibat penjatuhan putusan termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah dimulai.

Demikian penjelasan singkat mengenai ketentuan gugurnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana di luar Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP), semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: