BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hilangnya Kewenangan Menuntut Karena Ne bis in idem

Hilangnya Kewenangan Menuntut dan Menjalankan Pidana Karena Ne bis in idem
Adapun arti sebenarnya dari ne bis in idem adalah tidak atau jangan dua kali yang sama atau istilah yang juga sering digunakan dengan sebutan nemodebet bis vexari yang dapat diartikan sebagai tidak seorang pun atas perbuatannya dapat diganggu atau dibahayakan untuk kedua kalinya atau dalam literatur Anglo Saxon diterjemahkan menjadi No one could be put twice in jeopardy for tha same offerice

Landasan pemikiran dari asas ini adalah untuk menjaga martabat pengadilan sehingga dengan adanya asas ini tidak memerosotkan kewibawaan negara dan juga dapat memberikan kepastian hukum bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan. Diakuinya asas ne bis in idem ini terlihat dalam rumusan Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa :
“Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.
Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasarkan neb is in idem, apabila dipenuhi syarat - syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang - undangan, yakni :
  1. Adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap;
  2. Orang (subjek) terhadap putusan yang akan dijatuhkan adalah orang yang sama; dan
  3. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum atau upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 76 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap asas ne bis in idem sebenarnya tidak perlu. Sehingga menurut beberapa pendapat dari para sarjana menyatakan bahwa dengan adanya peninjauan kembali (herzeining) dapat diartikan putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama sehingga bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.

Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
Keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara yang bersangkutan yang dapat berupa :
  1. Pembebasan (vrijspraak) sebagaimana ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (dulu 313 RIB);
  2. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (dulu 314 RIB);
  3. Penjatuhan Pidana sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (dulu 315 RIB).
Jadi dapat dikatakan keputusan - keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya suatu tindak pidana atau kesalahan dari terdakwa. Adapun asas ne bis in idem ini tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara atau yang biasanya disebut dengan penetapan (beschikking), seperti penetapan tentang :
  1. Tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;
  2. Tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan; dan
  3. Tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.
Adanya penetapan - penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenai penetapan - penetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusan - putusan hakim seperti dikemukakan di atas adalah putusan yang menyangkut perkara pidana sehingga keputusannya mengenai hukum pidana.

Seperti contohnya ketika seorang pengendara motor menabrak penjual coto makassar dan pengendara motor tersebut dituntut secara perdata oleh penjual coto makassar untuk memberikan ganti rugi, maka putusan hakim mengenai hal tersebut tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya sehingga dapat dikatakan dalam hal ini tidak ada neb is in idem. Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adalah perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini tidak merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata. Jadi dapat ditegaskan bahwa ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 76 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) hanya berlaku untuk perkara - perkara pidana.

Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya berlaku pada keputusan hakim di Indonesia saja, akan tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini disebutkan dalam ketentuan Pasal 76 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :
  1. Putusan yang berupa pembebasan
    Dengan syarat - syarat di atas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi. Dalam pengertian telah dijalani seluruhnya, putusan hakim asing itu menurut Pompe termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan bersyarat (voorwaardelijke invrijheidstelling).
  2. Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum
    Orang yang dituntut harus sama, hal mana merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama - sama, akan tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya A dibebaskan.
  3. Putusan berupa pemidanaan :
    • Pemidanaan yang seluruhnya telah dijalani; 
    • Pemidanaan yang telah diberi ampun (grasi); atau
    • Pemidanaan yang terdapat kewenangan untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.
Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Harus ada feit atau perbuatan yang sama, hal ini merupakan segi obyektif dari neb is in idem (objective identiteit). Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperti halnya dijumpai dalam concursus atau gabungan tindak pidana. Seperti contohnya si A melakukan pemerkosaan di jalan umum (vide: Pasal 285 dan 281 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP)). Seandainya Jaksa hanya menuntut berdasarkan ketentuan yang diatur pada Pasal 285 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) (pemerkosaan) saja dan ternyata di persidangan tidak terbukti kemudian terdakwa lepas dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang kedua kalinya berdasar ketentuan yang diatur dalam Pasal 281 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) (melanggar kesusilaan dimuka umum) dan apakah putusan yang pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is in idem) ?

Jawaban terhadap masalah ini tergantung pada apa yang dimaksud dengan feit. Kalau pada kasus tersebut di atas dipandang telah melakukan beberapa perbuatan tindak pidana (concursus realis), hal mana dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan yang dimungkinkan terdapat penuntutan lagi. Akan tetapi, apabila dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang pada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan hanya satu kali penuntutan saja. Dengan kata lain apabila dipandang sebagai concursus realis, maka tidak ada neb is in idem dan apabila dipandang sebagai concursus idealis, maka ada neb is in idem.

Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada tahun 1932, yaitu dengan Arrest Hoge Raad tanggal 27 Juni 1932 tentang orang yang sedang mabuk di tempat umum  yang kemudian mengganggu ketentraman umum lalu memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugasnya. 

Mula - mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (vide: Pasal 356 ayat 2 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP)), kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai mengganggu ketentraman umum dalam keadaan mabuk (vide: Pasal 492 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP)) dan pada tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi pidana. Kemudian Terdakwa mengajukan banding dan pengadilan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan yang dipandang dari sudut hukum pidana, jadi menurutnya tidak ada perbuatan yang sama seperti dimaksud dalam ketentuan Pasal 76 dan juga terdapat ciri yang berlainan sehingga tuntutan jaksa dapat diterima.

Persoalan feit atau perbuatan yang diatur pada ketentuan Pasal 76 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) disamping berkaitan erat dengan masalah concursus juga berhubungan dengan masalah alternatif dalam tuduhan yang dapat meliputi masalah :
  1. Perbuatannya atau ketentuan yang dilanggar
    Misalnya seperti perbuatan A yang sebenarnya dapat dikualifikasi dalam 3 (tiga) kemungkinan yaitu :
    • Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 338 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
    • Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP); dan
    • Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP)
  2. Waktu terjadinya tindak pidana
    Misalnya seperti seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tanggal 1 Juni 1999, akan tetapi di dalam surat tuduhan tercantum tanggal 1 Juni 1989. Apabila terdakwa dibebaskan karena tuduhan pencurian tercantum tanggal 1 Juni 1989, maka Jaksa tidak dapat menuntut lagi berdasakan tanggal yang betul karena telah terdapat neb is in idem. Dalam hal ini sebenarnya sebelum ada putusan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat mengajukan permintaan untuk merubah surat tuduhan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 282 HIR dengan syarat feitnya tetap.
  3. Tempat terjadinya tindak pidana.
    Misalnya seperti terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro kemudian dibebaskan. Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi berdasarkan tempat pencurian yang sebenarnya dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro. Dalam tuntutan ini pun terdapat neb is in idem, sehingga Jaksa tidak dapat lagi mengajukan tuntutan yang sama.
Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan feit diubah menjadi strafbaarfeit. Dengan perubahan ini menurut Pompe menyatakan bahwa penerapan ketentuan Pasal 76 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) lebih mudah. Namun diakui bahwa itu berarti menyempitkan berlakunya ketentuan Pasal 76 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang diartikan kemungkinan penuntutan kembali menjadi longgar. Akan tetapi menurut Pompe, halangan dalam penuntutan baru dapat lebih merugikan kepentingan umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang - undang pidana dengan setepat - tepatnya.

Demikian penjelasan singkat mengenai gugurnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana karena Ne bis in idem yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih.

Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: