BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Gabungan Tindak Pidana (Concurcus, Samenloop)

Gabungan Tindak Pidana (Concurcus, Samenloop)
Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang, melakukan lebih dari satu tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pada orang tersebut, hal mana untuk tindak pidana tersebut belum ada putusan hakim diantaranya dan terhadap perkara - perkara pidana tersebut akan diperiksa serta di putus sekaligus. 

Di dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada definisi mengenai gabungan tindak pidana (samenloop, concursus), walaupun demikian dari rumusan pasal - pasal tersebut di atas diperoleh pengertian sebagaimana berikut di bahwa ini :
  1. Concursus idealis sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 63 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur suatu perbuatan masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana;
  2. Ada perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 64 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang seseorang melakukan beberapa perbuatan tersebut yang masing - masing merupakan kejahatan atau pelanggaran. Adapun perbuatan - perbuatan memiliki hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut; dan
  3. Pasal 65 sampai Pasal 71 KUHP yang mengatur tentang perbarengan perbuatan (concursus realis). 
Pengertian Gabungan Tindak Pidana 
Terdapat 2 (dua) kelompok pandangan mengenai persoalan gabungan tindak pidana (samenloop, concursus) yaitu kelompok yang memandang sebagai masalah pemberian pidana seperti yang dikemukan oleh Hazewinkel Suringa dan kelompok yang memandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana seperti yang dikemukakan oleh Pompe, Mezger dan Moelyatno. Adapun gabungan tindak pidana (samenloop, concursus) dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) dimuat dan dan diatur dalam ketentuan Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 yang terdiri dari :
  1. Pasal 63 KUHP yang mengatur tentang perbarengan peraturan (concursus idealis); 
  2. Pasal 64 KUHP yang mengatur tentang perbuatan berlanjut (delictum continuatum); dan
  3. Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 KUHP yang mengatur tentang perbarengan perbuatan (concursus realis). 
Adapun perbuatan - perbuatan yang dilakukan pada concursus realis dan perbuatan berlanjut yakni perbuatan yang belum memiliki keputusan dari hakim. Sebagaimana diketahui adanya istilah perbuatan (feit) dalam rumusan pasal - pasal tersebut di atas menimbulkan masalah yang cukup sulit, khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan perbuatan. 

Kesulitan ini timbul karena dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, hal mana perbuatan (feit) perlu ditinjau secara materiil dan secara fisik jasmaniah yang terlepas dari akibat dan unsur - unsur tambahan. Selain dari pada itu juga ada yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang dihubungkan dengan adanya akibat atau keadaan yang terlarang. Sehubungan dengan adanya kesulitan tersebut, maka para sarjana mengemukakan beberapa pendapat sebagaimana di bawah ini :
 
Hazewinkel Suringa
Dalam hal ini concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik maka mau tidak mau masuk pula dalam peraturan pidana lain seperti contohnya tindak pidana pemerkosaan di jalan umum yang tidak hanya tindak pidana pemerkosaan saja melainkan juga melanggar kesusilaan di muka umum (vide: Pasal 281 KUHP).

Pompe
Dalam hal ini concursus Idealis yaitu orang melakukan sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada 1 (satu) tujuan yang merupakan benda atau obyek peraturan hukum seperti contohnya seorang pria yang bersetubuh dengan anak kandung perempuannya yang belum cukup umur atau berusia 15 (lima belas) tahun, hal mana perbuatan ini masuk kedalam perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum cukup umur (vide: Pasal 294 KUHP) dan bersetubuh dengan wanita yang belum berusia 15 tahun di luar perkawinan (vide: Pasal 287 KUHP).

Taverne
Dalam hal ini concursus Idealis yaitu :
  1. Dipandang dari sudut hukum pidana ada 2 (dua) perbuatan atau lebih; dan
  2. Antara perbuatan - perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama lain.
Seperti contohnya orang yang dalam keadaan mabuk mengendarai mobil di waktu malam tanpa lampu. Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu “mengendarai mobil”, akan tetapi jika di lihat dari sudut hukum ada 2 (dua) perbuatan yang masing - masing dapat dipikirkan terlepas satu sama lain atau dengan kata lain dalam hal ini terdapat concursus realis, yaitu:
  1. Mengendarai mobil dalam keadaan mabuk (menggambarkan keadaan orang / pelakunya); dan 
  2. Mengendarai mobil tanpa lampu di waktu malam (menggambarkan keadaan mobilnya).
Van Bemmelen
Dalam hal ini concursus Idealis yaitu :
  1. Dengan melanggar satu kepentingan hukum; dan
  2. Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.
Seperti contohnya tindak pidana pemerkosaan di jalan umum, hal mana perbuatan tersebut melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 285 dan Pasal 281 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP). 

Simmons
Mengenai penjelasan M.v.T mengenai kriteria untuk adanya perbuatan berlanjut seperti dikemukakan di atas Simmons tidak sependapat mengenai syarat ada satu keputusan kehendak. Dalam hal ini Simons mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu :
"tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap - tiap kejahatan."
Berdasarkan pengertian yang luas ini, maka tidak perlu perbuatan - perbuatan itu sejenis karena asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan tujuan seperti contonnya ketikan untuk melampiaskan balas dendamnya kepada si B, si A melakukan serangkaian perbuatan - perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya si A membunuh si B.

Sistem Pemberian Pidana
Concursus Idealis
  1. Menurut ketentuan Pasal 63 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan 1 (satu) pidana pokok yang terberat seperti contohnya tindak pidana pemerkosaan di jalan umum yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dengan ancaman hukuman pidana 12 (dua belas) tahun penjara dan melanggar ketentuan Pasal 281 KUHP dengan ancaman pidana 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara. Maka yang bersangkutan hanya dapat dikenakan maksimum pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun.
  2. Apabila Hakim menghadapi pilihan antara 2 (dua) pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut vos ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
  3. Apabila menghadapi 2 (dua) pilihan antara 2 (dua) pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana yang terberat didasarkan pada urut - urutan jenis pidana seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 10 KUHP (vide: Pasal 69 ayat (1) Jo. Pasal 10 KUHP) jadi memilih antara 1 (satu) minggu penjara, 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah), maka pidana yang terberat adalah 1 (satu) minggu penjara.
  4. Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1) yang dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali”  seperti contohnya ketika seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan, hal mana perbuatan ibu tersebut dapat masuk dalam ketentuan Pasal 338 KUHP (15 tahun penjara) dan ketentuan Pasal 341 KUHP (7 tahun penjara) sehingga aksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam Pasal 341 KUHP (lex specialis) yaitu 7 (tujuh) tahun penjara.
Perbuatan berlanjut
  1. Menurut ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP, pada prinsipnya berlaku sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana dan jika berbeda - beda maka dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
  2. Pada ketentuan Pasal 64 ayat (2) KUHP merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang seperti contohnya si A setelah memalsukan mata uang (vide: Pasal 244) yang ancaman pidana penjara 15 (lima belas) tahun, kemudian si A menggunakan atau mengedarkan mata uang yang palsu tersebut (vide: Pasal 245 KUHP) yang ancaman pidana penjaranya selama 15 (lima belas) tahun. Maka dalam hal ini perbuatan si A tidak dipandang sebagai concursus realis, akan tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 (lima belas) tahun penjara.
  3. Ketentuan pada Pasal 64 ayat (3) KUHP merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan - kejahatan ringan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), Pasal 373 KUHP (penggelapan ringan), Pasal 379 KUHP (penipuan ringan) dan Pasal 407 ayat (1) KUHP (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan - kejahatan ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah), maka menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 64 ayat (3) KUHP dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa yakni Pasal 362 KUHP (pencurian), Pasal 372 KUHP (penggelapan), Pasal 378 (penipuan) atau Pasal 406 (perusakan barang).
Concursus Realis
Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis berlaku ketentuan Pasal 65 KUHP yaitu hanya dikenakan 1 (satu) pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah 1/3 (sepertiga) seperti contohnya :
  1. si X melakukan 3 (tiga) jenis kejahatan yang masing - masing diancam pidana 4 (empat) tahun penjara, 5 (lima) tahun penjara dan 9 (sembilan) tahun penjara. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 + (1/3 x 9) = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku sistem absorbsi yang dipertajam.
  2. Jika si X melakukan 2 (dua) jenis kejahatan yang masing - masing diancam pidana penjara 1 (satu) tahun dan 9 (sembilan) tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah ancaman pidananya yaitu 10 (sepuluh) tahun penjara karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masing - masing kejahatan tersebut.
Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku ketentuan Pasal 66 KUHP yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap - tiap kejahatan dijatuhkan, akan tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (sepertiga), sistem ini disebut dengan sistem kumulasi yang diperlunak seperti contohnya si X melakukan 2 (dua) jenis kejahatan yang masing - masing diancam pidana 9 (sembilan) bulan kurungan dan 2 (dua) tahun penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 (dua) tahun ditambah (1/3 x 2) tahun.

Bagaimanakah dalam hal si X melakukan 2 (dua) jenis kejahatan yang masing - masing diancam 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- (seribu rupiah) mengenai hal ini ada 2 (dua) pendapat, yaitu menurut Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- (seribu rupiah)

Kemudian menurut blok perhitungannya yaitu pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti yaitu maksimum 6 (enam) bulan (vide: Pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimunnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka 6 (enam) bulan ini dipecah menjadi 6 (enam) bulan penjara dan 2 (dua) bulan kurungan pengganti atau sama dengan 1/3 x Rp.1.000,- = Rp. 333,30,- atau dibulatkan menjadi Rp. 334,-. Perhitungan blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti tersebut masih didasarkan pada perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 18 tahun 1960, hal mana menurut perhitungan lama, hal mana setiap denda 50 (lima puluh) sen atau kurang dihitung sama dengan 1 (satu) hari kurungan pengganti, akan tetapi karena menurut ketentuan Pasal 30 ayat (3) KUHP maksimum kurungan pengganti 6 (enam) bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya kurungan penggantinya adalah 6 (enam) bulan.

Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka 1 (satu) hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- yaitu 50 sen dikalikan 15 jadi untuk denda Rp.1.000,- (seribu rupiah) maka kurungan penggantinya sama dengan 134 hari (dibulatkan). Dengan demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum 8 (delapan) bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 (enam) bulan penjara dan 2 (dua) bulan kurungan pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp.1.000,- = Rp. 447,76.

Bagaimanakah dalam hal x melakukan 2 (dua) jenis kejahatan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 351 KUHP yang ancaman pidananya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara atau denda Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) dan kejahatan yang diatur dalam ketentuan Pasal 360 KUHP yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun penjara atau 1 (satu) tahun kurungan. Dalam hal ini hakim harus mengadakan pilihan hukum terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan sistem absorbsi yang dipertajam atau diperberat (vide: Pasal 65 KUHP).

Untuk concursus realis berupa pelanggaran berlaku ketentuan Pasal 70 KUHP yang menggunakan sistem kumulasi seperti contohnya si X melakukan 2 (dua) pelanggaran yang masing - masing diancam pidana kurungan 6 (enam) bulan dan 9 (sembilan) bulan, maka maksimumnya adalah (6 + 9) bulan = 15 (lima belas) bulan. Namun, menurut ketentuan Pasal 70 ayat (2) KUHP, sistem kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan kurungan. Jadi misalnya si X melakukan 2 (dua) pelanggaran yang masing - masing diancam pidana kurungan 9 (sembilan) bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9 + 9) bulan = 18 bulan, akan tetapi maksimumnya adalah 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau hanya 16 (enam belas) bulan.

Untuk concursus realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk ketentuan Pasal 302 ayat (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 KUHP berlaku ketentuan Pasal 70 bis yang menggunakan sistem kumulasi, akan tetapi dengan pembatasan maksimum untuk penjara 8 (delapan) bulan seperti contohnya si X melakukan pencurian ringan (vide: Pasal 364 KUHP) dan penggelapan ringan (vide: Pasal 373 KUHP) yang masing - masing diancam pidana 3 (tiga) bulan penjara. Maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6 (enam) bulan penjara (sistem kumulasi). Akan tetapi apabila si X misalnya melakukan 3 (tiga) kejahatan ringan yang masing - masing diancam pidana penjara 3 (tiga) bulan, maka maksimumnya bukan 9 (sembilan) bulan penjara (kumulasi) akan tetapi 8 (delapan) bulan penjara.

Untuk concursus realis baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan berlaku ketentuan Pasal 71 KUHP yang berbunyi jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan - aturan dalam bab ini mengenai hal perkara - perkara diadili pada saat yang sama. Misalnya seperti si X melakukan kejahatan di waktu yang berbeda dengan kronologis sebagai berikut :
  1. Pada tanggal 1/1/2020 melakukan pencurian (vide: Pasal 362 KUHP) yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun penjara;
  2. Pada tanggal 4/1/2020 melakukan penganiayaan biasa (vide: Pasal 351 KUHP) yang ancaman pidananya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan;
  3. Pada tanggal 10/1/2020 melakukan penadahan (vide: Pasal 480 KUHP) yang ancaman pidananya 4 (empat) tahun penjara;
  4. Pada tanggal 20/1/2020 melakukan penipuan (vide: Pasal 378 KUHP) yang ancaman pidananya 4 (empat) tahun penjara. 
Kemudian si X ditangkap dan diadili dalam 1 (satu) keputusan, maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. 

Andaikata untuk keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 (enam) tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1/2020 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (vide: Pasal 372 KUHP), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) tahun 8 (delapan) bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahun (putusan pertama) yaitu 8 bulan penjara. Dengan contoh diatas, dapat disimpulkan Putusan kedua = (putusan sekaligus) – (putusan pertama).

Demikian penjelasan singkat mengenai gabungan tindak pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: