BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Percobaan dalam Hukum Pidana (Poging, Attempt)

Percobaan dalam Hukum Pidana (Poging, Attempt)
Di dalam ketentuan yang diatur pada Bab IX Buku I Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dijumpai rumusan arti atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah percobaan (poging, attempt). Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan adanya percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa:
"Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata - mata disebabkan karena kehendaknya sendiri."
Redaksi ketentuan pasal di atas tersebut jelas tidak merupakan suatu definisi, akan tetapi hanya merumuskan syarat - syarat atau unsur - unsur yang menjadi batas antara percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana. 

Adapun percobaan yang dapat dipidana menurut sistem Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) bukanlah percobaan terhadap semua jenis tindak pidana karena yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa kejahatan saja sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 54 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP). 

Pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 54 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) memperlihatkan adanya pemikiran dari para perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena itu, percobaan pun terlalu rendah dari Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP). Di samping itu perlu dicatat bahwa ketentuan umum dalam Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) di atas tidak berarti bahwa percobaan terhadap semua kejahatan dapat dipidana. Adapun pengecualian tersebut misalnya seperti :
  1. Percobaan duel atau perkelahian tanding sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (5) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  2. Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 302 ayat (4) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
  3. Percobaan penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 351 ayat (5) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP); dan
  4. Percobaan penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 352 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Sifat Percobaan (Poging, Attempt)
Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat 2 (dua) pandangan, yaitu :
  1. Percobaan dipandang sebagai strafausdehnungsgrund; dan
  2. Percobaan dipandang sebagai tatbestandausdehnungsgrund atau perluasan delik.
Percobaan dipandang sebagai strafausdehnungsgrund
Adapun dalam hal ini, percobaan (poging, attempt) dipandang sebagai dasar atau alasan perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund) sebagaimana dikemukakan oleh Hazewinkel Suringa dan Oemar Seno Adji. Hal mana mereka memandang seseorang yang melakukan percobaan (poging, attempt) untuk melakukan suatu tindak pidana meskipun tidak memenuhi semua unsur delik tetap dapat dipidana apabila telah memenuhi rumusan Pasal 53 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi sifat percobaan (poging, attempt) adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang bukan memperluas rumusan - rumusan delik. Dengan demikian menurut pandangan ini, percobaan (poging, attempt) tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis) akan tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen dekictsvorm).

Percobaan dipandang sebagai tatbestandausdehnungsgrund atau perluasan delik
Menurut pandangan ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Pompe dan Moelyatno memandang bahwa percobaan (poging, attempt) melakukan sesuatu tindak pidana merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna, akan tetapi merupakan delik dalam bentuk yang khusus atau istimewa atau dengan kata lain merupakan delik tersendiri (delictum sui generis). Adapun alasan Moelyatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri karena :
  1. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu delik;
  2. Dalam konsep perbuatan pidana (pandangan dualistis) ukuran suatu delik didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya perbuatan itu sendiri bagi keselamatan masyarakat;
  3. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm) karena yang ada hanya delik selesai; dan
  4. Dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai walaupun pelaksanaan dari perbuatan itu sebenarnya belum selesai, akan tetapi baru merupakan percobaan misalnya seperti delik - delik makar (aanslagdelicten) dalam ketentuan yang diatur pada Pasal 104, 106, dan Pasal 107 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Mengenai contoh yang dikemukakan oleh Moelyatno pada nomor (4) di atas, dapat pula diambil contoh pada ketentuan Pasal 163 bis Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut ketentuan pasal tersebut percobaan untuk melakukan penganjuran (poging tot uitloking) atau yang biasa juga disebut penganjuran yang gagal (mislukte uit lokking) tetap dapat dipidana, jadi dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri. Mengenai adanya perbedaan pandangan tersebut diatas. Prof. Moelyatno berpendapat bahwa pandangan pertama sesuai dengan alam atau masyarakat individual karena yang diutamakan adalah strafbaarheid van de person (sifat dipidananya orang) sedangkan pandangan yang kedua sesuai dengan alam atau masyarakat kita sekarang karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh dilakukan.

Pemidanaan terhadap Percobaan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa menurut sistem Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 Jo. Pasal 338 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) maksimumnya adalah 10 (sepuluh) tahun penjara. 

Bagaimanakah apabila kejahatan yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, seperti halnya dalam ketentuan yang diatur pada Pasal 340 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pembunuhan berencana, hal mana menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (3), maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 (lima belas) tahun penjara. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP), maksimum pidana pokok untuk percobaan (poging, attempt) adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya sedangkan untuk pidana tambahannya menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (4) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sama dengan kejahatan selesai.

Dasar Pemidanaan terhadap Percobaan (Poging, Attempt)
Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan (poging, attempt) terdapat beberapa teori sebagaimana berikut di bawah ini :

Teori Subyektif
Menurut teori ini sebagaimana yang dianut oleh Simmons menentukan bahwa dasar patut dipidananya percobaan (poging, attempt) terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat. 

Teori Obyektif
Menurut teori ini sebagaimana yang dianut oleh Van Hamel menentukan bahwa dasar patut dipidananya percobaan (poging, attempt) terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Adapun teori ini terbagi 2 (dua), yaitu :
  1. Teori obyektif formil, yakni menitikberatkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum; dan
  2. Teori obyektif materiil, yakni menitikberatkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan atau benda hukum.
Teori Campuran
Menurut teori ini sebagaimana yang dianut oleh Langemeyer dan Jonkers menentukan bahwa dasar patut dipidananya percobaan (poging, attempt) dari 2 (dua) segi, yaitu : 
  1. Sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif); dan 
  2. Sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif).
Namun karena dalam kenyataanya pelaksanaan dari teori ini tidak mudah terlihat dari dasar pemidanaannya yang lebih cenderung pada teori subyektif. Adapun Moelyatno dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran, hal mana menurut beliau rumusan delik percobaan (poging, attempt) dalam ketentuan Pasal 53 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) mengandung 2 (dua) inti yaitu : 
  1. Subyektif (niat untuk melakukan kejahatan tertentu); dan
  2. Obyektif (kejahatan tersebut telah mulai dilaksanakan tetapi tidak selesai). 
Dengan demikian menurut beliau dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi 2 (dua) inti dari delik percobaan (poging, attempt) itu yang ukurannya harus mencakup 2 (dua) kriteria tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu, beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif maupun obyektif apabila dipakai secara murni akan membawa kepada ketidakadilan.

Bentuk Hukuman Bagi Pelaku Percobaan Pidana
Sanksi terhadap percobaan diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan sebagai berikut :
  1. Pasal 53 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan bahwa maksimal hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan 1/3 (sepertiga);
  2. Pasal 53 ayat (3) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan bahwa kalau kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) dikurangi 1/3 (sepertiga) dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi 15 (lima belas) tahun penjara. Di dalam ayat (2) dari ketentuan Pasal 53 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) ditentukan bahwa hukuman yang dapat dikenakan atas perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan diancam hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan percobaannya diancamkan hukuman maksimum 15 (lima belas) tahun penjara.

Dalam hal percobaan maksimum ancaman hukuman (bukan yang dijatuhkan) pada kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup diganti dengan hukuman penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, akan tetapi mengenai hukuman tambahan sama saja halnya dengan kejahatan yang selesai dilakukan.

Sekian penjelasan singkat mengenai Percobaan dalam Hukum Pidana (Poging, Attempt) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga artikel ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: