BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Unsur-Unsur Percobaan dalam Hukum Pidana

Unsur-Unsur Percobaan dalam Hukum Pidana
Dari rumusan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) jelas terlihat bahwa unsur - unsur percobaan adalah sebagai berikut :
  1. Adanya Niat;
  2. Adanya permulaan pelaksanaan; dan
  3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata - mata karena kehendak pelaku sendiri.
Adanya Niat
Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat sama dengan sengaja dalam segala tingkatan atau coraknya sebagaimana catatan dari Moelyatno yang menyatakan terhadap unsur niat yaitu sebagai berikut :
  1. Niat jangan disamakan dengan kesenjangan, akan tetapi niat secara potensil karena dapat berubah menjadi kesenjangan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, akan tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan selesai atau voltooidc poging), disitu niat seratus persen menjadi sama dengan kesengajaan kalau menghadapi delik selesai;
  2. Akan tetapi, kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan, maka niat masih ada dan merupakan sikap batin yang memberi arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement;
  3. Oleh karena itu, niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila timbul kejahatan. Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat sebelum ditunaikan jadi perbuatan.
Adapun pada delik percobaan mempunyai 2 (dua) arti yang terdiri dari :
  1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap atau voltoo ide poging atau completed attempt), niat sama dengan kesengajaan; dan
  2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak lengkap atau geschorste poging atau incompleted attempt), niat hanya merupakan unsur sifat melawan hukum yang subyektif (subyektif onrechtselement).
Dikatakan ada "percobaan selesai" apabila terdakwa telah melakukan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan, akan tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi seperti contohnya ke si X bermaksud membunuh si Y dengan pistol, hal mana picu (trekker) pistol telah ditarik, akan tetapi ternyata pistol tersebut tidak meletus atau tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah menjadi kesengajaan karena telah diwujudkan dalam bentuk perbuatan.

Akan tetapi apabila dalam contoh diatas, perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan belum dilakukan misalnay seperti picu (trekker) belum ditarik sehingga akibat yang terlarang juga belum ada maka dalam hal demikian dikatakan ada percobaan tidak selesai atau tertunda. Menurut Moelyatno, dalam hal ini maka niat yang belum diwujudkan sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar) masih tetap menjadi niat yaitu baru merupakan sikap batin yang mengarah kepada suatu perbuatan yang melawan hukum. Dalam hal niat telah berubah menjadi kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi juga kesenjangan sebagai keinsyafan kemungkinan.

Ada permulaan pelaksanaan
Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek karena batas antara perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling) selalu menjadi persoalan. Dalam memecahkan masalah ini para sarjana menghubungkannya dengan teori atau dasar - dasar patut dipidananya percobaan. 

Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang subyektif, van Hammel menyatakan pendapatnya bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan ternyata telah adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Sehingga berdasarkan hal tersebut yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh van Hammel ialah adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran demikian menurut van Hammel sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai ke akar - akarnya. Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, simmons tidak sependapat sebagaimana pedapatnya berikut di bawah ini :
  1. Pada delik formil
    Perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik sebagaimana contohnya si X bermaksud melakukan pencurian dirumah si Y dan untuk melaksanakan aksinya, si X telah mempersiapkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia mendatangi rumah si Y. Sesampainya di rumah si Y, ia mematikan lampu teras, melepas kaca jendela dan kemudian setelah A masuk rumah lewat jendela itu ia tertangkap. Apabila digunakan ukuran Van Hammel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan pelaksanaan, akan tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik pencurian dalam ketentuan Pasal 362 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu mengambil barang. Apabila si X sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu si X telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian.
  2. Pada delik materiil
    perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai atau dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh peraturan perundang - undangan tanpa mensyaratkan adanya perbuatan lain sebagaimana contoh untuk delik materiil yaitu ketika si X bermaksud membunuh si Y dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui si Y. Adapun si X telah mempersiapkan dinamit dengan segala peralatan yang diperlukan dengan rapi dan kemduian si X menunggu di samping saklar sampai si Y lewat ditempat itu. Apabila pada saat menunggu itu, gerak gerik si X dicurigai dan akhirnya ditangkap, maka menurut ukuran Simons perbuatan si X belum merupakan perbuatan pelaksanaan akan tetapi baru perbuatan persiapan karena untuk meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengotakkan atau menekan saklarnya.
Dalam menentukan adanya permulaan atauu perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa ada 2 (dua) faktor yang harus diperhatikan, yaitu :
  1. Sifat atau inti dari delik percobaan; dan
  2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya.
Mengingat kedua faktor tersebut, maka menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu :
  1. Secara Obyektif yaitu apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik atau kejahatan yang dituju atau dengan kata lain harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
  2. Secara Subyektif yaitu dipandang dari sudut niat, hal mana harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik atau kejahatan yang tertentu tadi; dan
  3. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri
Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, akan tetapi dapat terjadi dalam hal - hal sebagai berikut :
  1. Adanya penghalang fisik, misalnya seperti tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistol terlepas. Termasuk dalam pengertian penghalang fisik ini ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan seperti pelurunya macet atau tidak meletus atau bom waktu yang jamnya rusak.
  2. Walaupun tidak ada penghalang fisik, akan tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik, misalnay seperti takut segera ditangkap karena gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
  3. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor - faktor atau keadaan - keadaan khusus pada obyek yang menjadi sasaran misalnya seperti daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri sukarela yang kemudian sering dirumuskan sebagai pengunduran diri sukarela yang menurut pandangan terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, akan tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan menjadi 2 (dua) antara lain sebagai berikut :
  1. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt), yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan;
  2. Tindakan penyesalan (tatiger reue), yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, akan tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut seperti contohnya ketika orang memberikan racun pada minuman si korban, akan tetapi setelah diminumnya, si pelaku segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
Sehubungan dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut Memorie van Toelichting (MvT) maksud dicantumkannya unsur ketiga ini dalam ketentuan Pasal 53 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) adalah :
  1. Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengurungkan kejahatan yang telah dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana;
  2. Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas) bahwa usaha yang paling tepat (efektif) untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah mulai melakukan kejahatan akan tetapi kemudian dengan sukarela mengurungkan pelaksanaannya.
Dengan adanya penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan :
  1. Alasan pengahpus pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe).
  2. Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji).
  3. Alasan penghapusan penuntutan (Vos, Moelyatno).
Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ketiga ini sebagai alasan pemaaf (fait d’excuse) maupun sebagai alasan penghapus pidana karena perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan atau membenarkan. Menurut beliau dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi stimulans bagi orang - orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan untuk ditengah - tengah mengundurkan diri secara sukarela. 

Jadi ada pertimbangan utilitas dalam pengunduran sukarela (dan tindakan penyesalan / Tatiger Reue), tidak ada fait d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan maupun kesalahan tetap ada, akan tetapi tidak dituntutnya itu karena dipandang lebuh berguna bagi masyarakat seperti halnya dirumuskan pada ketentuan Pasal 367 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) (pencurian antara suami istri). Pertimbangan utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno memandang unsur ketiga ini sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak berkeberatan untuk menuntut orang yang secara sukarela telah mengurungkan niatnya itu apabila telah menimbulkan kerugian dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.

Mengenai konsekwensi adanya unsur ketiga dalam perumusan Pasal 53 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) ini terdapat 2 (dua) pendapat, yaitu :
  1. Mempunyai konsekuensi materiil; dan
  2. Mempunyai konsekuensi formil (processuil).
Mempunyai konsekuensi materiil
Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan perkataan lain, untuk adanya percobaan unsur ketiga ini (tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara sukarela, maka tidak ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni 1889 tentang kasus sumpah palsu.

Dalam kasus ini ada tanda - tanda bahwa saksi yang dihadapkan ke persidangan di atas sumpah telah memberikan keterangan yang bertentangan dengan kenyataan (kesaksian palsu). Setelah Jaksa dan Hakim memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut kembali keterangan palsunya itu. Apakah saksi dapat dipidana karena percobaan sumpah palsu? 

Hoge Raad dalam putusannya berpendapat bahwa saksi itu tidak dapat dipidana melakukan percobaan sumpah palsu karena dalam hal ini ada pengunduran diri secara sukarela. Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana karena adanya pengunduran diri, oleh karena itu perbuatannya (saksi) tidak merupakan perbuatan terlarang.

Mempunyai konsekuensi formil (processuil)
Artinya unsur ketiga itu dicantumkan dalam ketentaub Pasal 153 maka unsur tersebut harus disebutkan di dalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ketiga ini tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan jadi tidak bersifat accessoir karena merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini tidak ada karena adanya pengunduran diri secara sukarela, maka percobaan tetap dipandang ada. Jadi dalam kasus yang dikemukakan diatas, meskipun ada pengunduran diri secara sukarela perbuatannya tetap dipandang sebagai perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur adalah masalah pertanggunganjawaban.

Dalam kasus di atas si pembuat (saksi) tidak dipidana karena menurut Hoge Raad disitu ada pengunduran diri secara sukarela sedangkan si penganjur tetap dapat dipidana karena telah menganjurkan suatu perbuatan yang terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara perbuatan yang dapat dipidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).

Demikian penjelasan singkat mengenai unsur - unsur percobaan dalam Hukum Pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: