BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana

Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana
Eddy O. S. Hiariej dalam artikelnya yang berjudul "Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas" menyatakan bahwa ada 3 (tiga) golongan diantara para ahli hukum pidana dalam menyikapi analogi dalam hukum pidana (Hiariej, 2009: 73-82) sebagaimana di bawah ini, yakni :
  1. Golongan pertama berisi ahli hukum pidana yang secara tegas menolak analogi dalam hukum pidana. Adapun golongan ini diwakili oleh :
    • van Bemmelen;
    • van Hattum;
    • Moeljatno; dan 
    • Jan Remmelink. 
  2. Golongan kedua berisi para ahli hukum pidana yang tidak secara tegas menerima atau menolak analogi. Adapun golongan ini diwakili oleh :
    • Hazewinkel Suringa; dan 
    • Vos.
  3. Golongan ketiga adalah golongan yang berisi para ahli hukum pidana yang menerima penerapan analogi. Adapun golongan ini diwakili oleh :
    • Roling;
    • Pompe; dan 
    • Jonkers.
Perlu diketahui bahwa Pompe tidak serta merta langsung menerima penerapan analogi dalam hukum pidana. Dalam cetakan ketiga dan keempat dari bukunya tersebut, Pompe menyatakan bahwa metode penafsiran undang-undang secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam hukum pidana. Pompe juga menyatakan pendapatnya bahwa dalam ketentuan pidana yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu juga terdapat sebuah asas yang melarang dipergunakannya metode penafsiran undang-undang secara analogis dalam hukum pidana. 

Akan tetapi, dalam cetakan kelima bukunya tersebut Pompe mengubah pendapatnya dengan alasan setelah dipertimbangkan lebih lanjut, Pompe merasa argumen-argumen yang pernah dikemukakan mengandung kelemahan. (Lamintang, 2014: 75-76). Eddy O. S. Hiariej menjelaskan bahwa alasan Pompe untuk menerima penggunaan analogi dalam hukum pidana disebabkan sejarah ketentuan pada Pasal 1 ayat (1)  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada hakekatnya menyatakan bahwa dapat dipidananya suatu perbuatan sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian tidak ada larangan untuk menggunakan analogi. 

Secara tegas, Pompe menyatakan bahwa sejarah dari ketentuan Pasal 1  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat juga mengarah pada ketentuan Pasal 12 ayat (2)  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk Kerajaan Belanda yang nyata-nyata diserahkan kepada hakim untuk mengambil putusan tentang dapat dipidananya suatu perbuatan menurut aturan-aturan pertimbangannya atau menurut kata-katanya atau menurut tujuan yang dengan kata lain rasionya undang-undang (Hiariej, 2016: 116-117).

P. A. F. Lamintang menyatakan Pompe berpendapat bahwa untuk memberlakukan undang-undang pidana sebenarnya hakim mempunyai suatu kebebasan yang besar karena pada akhirnya hakimlah yang harus menilai apakah suatu perkataan atau kalimat yang terdapat di dalam undang-undang itu sudah jelas atau belum. Apabila hakim berpendapat bahwa suatu perkataan atau kalimat dalam undang-undang tidak jelas, maka ia mempunyai suatu kebebasan untuk berusaha mengetahui arti yang sebenarnya dari perkataan atau kalimat tersebut, baik sesuai dengan maksud pembentuk undang-undang maupun sesuai dengan maksud undang-undang itu sendiri. (Lamintang, 2014: 43). 

Menurut hemat Penulis, pendapat Pompe ini senada dengan pendapat Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo yang menyatakan oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya dan harus menemukan hukumnya tersebut. (Mertokusumo dan Pitlo, 2013: 4).

Menyangkut tentang strafbaarheid suatu delik yaitu penentuan dapat atau tidaknya suatu perbuatan seseorang diancam pidana, Pompe hanya setuju dengan penggunaan analogi yang terbatas (Farid, 2014: 121-122), yaitu dalam keadaan-keadaan : 
  1. Pertama, pembuat undang-undang lupa merumuskan perbuatan pidana;
  2. Kedua, pembuat undang-undang tidak dapat memikirkan hal demikian karena hal tersebut adalah hal yang baru.
Menurut Pompe, penerapan analogi diperlukan apabila orang berkeinginan untuk tidak mengartikan peraturan pidana itu sebagai tulisan yang mati atau tulisan yang tidak mempunyai arti sama sekali, melainkan sebagai suatu peraturan yang hidup dan untuk maksud dalam suatu undang-undang harus ditafsirkan menurut arti perkataan-perkataan yang terdapat dalam undang-undang itu sendiri atau menurut maksud undang-undang itu sendiri dengan ketentuan apabila terdapat suatu pertentangan diantara keduanya maka yang harus diutamakan adalah yang terakhir. 

Lebih lanjut menurut Pompe, pendapat-pendapat yang melarang analogi dalam hukum pidana menyebabkan hakim harus memberikan arti yang sifatnya terlalu umum atau bersifat samar-samar terhadap suatu ketentuan pidana dalam undang-undang, khususnya apabila rumusan ketentuan pidana tersebut ternyata kurang jelas. 

Masalah yang dijelaskan terakhir ini, menurut Pompe akan lebih merugikan bagi terjaminnya kebebasan-kebebasan pribadi dibandingkan dengan menggunakan analogi dalam hukum pidana, yaitu untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang terdapat di dalamnya, dalam arti apabila pembentuk undang-undang tidak merumuskan begitu jelas ketentuan pidana dalam undang-undang (Lamintang, 2014: 76-77). 

Pendapat Pompe ini senada dengan pendapat Lackner yang menyatakan hakim pidana pun bisa melakukan pembentukan hukum dengan mengisi kekosongan-kekosongan hukum. (Valerian, 2017:  83-84). Terlepas dari boleh tidaknya analogi dalam hukum pidana, dalam perkembangannya sulit dipungkiri Hoge Raad dan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia tidak menggunakan analogi. 

Contoh konkrit Arrest Hoge Raad yang dapat dikatakan menggunakan analogi, yaitu Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 mengenai kasus pencurian listrik yang pada saat itu Hoge Raad memperluas arti barang sehingga meliputi benda yang tidak berwujud sehingga pada putusannya listrik termasuk kedalamnya. Selain itu, Hoge Raad juga mempersamakan antara perbuatan menyalakan saklar (inschakelen) dengan mengambil (wegneemt) dalam Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Hiariej, 2016: 109). 

Dalam konteks Indonesia, Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia melalui Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Nomor: 786K/Pid/2015 menyatakan bahwa perbuatan terdakwa mengucapkan bujuk rayu dan janji palsu sehingga termasuk ke dalam unsur delik "dengan kekerasan atau ancaman kekerasan" dalam Pasal 285  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Valerian, 2017: 195).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan analogi dalam hukum pidana dimungkinkan karena patut untuk diketahui bahwa hakim dalam memutus suatu perkara harus berpedoman terhadap irah-irah putusan yang menyatakan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" sehingga hakim memiliki tugas untuk memutus dengan adil. Tegasnya, hakim dalam memutus suatu perkara tidak boleh hanya menjadi corong undang-undang semata (la bouche de la loi).

Demikian penjelasan singkat mengenai Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: