BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK

Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK
Pada awalnya keberadaan saksi dan korban kuranglah diperhitungkan. Keselamatan baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga pada kasus-kasus tertentu menjadi taruhannya atas kesaksian yang mereka berikan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) cenderung lebih memberatkan pemberian perlindungan kepada warga negara yang berstatus tersangka, terdakwa dan terpidana. Pada tahun 2003, good will (iktikad baik) dari pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban mulai tampak, akan tetapi baru sebatas pada kasus-kasus tertentu. Perlindungan yang diberikannya pun hanya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), yaitu : 
  1. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadapa Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme; dan 
  2. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.
Barulah pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006. Peranan saksi dan juga korban sangatlah penting dalam rangka untuk melahirkan sebuah keputusan yang adil dan obyektif. Untuk itulah perlindungan terhadap saksi dan korban menjadi sangat penting juga.

Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan berdasarkan beberapa asas seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yakni penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan kepastian hukum. 

Sebelum saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan hukum dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mereka harus melewati beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di samping mereka harus memenuhi persyaratan untuk mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 

Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa Perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap Saksi dan/ atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut :
  1. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/ atau Korban; 
  2. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/ atau Korban;
  3. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/ atau Korban; dan
  4. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/ atau Korban.
Pada ketentuan yang dimuat dalam Pasal 28 ini memberikan penjelasan bahwa setiap saksi dan/ atau korban bisa menerima perlindungan hukum dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jika memenuhi syarat-syarat di atas, yaitu setiap keterangan yang diberikan oleh Saksi dan/ atau Korban dalam suatu sidang di pengadilan haruslah bersifat penting. Selain itu juga adanya ancaman dari luar yang mungkin membahayakan nyawa para saksi dan/ atau korban serta membahayakan keluarganya. 

Tata cara pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban dipaparkan dalam Pasal 29 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menentukan bahwa tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut : 
  1. Saksi dan/ atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK);
  2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas;
  3. Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dari ketentuan Pasal 29 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ada pengaturan mengenai apakah permohonan itu secara tertulis atau permohonan perlindungan seharusnya bukan cuma dari pihak saksi atau korban dan pejabat yang berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan pendamping saksi dan korban. Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua atau walinya terhadap korban atau saksi masih dibawah umur atau anak-anak.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membuat Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 yang secara khusus mengatur mengenai tata cara mengajukan permohonan. Dalam ketentuan Pasal 9 Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 menyebutkan bahwa : 
  1. Pemohon perlindungan yang ditujukan kepada ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melalui surat atau permintaan pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010, ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meneruskan permohonan kepada Unit Penerimaan Permohonan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (UP2 LPSK) untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kelengkapan persyaratan sesuai dalam ketentuan peraturan ini.
  2. Dalam hal untuk memperoleh pemenuhan kelengkapan berkas permohonan perlindungan, Unit Penerimaan Permohonan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (UP2 LPSK) dapat berkoordinasi kepada pejabat berwewenang atau yang mengajukan permohonan.
  3. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010, UP2 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat meminta data/ atau informasi tambahan yang berkaitan perkaranya antara lain : 
    • Hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP);
    • Sifat pentingnya kesaksian dalam perkara;
    • Surat panggilan kepolisian atau Kejaksaan atau Pengadilan;
    • Surat laporan atau informasi kepada pejabat terkait: kepolisian, Komisi Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, yang berkaitan atas kesaksiannya sebagai pelapor;
    • Surat dari instansi terkait mengenai kasusnya.
Permohonan yang telah diterima akan dilanjutkan kepada Unit Penerimaan Permohonan (UP2) oleh Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). UP2 (Unit Penerimaan Permohonan) adalah Unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan penerimaan permohonan perlindungan bagi saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan mengenai keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perihal diterima ataupun ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan tersebut diajukan. 

Selanjutnya dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima permohonan Saksi dan/ atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Saksi dan/ atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.

Adapun mengenai pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan yang harus ditandatangani oleh saksi dan/ atau korban dimuat dan diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menentukan pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat : 
  1. Kesediaan Saksi dan/ atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
  2. Kesediaan Saksi dan/ atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;
  3. Kesediaan Saksi dan/ atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), selama ia berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK);
  4. Kewajiban Saksi dan/ atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); dan
  5. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). 
Proses pengajuan permohonan hingga disetujuinya permohonan tersebut sering kali membingungkan para saksi dan korban karena mereka harus melewati proses yang tidak pendek untuk mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi dan atau korban merasa enggan untuk meminta perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan memilih untuk diam. 

Para saksi dan korban merasa kurang mengerti akan prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Apalagi bagi para saksi dan korban yang tidak begitu mengerti akan hukum. Karena itulah pendampingan akan seorang pengacara atau advokat akan sangatlah membantu para saksi dan korban ini. 

Dengan berada di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), saksi dan/ atau korban ini tidaklah secara sepenuhnya merasa aman karena banyaknya persoalan yang kian datang sesuai dengan berjalannya suatu persidangan. Dalam realita sosial, penegak hukum tidak mau mendengar, melihat atau merasakan bahwa saksi yang dipanggil oleh penegak hukum, apakah dirinya merasa aman atau nyaman termasuk anggota keluarganya. Apalagi dalam setiap tahap pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan yang bertele-tele memakan waktu cukup lama. 

Kadang-kadang perkara yang telah berlangsung cukup lama, sehingga secara manusiawi saksi atau korban lupa akan peristiwa itu, tetapi di depan sidang pengadilan harus dituntut kebenaran kesaksiannya. Dalam fase yang seperti inilah campur tangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sangat diperlukan karena kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharapkan dapat memberikan rasa nyaman dan aman bagi saksi atau korban agar dapat memberikan kesaksiannya di depan persidangan dan proses persidangan pun dapat berjalan tanpa bertele-tele.

Demikian penjelasan singkat mengenai Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: