BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Penggunaan Alat Bukti Pada Perkara Perdata

Penggunaan Alat Bukti Pada Perkara Perdata
Sering menjadi pertanyaan oleh masyarakat bukti-bukti apa saja yang dapat diadakan dalam persidangan? adapun pertanyaan tersebut dapat dijawab berdasarkan ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 164 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang menyebutkan bahwa terdapat 5 (lima) macam alat-alat bukti, yaitu terdiri dari:
  1. Bukti surat;
  2. Bukti saksi;
  3. Persangkaan;
  4. Pengakuan; dan
  5. Sumpah.


Bukti Surat
Pasal 138 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) mengatur bagaimana cara bertindak, apabila salah satu pihak menyangkal keabsahan dari surat bukti yang diajukan oleh pihak lawan. Apabila terjadi demikian, maka Pengadilan Negeri (PN) wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai hal tersebut.

Pasal 128 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) ayat 2 sampai dengan ayat 5 mengatur apa yang harus dilakukan oleh hakim dan oleh penyimpan surat tersebut, apabila dalam penyelidikan ini diperlukan pula surat-surat resmi yang berada di tangan pegawai yang khusus ditunjuk oleh undang-undang untuk menyimpan surat-surat tersebut. Jika ada sangka yang beralasan bahwa surat tersebut adalah palsu atau dipalsukan oleh orang yang masih hidup, maka surat tersebut dikirimkan kepada jaksa untuk dilaksanakan penuntutan sebagaimana mestinya.

Apabila terjadi hal itu, pemeriksaan perkara perdata untuk sementara ditangguhkan sampai perkara pidananya diputus. Dalam praktek bantuan dari Bagian penyelidikan Markas Besar Angkatan Kepolisian suka diminta untuk memperbandingkan tulisan atau tanda-tangan yang satu dengan yang lainnya dan untuk memberi pendapat apakah tanda tangan yang bersangkutan palsu atau tidak. Selain itu sering juga dilakukan pemeriksaan terhadap cap jempol yang konon dipalsukan. 

Proses perdata bukti tulisan merupakan bukti yang penting dan utama terutama dalam lalu lintas perdagangan yang seringkali sengaja disediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila di kemudian hari timbul suatu perselisihan, buktinya adalah berupa sehelai surat. Untuk penerimaan sejumlah barang, biasanya orang harus menandatangani surat tanda penerimaan barang yang dalam istilah sehari-harinya disebut faktur. 

Apabila jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri melakukan suatu pemanggilan pihak-pihak atau pemanggilan saksi-saksi, melakukan penyitaan sebagai bukti bahwa ia telah melakukan tugas yang diperintahkannya itu dibuat relaas atau berita acara. 

Di samping itu ada surat menyurat yang diadakan antara dua orang atau lebih sehingga sudah sangat jelas bahwa dalam praktek dikenal macam-macam surat yang dalam Hukum Acara Perdata dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok dengan perkataan lain Hukum Acara Perdata mengenal 3 (tiga) macam surat, yaitu:
  1. Surat biasa;
  2. Akta otentik; dan
  3. Akta di bawah tangan.
Perbedaan dari ketiga surat ini, yaitu dalam kelompok mana suatu tulisan termasuk, hal itu tergantung dari cara pembuatannya. Sehelai surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti. Apabila kemudian surat itu dijadikan bukti, hal itu merupakan suatu kebetulan saja. Dalam kelompok ini termasuk surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan korespondensi dagang dan sebagainya. 

Berbeda dengan surat biasa, sehelai kata dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti. Belumlah tentu bahwa akta itu pada suatu waktu akan dipergunakan sebagai bukti di persidangkan, akan tetapi suatu akta merupakan bukti bahwa suatu kejadian hukum telah dilakukan dan akta itu adalah buktinya. Sehelai kuitansi atau faktur merupakan akta yang tergolong dalam kelompok akta di bawah tangan. Adapun akta di bawah tangan dan akta otentik dibuat secara berlainan.



Bukti Saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam Hukum Acara Perdata pembuktian dengan saksi sangat penting artinya, terutama untuk perjanjian-perjanjian dalam Hukum Adat, di mana pada umumnya karena adanya saling percaya mempercayai tidak dibuat sehelai surat pun. 

Oleh karena bukti berupa surat tidak ada, pihak-pihak akan berusaha untuk mengajukan saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang dimajukan di muka persidangan. Pada suasana Hukum Adat dikenal 2 (dua) macam saksi, yaitu:
  1. Saksi-saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi persoalan; dan 
  2. Saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut. 
Adapun yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang dilihat, didengar atau dirasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau sangka yang istimewa yang terjadi karena akal tidak dipandang sebagai penyaksian. 

Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan karena hal itu adalah tugas hakim, saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. 

Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan sengaja memberi keterangan palsu saksi dapat dituntut dan dihukum untuk sumpah palsu menurut Pasal 242 WvS (KUHPidana). Mempertimbangkan nilai kesaksian, ketentuan pada Pasal 172 HIR memberikan petunjuk sebagai berikut : 
"dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain, persetujuan kesaksian-kesaksian dengan apa yang diketahui dari sebab yang kiranya dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan; segala sebab yang kiranya ada pada saksi-saksi untuk menceritakan perkara itu cara begini atau begitu; segala hal ihwal yang boleh berpengaruh sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercayai."


Persangkaan
Persangkaan berdasarkan hukum ini dibagi ke dalam 2 (dua) bagian yang terdiri dari:
  1. Persangkaan dengan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan atau yang dikenal dengan istilah praesumptiones juris tantum; dan
  2. Persangkaan dengan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan atau yang dikenal dengan istilah praesumptiones juris et de jure.
Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 1915 Burgerlijk Wetboek (BW) yang pada dasarnya menyatakan bahwa persangkaan merupakan suatu kesimpulan-kesimpulan yang oleh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata ke arah peristiwa lain yang terang kenyataannya.

Lebih lanjut kemudian dijelaskan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1916 Burgerlijk Wetboek (BW) menyatakan bahwa persangkaan-persangkaan yang oleh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang diantaranya yaitu:
  1. Perbuatan yang oleh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dinyatakan batal karena dari sifat dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
  2. Peristiwa-peristiwa yang menurut ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat dijadikan kesimpulan guna mendapatkan hak kepemilikan atau bebas dari hutang.
  3. Kekuatan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada keputusan hakim.
  4. Kekuatan yang diberikan peraturan perundang-undangan oleh pengakuan atau sumpah dari salah satu pihak.
Adapun mengenai persangkaan menurut peraturan perundang-undangan yang tidak menguntungkan pembuktian lawan dimuat dan diatur dalam ketentuan Pasal 1921 ayat (2) Burgerlijk Wetboek (BW) yakni yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu (vide: Pasal 184, Pasal 911 dan Pasal 1618 Burgerlijk Wetboek (BW).

Perlu diketahui bahwa persangkaan yang tidak memungkinkan bukti lawan pada hakikatnya bukanlah sebuah persangkaan seperti contohnya pada persangkaan menurut ketentuan yang dimuat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan pembuktian lawan misalnya: 
  1. Pasal 159 Burgerlijk Wetboek (BW);
  2. Pasal 633 Burgerlijk Wetboek (BW);
  3. Pasal 658 Burgerlijk Wetboek (BW);
  4. Pasal 662 Burgerlijk Wetboek (BW);
  5. Pasal 1394 Burgerlijk Wetboek (BW);
  6. Pasal 1439 Burgerlijk Wetboek (BW);
  7. Pasal 42 Peraturan Kepailitan; dan
  8. Pasal 44 Peraturan Kepailitan.


Pengakuan
Berdasarkan putusan-putusan pengadilan pada umumnya terlebih dahulu dikemukakan dalil-dalil yang diakui, setidak-tidaknya yang tidak disangkal baru kemudian meningkat kepada hal-hal yang merupakan persoalan. 

Dengan demikian putusan menjadi padat berisi dan hanya dalil-dalil yang menjadi dasar gugat dan disangkal saja yang harus dibahas secara mendalam. Dari ketentuan pembuktian pengakuan di depan sidang ini ternyata benar bahwa dalam Hukum Acara Perdata tidak dicari kebenaran formil belaka. 

Di dalam praktek peradilan banyak perkara-perkara perceraian bagi orang yang dahulu baginya berlaku Hukum Perdata barat diputus berdasarkan pengakuan atau tidak dibantahnya dalil yang dikemukakan sebagai dasar alasan ialah adanya perzinahan yang telah dilakukan oleh tergugat. 

Mungkin sesungguhnya tergugat tidak pernah melakukan perzinahan, akan tetapi hanya untuk memudahkan perkara agar supaya perkara tersebut dapat segera diputus, tergugat mengakui saja tentang adanya perzinahan yang didalilkan oleh penggugat yang belakangan ini dalam bahasa Belanda disebut referte yang berasal dari perkataan refereren yang berarti menyerahkan dalam hal ini menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim.

Pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara tertulis atau lisan merupakan bukti bebas. Perbedaannya terletak bahwa pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak usah dibuktikannya lagi tentang adanya pengakuan tersebut. Sedangkan bagi pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara lisan, apabila dikehendaki agar dianggap terbukti adanya pengakuan semacam itu, maka masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau alat-alat bukti lainnya.



Sumpah
Pasal-pasal dari HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang mengatur perihal sumpah adalah Pasal 155, 156, 158 dan Pasal 177. Berbeda dengan perkara pidana yang tidak mengenal sumpah sebagai alat bukti, dalam Hukum Acara Perdata sumpah merupakan alat bukti yang cukup penting. Adapun yang disumpah adalah salah satu pihak, penggugat atau tergugat, oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah bukannya sumpah itu sendiri. Terdapat 2 (dua) macam sumpah, yaitu :
  1. Sumpah yang dibebankan oleh hakim; dan 
  2. Sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan. 
Baik sumpah penambah maupun sumpah penutup bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan, oleh karenanya keterangan yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah keterangan yang benar dan bahwa orang yang disumpah tidak akan berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan yang bohong, maka ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut akan adanya hukuman yang berat tersebut dikira oleh hukum bahwa orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah tidak benar. 

Pasal 177 HIR menyatakan bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah termaksud. Pasal 155 HIR mengatur perihal sumpah penambah yang berbunyi :
"Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama sekali ada dan tiada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan yang lain, dapatlah Pengadilan Negeri karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan hakim, supaya dengan itu keputusan perkara didapatkan, atau supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan, dapat ditentukan."
Dalam hal yang terakhir itu, haruslah Pengadilan Negeri menentukan jumlah uang yang sehingga jumlah mana si penggugat dapat dipercayai karena sumpahnya. Berdasarkan redaksi ayat (1) di atas ternyata, bahwa sehubungan dengan sumpah penambah terlebih dahulu harus sudah ada bukti, akan tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna dan karenanya perlu ditambah dengan bukti yang lain. Sedang untuk mendapatkan bukti yang lain sudah tidak mungkin lagi, dengan lain perkataan bukti yang sudah ada dan belum cukup itu tidak bisa ditambah dengan bukti yang lain. 

Oleh karena sumpah itu adalah untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap itu, maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed). Mahkamah Agung dalam putusan tertanggal 17 Oktober 1962 No. 213 K/Sip/1962 menyatakan bahwa sumpah tambahan justru untuk menambah suatu pembuktian yang menurut undang - undang belum sempurna agar menjadi sempurna.

Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatannya, hal itu berarti bahwa hakim yang menentukan sendiri apakah ia akan menambah pembuktian yang telah ada, akan tetapi belum cukup itu dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah. 

Pada prakteknya adalah tidak wajar, bahwa pihak yang bersangkutan sendiri meminta kepada hakim agar ia diperkenankan menambah bukti yang telah ada dan belum cukup itu dengan sumpah penambah, melainkan hanya hakim sendiri yang tanpa ada permintaan dari pihak yang bersangkutan, karena jabatan akan memerintahkan sumpah tersebut. Siapa yang akan dibebani sumpah itu ? Kecuali dalam sumpah penaksir, di mana selalu pihak penggugat yang akan disumpah, sumpah penambah lainnya dapat dibebankan kepada penggugat atau tergugat.

Perkataan Pengadilan Negeri yang diuraikan dalam Pasal 155 HIR tersebut di atas menurut hemat penulis tidak tepat lagi, karena dalam taraf pemeriksaan banding apabila dianggap perlu masih dapat dibebankan suatu sumpah penambah kepada pihak-pihak. Ada kemungkinan, bahwa untuk meneguhkan baik penggugat maupun tergugat adalah anak angkat almarhum, kepada kedua belah pihak masing-masing dibebankan sumpah penambah yang satu oleh Pengadilan Negeri dan yang lainnya atas perintah Pengadilan Tinggi dalam taraf banding. 



Apabila hakim akan menambah bukti tersebut dengan suatu sumpah penambah, maka dibuatlah suatu putusan sela, lengkap dengan pertimbangannya yang memuat alasan sebabnya sumpah penambah tersebut diperlukan. Perkataan "tidak ada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan lain" sering diartikan "apabila hakim putus asa dalam mencari bukti yang lain".

Pembebanan sumpah penambah kepada pihak yang bersengketa adalah suatu kebijaksanaan hakim, dengan lain perkataan hakim sama sekali tidak berkewajiban untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah. Oleh karena tidak adanya kewajiban itu, apabila hakim yakin bahwa pihak yang akan dibebani sumpah penambah itu akan melakukan sumpah palsu, maka ia tidak akan memerintahkan kepada pihak tersebut untuk mengangkat sumpah melainkan ia akan menolak gugatan tersebut. Dalam taraf pemeriksaan banding, apabila hakim banding berpendapat lain, Pengadilan Tinggi leluasa untuk memerintahkan sumpah penambah tersebut. 

Ada kemungkinan bahwa hakim Pengadilan Negeri telah memerintahkan kepada pihak tergugat untuk melakukan sumpah penambah, akan tetapi hakim pengadilan tinggi berpendapat lain dan justru pihak penggugat yang dibebani sumpah. Pernah pula terjadi bahwa berdasarkan sumpah penambah menolak gugat penggugat, kemudian putusan tersebut dibatalkan dan Pengadilan Tinggi yang menganggap bahwa dalil-dalil yang menjadi dasar gugat telah cukup terbukti, lalu mengabulkan gugatan penggugat.

Dalam hal orang yang dibebani sumpah penambah enggan untuk melakukannya atau belum sempat melakukan sumpah, lalu wafat karena dalil gugatannya belum terbukti, ia harus dikalahkan. Timbul persoalan bagaimana apabila yang dibebani sumpah, telah menyatakan kesediaannya untuk disumpah guna melengkapi bukti-bukti yang telah ada, hanya ia karena wafat tidak sempat lagi untuk menambah bukti tersebut ? 

Menurut hemat penulis, apabila hal semacam itu terjadi, hakim harus mempertimbangkan adanya kesanggupan tersebut, hal mana dapat dianggap sebagai persangkaan hakim, bahwa fakta yang hendak dikuatkan oleh sumpah tersebut benar-benar ada atau pernah terjadi. Oleh karena bukti yang telah ada dan belum lengkap itu telah ditambah dengan satu persangkaan hakim lagi, maka pihak yang telah sanggup itu dapat dimenangkan. Berbeda dengan sumpah pemutus, sumpah penambah ini tidak boleh dikembalikan kepada lawannya.

Sumpah penambah yang lainnya adalah yang disebut sumpah penaksir. Hal ini diatur dalam pasal 155 HIR bagian terakhir. Sumpah penaksir dilakukan untuk menentukan jumlah uang yang akan diperkenankan atau dikabulkan. Misalnya dalam hal telah terjadi kebakaran yang disebabkan oleh anak tergugat dan barang-barang penggugat musnah, sukar untuk menentukan kerugian yang diderita oleh penggugat begitu saja. 

Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) HIR menyatakan bahwa sumpah penaksir hanya dapat dibebankan kepada pihak penggugat. Dalam istilah penggugat termasuk penggugat dalam gugat balasan ialah penggugat dalam rekonpensi. Sumpah penaksir dalam bahasa Belanda disebut waarderingseed atau pula Aestimatoire eed. Sumpah penaksir banyak dilakukan untuk menentukan besarnya ganti rugi yang diminta penggugat, di mana tentang adanya kerugian telah terbukti, hanya tentang besarnya sukar untuk ditentukan secara pasti. Untuk mengatasi persoalan tersebut hakim karena jabatan dapat mengabulkan sejumlah uang yang harus dibayar oleh pihak tergugat, sedang besarnya kerugian akan ditetapkan atau ditaksir oleh pengadilan. Karena hal tersebut maka sumpah ini disebut pula sumpah penaksir. 

Pasal 156 HIR mengatur perihal sumpah pemutus. Sumpah pemutus atau juga disebut sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan. Oleh karena itu, maka sumpah tersebut juga disebut sumpah penentu. Menurut Pasal 156 HIR sumpah penentu dibolehkan, walaupun tidak ada barang keterangan yang dibawa untuk meneguhkan gugatan itu atau pembelaan yang melawannya, salah satu pihak mempertanggungkan kepada pihak yang lain sumpah di muka hakim supaya keputusan perkara bergantung sumpah itu asal saja sumpah itu mengenai suatu perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang atas sumpahnya keputusan perkara itu bergantung.

Jika perbuatan itu satu perbuatan yang dikerjakan oleh kedua pihak, bolehlah pihak yang enggan mengangkat sumpah yang dipertanggungkan kepadanya mengembalikan sumpah itu kepada lawannya. Barang siapa kepadanya sumpah dipertanggungkan dan enggan mengangkatnya atau mengembalikan dia kepada lawannya ataupun juga barang siapa mempertanggungkan sumpah, tetapi sumpah itu dikembalikan kepadanya dan enggan mengangkat sumpah itu harus dikalahkan.



Pengetahuan Hakim
Pada prakteknya, masih terdapat 1 (satu) macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan yaitu Pengetahuan Hakim. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang penggugat yang dirusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya itu. 

Perihal pengetahuan hakim tersebut di atas, Mahkamah Agung (MA) dengan keputusannya tertanggal 10 April 1957 No. 213 k/Sip/1955 telah memberi pendapatnya sebagai berikut : 
"hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 ayat (1) bersambung dengan Pasal 164 Herziene Indonesisch Reglement tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang ahli, sedang penglihatan hakim pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha pembuktian." 
Melihat putusan tersebut di atas nampak jelas, bahwa pengetahuan hakim merupakan alat bukti. Dalam perkara tersebut, hakim yang bersangkutan mempertimbangkan dan menetapkan sendiri perihal perbedaan yang menurut penglihatannya nampak antara tanda tangan yang terdapat di atas sehelai surat bukti dan tanda tangan yang bersangkutan yang terdapat pada surat kuasa kepada kuasanya. 

Hal - hal atau keadaan yang diketahui oleh hakim dari pengetahuannya di luar sidang, misalnya bahwa tergugat sesungguh-sungguhnya adalah anak almarhum bukan merupakan pengetahuan hakim, melainkan pengetahuan bapak atau ibu hakim pribadi yang secara kebetulan mengetahui hal tersebut. 

Atas dasar hal tersebut, penulis kurang sependapat dengan pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya tertanggal 1 Juni 1955 Reg. No. 53 K/Sip/1952 yang berbunyi : 
"Menimbang, bahwa Mahkamah Agung mengetahui sendiri, bahwa menurut Hukum Adat di Bali, I Made Sudjana tersebut sebagai satu-satunya anak laki-laki adalah pula satu-satunya ahli waris dari almarhum bapaknya I Made Rama, sehingga ahli waris inilah, asal saja ia telah cukup umur, adalah yang berhak untuk memajukan gugatan peninggalannya almarhum bapaknya."
Mungkin yang dimaksud oleh Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tersebut di atas adalah, bahwa menurut Hukum Adat di Bali, anak laki-laki satu-satunya adalah pula ahli waris satu-satunya dari almarhum ayahnya. Jelas bahwa apabila hal itu yang dimaksud, maka ini bukan merupakan pengetahuan hakim. Dibandingkan pertimbangan hukum yang dipakai oleh Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya tertanggal 1 Juni 1955 No. 53 K/Sip/1952 ini dengan ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia No. 1 Tahun 1950 (Undang-Undang tanggal 6 Mei 1950 Nomor 1 yang dinyatakan sudah tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965) yang berbunyi : 
"pengetahuan hakim berarti penyaksian sendiri pada waktu sidang"
Demikian penjelasan singkat mengenai Penggunaan Alat Bukti Pada Perkara Perdata yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: