BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Upaya Pemberantasan Terorisme di Indonesia

Upaya Pemberantasan Terorisme di Indonesia
Indonesia dengan berbagai pujian dan sanjungan oleh insan di seluruh muka bumi karena keindahan alamnya, kerukunan budaya yang dijiwai oleh nafas filosifi pendiri bangsa, begitu pula keramahtamahan penghuninya sehingga kenyamanan, ketentraman, kerukunan antar sesama sejak dahulu tersohor ke seluruh seantero dunia. 

Semua fenomena kehidupan tadi menyangkut keamanan dan ketentraman yang dahulunya bisa didapat oleh setiap orang yang menginjakkan kaki di Indonesia kemudian menjadi sirna ketika terjadinya peristiwa bom bali di tahun 2002 kemudian disusul peristiwa Bom Bali II pada tanggal 1 Oktober 2005, hal mana peristiwa tersebut diawali dari Tragedi Pengeboman terhadap World Trade Centre (WTC) dan pusat pertahanan keamanan Pentagon Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang kemudian membawa dampak kerugian di bidang ekonomi dan pariwisata di Indonesia.

Belakangan ini kelompok radikal yang terhimpun dalam organisasi-organisasi tertentu berkedok misi agama tertentuk, kelompok yang benci dengan simbol-simbol dunia barat secara terang-terangan melancarkan aksinya membabi-buta dengan terus merubah strategi modus operandi dalam melancarkan serangan terhadap obyek sasarannya. Pelaku-pelaku inilah yang diberi nama para teroris dengan dibungkus paham terorisme. Adapun pencegahan dan pemberantasan teorisme untuk masuk ke Indonesia memerlukan pola antisipatif yang terdiri dari 3 (tiga) macam bentuk, yakni :
  1. Preemtif;
  2. Preventif; dan 
  3. Represif.
Bentuk Preemtif
Segenap komponen keamanan di Indonesia baik kalangan pemerintah menyangkut penegak hukum mulai kepolisian, kejaksaan yang didukung oleh kalangan militer yaitu Tentara Republik Indonesia (Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angakatan Laut) beserta komponen pendukung keamanan lokal serta masyarakat secara terpaut dan berkelanjutan (outinitas) melakukan usaha berupa tindakan konkret dalam wujud :
  1. Penanaman nilai-nilai moral keagamaan yang dilakukan dalam bentuk ceramah atau sosialisasi oleh organisasi keagamaan yang terhimpun dalam forum kerukunan antar umat beragama yang telah terbentuk di Indonesia yang diberikan pada lingkungan di setiap wilayah yang ada di Indonesia;
  2. Menghidupkan kembali pendidikan Pancasila di sekolah tingkat dasar hingga Sekolah Menengah Atas serta pada lapisan masyarakatpenduduk yang ada di Indonesia dengan bentuk ceramah-ceramah oleh instansi terkait seperti instansi terkait pada momen-momen keagamaan seperti dilakukan di Masjid, Gereja, Pura, Wihara dan tempat keagamaan lainnya di seluruh wilayah Indonesia;
  3. Pihak kejaksaan khususnya secara rutin dan cermat mengawasi aliran kepercayaan apapun dalil dan bentuknya yang muncul dan kemungkinan berkembang di Indonesia;
  4. Patut mencurigai orang-orang atau penduduk pendatang yang masuk ke wilayah Indonesia, dengan atribut-atribut tertentu, dalil tertentu seperti mendompleng misi agama, misi kesehatan, mis kemanusiaan, misi donatur atau menyumbang, misi peduli masyarakat miskin dan lain-lain dengan mendatangi secara ketat oleh pihak keamanan, seperti kepolisian dan aparat lokal terbawah di lingkungan desa dimana orang atau kelompok itu berada; dan
  5. Menyangkal adanya indikasi masuknya paham asing atau ideologi selain ideologi Pancasila dengan kedok misi paham seolah-olah sama dengan ideologi Pancasila.
Bentuk Preventif 
  1. Pihak keamanan terkait menjaga secara ketat dan rutin setiap saat penduduk pendatang yang akan masuk ke Indonesia di pintu-pintu masuk strategis seperti bandara (pelabuhan udara), pelabuhan laut atau pesisir laut yang memungkinkan kapal atau perahu bisa berlabuh;
  2. Aparat desa terbawah melalui kerja sama dengan dinas kependudukan melakukan pendataan pada setiap penduduk atau warga baru yang bermukim di lingkungannya dengan mengidentifikasi identitas mereka, tujuan datang atau tinggal di wilayah Indonesia, pekerjaannya apa, berapa lama tinggal, serta tinggal bersama siapa;
  3. Pihak kepolisian selaku garda keamanan terdepan memberikan pengawasan lebih kepada orang bekas atau eks narapidana teroris atau pernah terlibat indikasi perbuatan atau tindak pidana yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kasus terorisme baik pernah dilakukan di luar negeri (negara asing) apalagi jika pernah melakukannya di dalam negeri (Indonesia). 
  4. Aparat keamanan terpadu di bawah kendali Densus Anti Teror 88 di Daerah bersama tokoh atau pemuka agama setiap agama yang ada di Indonesia perlu membuat komitmen bersama untuk mengijinkan pada momen-momen keagamaan, aparat atau petugas keamanan memasuki tempat-tempat ibadah tersebut guna memberikan ceramah-ceramah tentang bahaya akan terorisme tersebut agar terhindar dari tendensi-tendensi radikalisme yang menyesatkan umat manusia. 
Bentuk Represif
Adapun bentuk represif dimaksudkan dalam penanganan teorisme sudah berupa tindakan akhir (primum remidium) karena usaha pencegahan atau penanggulangan sudah tidak berhasil dilakukan. Maka ranah hukum khususnya hukum pidana baik secara materiil maupun formil sudah bersifat cara terakhir dalam mengatasi aksi teror yang muncul (ultimum remidium). Bentuk pemberantasan menurut hukum khususnya hukum pidana dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara sebagaimana dalam kebijakan hukum pidana (criminal policy), yakni :
  1. Usaha penegakan hukum atau pemberantasan secara penal; dan
  2. Usaha penegakan hukum atau pemberantasan secara non penal.
Usaha penegakan hukum atau pemberantasan secara Penal
Dalam pemberantasan teorisme secara hukum pidana baik hukum pidana materiil, hukum formil atau acara pidana, dalam pemberantasannya mesti ditempuh dengan cara-cara seperti berikut : 
  1. Penegak hukum tetap bertindak menjunjung tinggi asas legalitas dan asas praduga tidak bersalah (presumption on innocence);
  2. Penegak hukum seperti Densus 88 Anti Teror dalam melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan dan penahanan harus sesuai kewenangan atributif yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dalam menjalankan tugasnya dan memproses pelakunya dengan tidak diskriminatif dan tetap bertindak di bawah kendali Hak Asasi Manusia (HAM);
  3. Pihak kejaksaan dalam mendakwa menuntut pelaku teror selalu cermat, jelas, lengkap dan maksimal;
  4. Hakim dalam memutus pelaku teror, menjatuhkan pidana maksimal sesuai yang diatur dalam undang-undang terorisme;
  5. Dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan bagi pelaku teorisme tidak perlu diberikan penanggulangan penahanan;
  6. Bagi narapidana teorisme pihak Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak perlu memberikan remisi ataupun bebas bersyarat;
  7. Presiden tidak perlu memberi grasi bagi terpidana terorisme;
  8. Proses peradilan bagi tersangka atau terdakwa kasus terorisme cukup diproses hingga pemeriksaan di tingkat banding (Pengadilan Tinggi);
  9. Dalam prsoes peradilan bagi terdakwa terorisme tidak diperlukan upaya hukum kasasi, Peninjauan Kembali (PK) apalagi grasi sebagai hak prerogatif presiden.
Usaha penegakan hukum atau pemberantasan secara Non Penal
Sebagai bentuk tindak lanjut pemberantasan terorisme secara non penal (di luar hukum pidana) dapat dilakukan dengan cara-cara antara lain :
  1. Para narapidana teorisme ditempatkan khusus pada lembaga pemasyarakatan yang hanya dihuni oleh narapidana terorisme;
  2. Bangunan lembaga pemasyarakatan khusus narapidana terorisme tersebut ditempatkan pada lokasi terpencil yang dibatasi oleh lautan seperti di Nusa Kambangan;
  3. Perlu diuatt aturan khusus adanya pelarangan bagi keluarga teroris melakukan kunjungan ke lembaga pemasyarakatan tempat narapidana ditahan;
  4. Bagi narapidana teroris yang telah bebas menjalani pemindanaannya dipantau dan diawasi secara ketat dibawah pengawasan aparat khusus;
  5. Penjualan dan pemberian izin untuk bahan-bahan kimia untuk indikasi pembuatan senjata atau bom diawasi secara ketat dan untuk mendapatkannya tidak boleh orang sembarangan;
  6. Di setiap agama yang diakui sah dan berada di Indonesia mesti terdaftar organisasi-organisasi keagamaan atau aliran yang dipandang layak dan legal untuk diikuti atau diyakini oleh masing-masing pemeluknya;
  7. Di setiap desa di wilayah Indonesia pada setiap wilayah membuat kesepakatan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang dalam kesepakatannya tersebut tidak menerima orang bekas narapidana terorisme atau masih aktif kelompok radikal yang dilarang di Indonesia.
Demikian penjelasan singkat mengenai Upaya Pemberantasan Terorisme di Indonesia yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: